Share

Sepatu, Awal Dari Segalanya

Vanika dengan cepat melepas kacamata itu, melipatnya, dan memasukannya ke dalam saku kemeja. Hayden berjalan mendekatinya. Tangan kirinya menggenggam sebuah buku karya William Shakespeare yang berjudul Hamlet.

“Aku boleh duduk di sini?” tanya Hayden.

“Si,,silakan,” jawab Vanika dengan gugup.

Mereka duduk dalam hening. Vanika memperhatikan Hayden. Hayden menyipitkan matanya ketika ia ingin memperjelas penglihatannya. Meskipun wajahnya terkesan dingin dan matanya begitu tajam, ada semacam rasa hangat dalam pandangannya.

“Kamu sering datang ke taman ini?” tanya Vanika, berusaha mencairkan suasana.

“Ya,” jawab Hayden. Seperti biasa, sangat singkat.

Tidak lama kemudian Clarissa datang dengan tubuh penuh keringat. Freckles di hidungnya terlihat semakin jelas. Gadis bertubuh tinggi itu tiba-tiba membelalakan kedua matanya dan menunjuk Hayden.

“Kakak ini yang waktu itu membantuku! Kakak pemilik jas almamater itu!” ujar Clarissa sambil melihat ke arah Vanika dan Hayden bergantian. Ia menjulurkan tangannya kepada Hayden untuk berjabat tangan.

“Aku Clarissa Evelyn Tedja. Adik dari Vanika Xavera Tedja,” sambung Clarissa dengan senyum lebar.

“Hayden. Hayden Irawan,” jawab pria berambut hitam itu sambil membalas jabat tangan Clarissa.

“Terima kasih, Kak atas bantuannya. Nanti aku titipkan jasnya kepada Vanika ya!”

“Ok. Terima kasih sebelumnya dan saya pamit pulang ya,” Hayden tersenyum tipis dan bangkit dari tempat duduknya. Hayden melihat ke arah Vanika.

“Nanti kembalikannya saat masuk sekolah saja,” tambah Hayden.

Vanika melihatnya berlalu. Ternyata benar, level keren seorang laki-laki bisa bertambah dengan kaus putih. Kaus putih,celana training, dan sneakers. Simple tapi terlihat luar biasa ketika dipakai orang yang tepat. Vanika tiba-tiba ingat kacamata di sakunya. Tanpa pikir panjang, ia berlari menyusul Hayden. Ia menarik tangannya. Pemilik kacamata itu terkejut dan berbalik. Vanika mengeluarkan kacamata itu dan menyerahkannya pada pemiliknya.

“Ini punyamu ‘kan?” tanya Vanika dengan rambut cokelat gelapnya yang berantakan karena diterpa angin ketika berlari.

Hayden meraih kacamata yang disodorkan kepadanya.

“Ya, ini punyaku,” jawab pria bermata sipit itu.

“Terima kasih,” sambungnya dengan tersenyum hangat kepada Vanika dan pergi berlalu meninggalkan Vanika yang dibuatnya diam membatu.

“Hayden! Seorang Hayden tersenyum kepadaku!” pikir Vanika.

Clarissa menghampiri kakaknya.

“Hei! Ada apa dengan kakakku ini?” ia mengagetkan kakaknya.

“Ish! Gak ada apa-apa. Ayo pulang,” ajak Vanika pada adiknya.

***

Hari demi hari berlalu dan kini sudah sampai di penghujung liburan. Vanika bolak-balik di kamarnya.

“Bagaimana cara mengembalikannya?”

“Apa aku harus ke kelasnya?”

“Apa jasnya sudah bersih dengan sempurna?”

“Apa jasnya sudah wangi dan lembut?”

Pertanyaan-pertanyaan seperti itu terlintas di benak gadis itu. Lalu ia meraih sebuah kacamata dari meja belajarnya. Ia membersihkan kacamata itu untuk kesekian kalinya dan tidur dengan hati yang berdebar-debar.

***

Vanika diam di lorong sekolah sambil menyandarkan tubuhnya di tembok berwarna cream. Tangannya menggenggam sebuah totebag berisi jas almamater.

“Oi! Kamu lagi apa di sini?” ujar Zaid sambil menepuk bahu Vanika dengan kencang.

Zaid dari kelas XII IPA 3 sering bergaul dengan sahabat-sahabat Vanika di kelas XII IPA 2. Tubuhnya jangkung dan kekar karena dia adalah kapten tim hockey di sekolah.

“Antar aku ke kelas kamu ya?” pinta Vanika.

“Memang mau apa? Pakai minta antar segala,” balas Zaid.

“Aku mau kembalikan sesuatu untuk salah satu siswa di kelas kamu,”

“Apa sih itu?” Zaid meraih totebag yang dipegang oleh gadis itu, tapi Vanika langsung menjauhkan totebag dari tangan pria bertubuh gempal itu.

Bel masuk berbunyi nyaring.

“Ish ya ampun pelit. Ayo cepat aku antar ke kelas. Mau ketemu siapa?” tanya Zaid pensaran.

“Hayden,”

“Hayden?! Kamu kenal dia?”

“Memang kenapa?”

“Ya,,, Hayden sepertinya bukan tipe yang mau bergaul atau berurusan dengan orang macam kamu,” jawab Zaid dengan senyum jahilnya.

“Heh memang aku kenapa?”

“Gak kenapa-napa, Van. Hayden itu ya, biasanya dingin ke semua perempuan. Banyak yang dia tolak,” bisik Zaid sambil merangkul gadis itu.

“Bukan! Bukan hal semacam itu. Aku hanya mau kembalikan ini,” Vanika menepiskan tangan Zaid dari bahunya sambil menyodor-nyodorkan totebag yang dia pegang.

“Ok ok, ayo cepat!” ajak Zaid.

Di depan kelas XII IPA 3, Zaid melongokkan kepalanya ke dalam kelas dan berteriak keras dengan suaranya yang berat. Vanika sedikit mengintip ke dalam.

“Hay! Hayden! Ada yang cari kamu nih!”

Semua mata tertuju pada Zaid dan Vanika. Lalu pandangan mereka beralih pada Hayden yang bangkit dari kursinya dan berjalan menuju keluar. Gadis berambut wavy itu mundur perlahan.

Hayden berdiri di hadapan Vanika. Seragamnya bersih dan rapi dengan rompi abu-abu dan dasi berwarna maroon. Rambutnya tersisir rapi. Vanika menyodorkan totebag yang dia bawa dan laki-laki berkulit pucat itu meraihnya dan memasukan salah satu tangannya ke dalam tas itu. Hayden mengeluarkan isinya. Sebuah jas almamater lengkap dengan hanger kayu.

“Kamu sertakan hanger di dalamnya?” tanya Hayden kebingungan.

Tawa Zaid pecah.

“Van, kamu itu punya usaha laundry atau gimana? Kamu lipat tapi kamu pakaikan hanger,” Zaid tertawa terbahak-bahak.

Vanika mencubit tangan Zaid dan laki-laki gempal itu membalas dengan pura-pura  menantang gadis itu berkelahi. Vanika meraih tangan Zaid dan memelintir salah satu tangannya.

“Lebih baik kalian cepat masuk. Vanika, terima kasih.” ucap Hayden sambil memberikan totebag beserta dengan hanger di dalamnya.

Vanika melepas tangan Zaid dan meraih totebag itu. Hayden langsung berbalik, masuk ke kelasnya.

“Kalian ini bel masuk sudah berbunyi masih saja di luar main-main!” tegur seseorang dengan tegas.

Itu Bu Fatmawati. Guru biologi yang akan mengajar di kelas XII IPA 3. Lalu beliau mengarahkan jari telunjuknya ke arah Vanika.

“Vanika! Kamu perempuan! Masa mainnya begitu! Kalian berdua masuk kelas masing-masing!” sambungnya dan membuat Zaid buru-buru masuk ke kelasnya. Vanika pun berlari ke kelasnya  dengan kepala tertunduk.

“Eh tunggu Vanika!” perintah guru biologi itu.

Vanika berhenti dan Bu Fatmawati memberikan beberapa lembar kertas padanya.

“Bagikan semua silabus itu ke masing-masing ketua kelas agar nanti dibagikan lagi untuk para murid. Cepat masuk kelas,” perintah wanita bertubuh tinggi itu.

“Baik, Bu,” jawab Vanika sambil membungkuk dan ia membawa kertas-kertas itu sambil berlari ke kelasnya.

***

Hari itu terasa berjalan dengan lambat. Satu pelajaran sudah selesai dan rasanya ingin cepat-cepat istirahat. Vanika menghitung beberapa lembar silabus untuk semester itu. Matahari begitu terik dan cahayanya memasuki jendela. Yoga yang paling anti dengan cahaya matahari langsung menutup semua gorden kelas dengan cepat dan menyalakan lampu.

Salah satu guru tidak bisa hadir untuk mengajar. Bagaskara, ketua kelas XII IPA 2 menyalakan projector dan memutar film Freedom Writers. Nanda, gadis yang langganan mengikuti olimpiade sibuk dengan buku fisikanya. Akhtar sibuk menghitung pendapatannya sambil mencoret-coret sebuah kertas usang dengan pensil tumpul favoritnya. Beberapa siswi yang duduk di bagian belakang kelas sibuk membicarakan gossip terbaru dan beberapa siswa sibuk membicarakan film-film terbaru N*****x.

Aditya menghampiri Akhtar dan duduk di atas lantai tepat di sebelah mejanya. Akhtar menyodorkan satu box yang setengahnya berisi pie mini kepadanya.

“Ambil saja sendiri. Nanti lapor ke aku berapa banyak yang kamu makan,” ujar Akhtar dan lanjut membereskan lembar-lembar uang di atas mejanya.

Vanika melihat Aditya yang menyantap beberapa pie dengan lahap. Aditya menyadari bahwa ada seseorang yang memperhatikannya dan menatap gadis itu dengan matanya yang bulat.

“Lapar. Tadi habis dikejar para fans,” ucapnya.

Aditya memang salah satu murid yang terkenal. Dia bergabung di math club sejak tahun pertama dan aktif di perkumpulan itu. Kulitnya berwarna putih susu dan tubuhnya tegap. Ia begitu ramah, terutama kepada para adik kelas. Tidak aneh kalau hampir semua penggemarnya adalah para adik kelas. Bahkan, Aditya memiliki fans club bernama AFC.

“Perkumpulan yang namanya AFC? AFC itu singkatan dari apa?” tanya Vanika.

Aditya siap untuk menjawab dengan wajah bangganya

“Aditya…”

Fried Chicken,” sambung Arvin sambil mengambil salah satu pie dari box yang dipegang Aditya.

“Bukan! Aditya Fans Club,” protes Aditya diikuti tawa Vanika, Arvin dan Akhtar.

“Sssstttttt,” Nanda memberi isyarat dengan jari di depan bibirnya. Isyarat kalau mereka sudah mengganggunya belajar dengan kebisingan yang mereka buat.

“Ish ish, maniak belajar,” ejek Arvin sambil menarik satu kursi yang menganggur dan duduk di atasnya sambil menyantap pie dengan kaki kanannya di atas paha kaki kirinya.

“Sebentar lagi bel istirahat pertama. Dit, nanti antar jualan ke kelas X sama XI ya! Lumayan biar ada daya tarik,” ajak Akhtar kepada laki-laki yang masih asyik duduk di atas lantai itu.

“Ok siap,” jawab Aditya.

Tidak lama kemudian bel istirahat pertama berbunyi dengan nyaring. Sebuah kepala menengok ke dalam.

“Ada Vanika?”

Semua mata tertuju pada Vanika.

“Kamu buat masalah apa sama dia?” tanya Arvin sambil bangkit dari kursinya.

“Masalah? Gak,” jawab Vanika dengan gugup dan mengalihkan pandangannya pada Hayden.

Hayden memberi isyarat dengan tangannya agar Vanika cepat keluar. Vanika bangkit dari tempat duduknya sambil membawa lembar-lembar silabus.

“Apa orang yang dihampiri Hayden itu berarti bermasalah?”

“Atau ada yang salah dengan jas almamaternya?”

“Apakah ada yang sobek?”

Pertanyaan beruntun itu muncul di benak Vanika. Di luar, Hayden menunggu sambil bersandar di balkon. Di tangannya ada sebuah satu kotak susu rasa cokelat. Hayden memberikan susu itu kepada gadis di hadapannya. Semua orang, terutama para gadis, menatapnya seolah ia adalah musuh bersama.

“Terima kasih,” ucap Vanika sambil mendekat pada tembok balkon.

Berdiri di sebelah Hayden membuatnya gugup.

“Mana silabus untuk kelasku?” tanya Hayden.

“Tapi kan kamu bukan ketua kelas,”

“Aku wakil. Satrio terlalu sibuk mempersiapkan partisipasinya untuk event Jepang, anime, komik, dan sejenisnya,”

“Oh begitu. Ini silabusnya,” Vanika menyodorkan selembar kertas pada laki-laki bermata tajam itu.

Hayden membaca silabus dengan teliti dan Vanika memperhatikannya membaca. Kulit yang putih bersih, mata yang tajam, dan kulitnya tidak sepucat biasanya. Jari-jari tangannya ramping dan panjang. Angin kecil menerpa rambutnya yang berwarna hitam.

“Dia bukan manusia,” pikir Vanika.

“Dor!” seseorang mengagetkan gadis itu dengan menepuk punggungnya dengan keras.

Seorang laki-laki bertubuh tinggi besar dengan rambut keriting dan kacamata yang sedikit merosot tersenyum padanya.

“Pramana!”

Pramana salah satu siswa dari kelas Hayden. Para siswa kelas XII IPA 3 memang terkenal memiliki 1001 cara untuk menjahili orang lain.

“Kamu ngapain sih melamun begitu serius lihat Hayden?” tanya Pramana.

“Gak, aku melamun bukan karena Hayden, tapi ada hal lain di pikiranku,”

“Masa?” tanya Pramana dengan wajah menyebalkannya.

Vanika memutar kedua bola matanya.

“Tumben kamu pakai sepatu tali, Van. Tuh tali sepatumu lepas,” Pramana menunjuk ke arah sepatu kiri yang dipakai gadis di sebelahnya.

“Dia gak bisa mengikat tali sepatunya sendiri,” timpal Aditya yang lewat di depan mereka bersama Akhtar yang sibuk membawa dagangannya.

Please Aditya,” ucap Vanika, memohon Aditya supaya diam.

“Biasanya adiknya atau aku yang ikat,”  tambah Akhtar.

“Akhtar!” Vanika mencoba membungkam mereka berdua.

Akhtar dan Aditya berlari menjauh sambil tertawa puas.

“Kamu gak bisa ikat tali sepatu?” tanya Pramana dengan senyum jahil.

“Bisa, tapi gak pernah awet,” jawab Vanika dengan sedikit cemberut di wajahnya. Ia mulai meminum susu cokelatnya.

“Itu sama saja,” ucap Hayden dengan datar.

“Ya sudah sini aku ikatkan,” Pramana berjongkok dan menalikan tali sepatu milik gadis bertubuh mungil itu.

“Sudah,” Pramana bangkit dan menarik Hayden, “ayo balik ke kelas,”

“Terima kasih,” balas Vanika.

Mereka berdua mulai berjalan hendak kembali ke kelasnya. Namun, Pramana membungkukan tubuhnya, dengan cepat ia menarik tali sepatu Vanika sampai lepas. Lalu ia berlari dengan menarik tangan Hayden di belakangnya.

“Pramana!” teriak Vanika pada laki-laki jahil itu.

***

Lagu Dancing Queen dari ABBA terdengar nyaring di kelas XII IPA 2. Bagaskara menyanyikan lagu tersebut dengan bahagia diikuti Arvin, Yoga, Akhtar, Zaid, dan Pramana. Biasanya sesudah bel akhir berbunyi, kelas tersebut menjadi tempat yang paling nyaman untuk berkumpul bagi mereka.

Seorang siswa berpenampilan mencolok masuk ke dalam kelas itu. Tubuhnya mungil dan sangat ramping. Pakaiannya terbilang sangat rapi jika dibandingkan dengan siapa pun di sekolah itu. Ia jarang sekali memakai jas almamaternya. Ia juga memakai tas khas sekolah Jepang berwarna biru tua.

Di tasnya ada beberapa gantungan kunci bergambar tokoh-tokoh animasi favoritnya. Di tangan kirinya ia membawa buku latihan olimpiade biologi yang lembar cover depannya sudah hilang entah ke mana. Ada beberapa gambar khas anime di halaman paling depan. Satrio, ketua kelas XII IPA 3 memang seseorang yang menarik dan unik.

“Sudah jam 16.30. Kenapa kamu belum pulang?” tanya Satrio pada Vanika.

“Masih hujan,” jawab Vanika.

Pramana dan Zaid mendekat dan duduk di dekat Vanika. Satrio mengeluarkan laptopnya dan menyalakannya. Diputarnya anime Kuroko no Basuke.

“Kasih tahu aku yang mana karakter yang paling kamu suka. Nanti aku akan jadi karakter itu di event selanjutnya,” Satrio berkata dengan serius.

Vanika menonton dengan serius sampai tidak menyadari bahwa Zaid menarik kedua tali sepatunya dan Pramana menarik lepas sepatu sebelah kanannya. Pramana dan Zaid berlari keluar kelas juga melempar sepatu Vanika pada seseorang yang berlari ke lantai tiga. Vanika terus mengejar orang itu, tapi orang itu berlari terlalu cepat. Setelah sampai di lantai tiga, ia tidak melihat apa-apa.

“Vanika!” panggil suatu suara dari arah lapangan.

Gadis itu menengok ke bawah melalui balkon. Satrio berada di lapangan. Rambutnya basah dan seragamnya terlihat tidak serapi sebelumnya. Semua orang yang ada di kelas XII IPA 2 mulai keluar dan melihat ke bawah melalui balkon lantai 2.

Di sanalah ia. Tepat di antara rintik-rintik hujan. Vanika menyusulnya ke bawah dan menghampiri Satrio. Laki-laki bertubuh ramping itu  menunjuk ke atas atap. Vanika berusaha melihat dengan jelas karena pandangannya terhalang rintik-rintik hujan yang jatuh di wajahnya.

Sepatu! Di atas sana ada sepatunya. Entah bagaimana ceritanya orang jahil itu melempar sepatunya ke atas sana dan menghilang begitu saja. Tiba-tiba di balkon lantai tiga ada sosok yang sangat tidak asing bagi Vanika sedang tersenyum dan melambai ke arahnya dan Satrio.

“Terima kasih, Satrio!” teriak laki-laki itu.

Vanika menggeleng-gelengkan kepalanya kesal.

“Hayden Irawan!” teriaknya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status