#Tak dendam, namun tak mudah untuk melupakanPagi ini, aku akan ke kantor polisi membuat pengaduan seperti saran Om Anton. Aku berangkat bersama Kak Sinta dan Mas Bagus. Sementara Arsen kutitip dulu sama Bik Sum. Tak baik membawa anak bayi ke lapas. Sampai di kantor polisi, orang yang pertama kutemui adalah Om Anton. "Om, perkenalkan ini Mas Bagus dan istrinya." Aku mengenalkan Mas Bagus dan Kak Sinta pada Om Anton. "Kak Sinta ini adalah saksi yang ngasih tau Divya tentang perbuatan Mas Bima, Om. Dari dia lah Divya tau tentang gubuk tempat Mas Bima nimbun hasil kebun Bapak," jelasku. Diamini. kak Sinta."Kamu sudah lama tau?" tanya Om Anton pada Kak Sinta. "Sudah Pak," jawab Kak Sinta agak takut-takut."Kenapa.tidak segera dilaporkan pada Pak Candra waktu itu?" tanya Om Bagus. "Saya diancam Pak," kata Kak Sinta dengan wajah menunduk. "Om, ada yang belum Divya kasih tau. Kak Sinta ini ketakutan, di bawah ancaman Mas Bima, Om. Saat itu, Bapak juga lebih percaya sama Mas Bima. Sebe
#Pengacara yang mudah akrabSampai di rumah, hatiku sedikit terobati dengan dengan riangnya Arsen. Dia lah sekarang yang pengobat laraku. Arsensudah mulai asik diajak bercanda, juga sudah mulai aktif. Nak, walau kamu tumbuh tanpa ayahmu nanti. Bunda pastikan, kamu akan dipenuhi dengan cinta yang banyak dari Bunda. "Mbak, makan siang sudah siap," kata Bik Sum dari depan pintu kamarku."Iya Bik. Makasih ya," sahutku. Aku letakkan Arsen di strollernya. Selera makanku belum bisa kembali lagi, tapi aku harus semangat demi Arsen. Lagipula ada Kak Sinta dan Mas Bagus di sini. Mereka tamu di sini, aku tak mau dianggap tak menghormati tamu bila tak ikut makan bersama mereka. Mereka pasti akan sungkan kalau makan tanpa ada tuan rumah. Saat keluar dari kamar, aku melihat Mas Bagus juga baru masuk, sementara Kak Sinta membantu Bik Sum mempersiapkan makan siang kami. "Makan yuk Mas," ajakku pada Mas Bagus."Terima kasih Mbak," sahutnya."Kak Sinta, Bik Sum, kita makan bareng di cakruk belakang
#Belajar tentang kebun"Kalau soal itu, sudah berulangkali kami coba. Nggak ada yang cocok. Ada aja alasannya. Dijodohkan sama pariban, katanya nggak enak, nggak nambah saudara. Akhirnya orang tua kami sekarang pasrah, terserah dia maunya kayakmana, yang penting seiman. Janda pun nggak masalah, asal dilihat dulu, apa yang menyebabkannya menjadi janda," beber Bu Mega.Aku menelan saliva, ini perasaanku saja atau bukan ya. Kok kayaknya dia sedang mempromosikan adiknya padaku. Aih, kok jadi baper aku. Bukannya sok kecentilan. Buat apa Bu Mega cerita tentang Bripda Farhan tanpa ada maksud. Apalagi kami baru kenal."Kak!" panggil Bripda Farhan."Iya!" sahut Bu Mega."Ok Mbak Divya, saya balik dulu. Sebelum sopir saya itu pergi duluan karena ngambek kelamaan nunggu," kelakarnya. Bu Mega orangnya mudah akrab ternyata. Sepertinya akan menyenangkan, kerja bareng dia. "Saya akan menghubungi Mbak Divya, kalau ada hal yang diperlukan lagi," katanya lagi. "Panggil Divya saja Bu," kataku. "Ok Di
#Bang Dion tak menepati janji"Saya sangat membutuhkan Paklek, untuk mengawasi orang-orang yang bekerja di sini. Saya nggak setiap saat bisa datang. Jadi saya minta tolong, Paklek yang mengawasi, juga menjadi perpanjangan mulut karyawan. Artinya, apapun keluhan semua pekerja, bisa disampaikan sama Paklek. Nanti Paklek sampaikan sama saya. Apapun itu, kalau ada masalah, bantu saya untuk menyelesaikannya. Saya juga membutuhkan Paklek, untuk memberi nasehat, supaya hasil kebun semakin bagus dan melimpah. Pekerja juga sejahtera." Lek Noto sangat senang mendengar keinginanku."Terima kasih Mbak. Saya kira, karena usia saya sudah tua, Mbak Divya sudah nggak butuh tenaga saya," kata Lek Noto senang. "Saya cuma nggak mau, Lek Noto kerja terlalu berat lagi. Kalau soal kemampuan, saya sangat percaya sama Lek Noto. Pokok nya Paklek jaga kesehatan ya, biar bisa terus menemani Divya." "Insha Allah. Paklek akan tetap bekerja dengan baik. Orang tua seperti Paklek. Kalau disuruh nganggur malah saki
#Akhirnya Bang Dion luluh"Divya, sabar. Jangan emosi begitu," bujuk Bang Dion. Enak sekali dia ngomong begitu. Apa dia nggak nyadar, aku emosi gara-gara dia?! Dia nggak tau, betapa besar keinginanku untuk bertemu R Wulandari. Aku hanya ingin kepastian, itu saja. Kalau dia bukan ibu kandungku, ya sudah, aku tak akan lagi mengganggunya. Aku turun dari atas motorku, berusaha menyalakan mesin dengan mengengkolnya. Tapi sampai kakiku sakit, tak juga mesin mau menyala. "Sini biar Abang coba," kata Bang Dion."Nggak usah!" ketusku. Bang Dion menghela nafas melihatku. Entah kenapa, aku tak bisa mengendalikan diriku untuk tak marah dengannya. Harapanku sudah pupus kini. Kalau benar dia tak mau mengantarku menemui Bunda, entah kapan ada lagi kesempatan buatku untuk bertemu. "Ok," katanya pasrah.. Aku berhenti mengengkol dan melihat wajahnya yang tertunduk. Kenapa sih dia sangat keras kepala? Bikin aku semakin curiga, kalau dia tau sesuatu. "Abang akan membawa kamu menemui Mbak Wulan," k
#R Wulandari sakitAku terus mengikuti langkah kaki Bang Dion. Sore ini begitu cerah, banyak suara burung yang terbang dari dahan satu ke dahan lainnya. Di sekitaran rumah sakit ini sangat banyak pohon-pohon besar yang berdiri gagah, menambah kesan angker di rumah sakit ini. Hatiku terus bertanya tanpa mau menanyakan langsung pada Bang Dion. Siapa gerangan yang sakit? Aku hanya terus mengekor di belakangnya. Bang Dion sepertinya sangat hafal dengan seluk beluk rumah sakit ini. Seakan dia sudah sering ke sini. Kalau aku, disuruh kesini sendirian, mungkin akan nyasar, karena besarnya rumah sakit ini. Sampai kami di sebuah ruangan yang cukup besar. Ada empat tempat tidur di sini. Tapi hanya satu yang berisi. Aku melihat seorang wanita terbaring lemah di tempat tidur paling pojok dengan selang infus di tangannya. Dia tidur dengan memunggungi kami. Bang Dion mendekati wanita itu, akupun ikut di belakangnya."Mbak." Bang Dion menyapa pelan wanita itu sambil memegang bahunya. Wanita it
#Ternyata benar"Bulek!" Aku sangat terkejut melihat Bulek Ratmi ada di sini juga. Dia juga kelihatan salah tingkah, mungkin tak menyangka kalau aku ada di sini. Dengan adanya Bulek Ratmi di sini, aku semakin yakin, kalau yang saat ini sedang berbaring lemah di ranjang rumah sakit adalah ibu kandungku. "Divya," kata Bulek Ratmi. Sama seperti aku, dia juga kehabisan kata-kata. Tak mungkin dia bisa mengelak lagi. Apalagi yang mau dijadikan alasan. Tak mungkin hanya kebetulan dia mengenal Bunda. Aku berbalik, melihat sosok yang masih memunggungiku itu. Airmataku mengalir deras tanpa dikomando. Akhirnya aku bertemu dengan Ibu kandungku. Tanpa mempedulikan Bulek Ratmi aku kembali mendekati Bunda. Dengan langkah gontai karena kakiku yang tiba-tiba lemas aku duduk di tempat tidurnya dan memeluknya dari belakang. Aku tak peduli, kalau dia akan terbangun dan marah padaku. Memeluknya adalah salah satu impian terbesarku saat ini.Dia menggeliat, lalu berbalik melihatku. "Kamu!" katanya terke
#Penyakit mematikan"Bundamu menderita leukimia. Sekarang sudah stadium empat. Dia saat ini membutuhkan donor sumsum tulang belakang. Dokter sudah berusaha mencari pendonor, tapi belum ada yang cocok. Dokter bilang, sebaiknya pendonor adalah keluarga sendiri. Rambutnya rontok karena efek kemoterapi. Dia juga harus rutin cuci darah," jelas Bulek.Rasanya aku seperti dihempaskan, sesak sekali. Aku pernah punya teman yang menderita penyakit ini saat aku sekolah menengah atas dulu. Hanya sebentar, sejak diketahui dia menderita penyakit ini dia bisa bertahan. Tubuhnya yang gemuk mengalami penurunan bobot yang drastis. Kalau aku tak salah ingat, tak sampai sebulan, setelah di diagnosa menderita penyakit ini, dia pergi untuk selamanya. Bunda, sesingkat inikah pertemuan kita? Tak ada kesan yang berarti. Haruskah aku mengenangmu yang hanya terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit? Bahkan kamu belum mendengar semua ceritaku. "Bulek. Divya mau mendonorkan sumsum Divya. Pasti cocok sama Bund