Di depan Vanika berdiri laki-laki bertubuh tinggi itu dengan tatapan yang dingin. Hayden menatap Jimmy dan pandangannya beralih kepada gadis mungil di depannya. Tatapannya tidak sehangat tadi sore. Sangat dingin. Ia tidak membawa tas sekolahnya dan tidak memakai jas beserta rompi sekolahnya. Kemeja putihnya kotor dan kusut. Dasi sekolahnya terpasang dengan longgar.
“Hayden?” tanya Vanika dengan suara yang sangat kecil.
“Aku permisi,” ucap Hayden kepada semuanya tanpa melihat ke arah Vanika.
Ia berlalu begitu saja. Tanpa mengatakan apa pun kepada Vanika. Gadis itu merasa sedikit kecewa. Vanika memperhatikan laki-laki itu pergi. Hebat. Hayden masih memakai sandal capit hijau itu dan hal ini tidak mengurangi level kerennya.
Clarissa mendekati Jimmy.
“Kak Jimmy?” tanya gadis jangkung itu sambil berjalan mendekat kepada laki-laki itu.
“Clarissa! Kamu sudah sebesar ini! Sulit dipercaya. Dulu kamu kecil dan menyebalkan!” Jimmy berkata dengan riang.
“Kak Jimmy!” Clarissa memeluk Jimmy dengan erat.
Jimmy mengacak-acak rambut gadis yang memeluknya. Mereka memang sangat dekat. Clarissa sejak kecil memang tomboy dan senang bermain bola dengan teman kakaknya itu. Gadis itu juga sangat senang memanjat dan paling parah ia seringkali ditemukan tertidur di atas pohon. Banyak yang kebingungan bagaimana cara menurunkan Clarissa dari pohon karena ia selalu menolak untuk turun. Namun, Jimmy selalu berhasil membujuk gadis itu untuk turun.
“Apa kabar kamu? Kamu masih jadi anak nakal? Dulu kamu selalu bertingkah seperti monyet,” ejek laki-laki itu dengan wajah mengejek.
“Enak saja! Aku sekarang jauh lebih baik dan anggun. Kami selalu sehat di sini,” Clarissa mencoba membela dirinya sendiri.
“Tidak mungkin,” balas Jimmy.
“Kak, ayo mampir. Ayo masuk ke dalam!” ajak Clarissa sambil menarik tangan Jimmy.
“Ah sayangnya aku gak bisa. Sudah terlalu malam. Lain kali deh ya? Aku janji,”
“Hmmm, menyebalkan. Ya sudah. Janji ya!” balas gadis berpiyama itu sambil meninju lengan Jimmy.
“Aw! Ya deh. Pasti akan aku tepati,” balas Jimmy sambil memakai helm dan menuju ke motornya.
“Aku pulang ya! Hati-hati di rumah. Bye!” sambung laki-laki berparas tampan itu sambil melambaikan tangan.
Clarissa berbalik menghadap kakaknya. Dia memberikan tatapan jahil.
“Apa?” tanya kakaknya.
“Hari ini begitu menyenangkan ya? Masalah apa yang kau buat wahai kakakku? Rumah kita baru saja kedatangan dua siswa tertampan di sekolahmu,” goda Clarissa.
“Gak ada kok. Banyak hal melelahkan terjadi hari ini,” jawab Vanika dengan wajah lelah.
Clarissa mengangkat kedua alisnya dan memperhatikan kakaknya dari atas sampai bawah. Lalu menunjuk ke arah cardigan dan jari telunjuknya lanjut menunjuk ke arah sepatu besar yang dipakai oleh kakaknya yang berkaki mungil itu.
“Sepertinya hari ini sangat menarik untuk kakakku. Cardigan yang klasik. Seperti milik nenek. O ya, kedua sepatu itu terlalu besar untukmu. Kamu jadi terlihat seperti badut!” ejek Clarissa sambil memandang kakaknya.
Kemudian ia berlari masuk ke rumahnya sambil tertawa puas. Vanika mengejarnya dan menangkapnya dengan mudah. Mereka terjatuh di lantai ruang tamu. Sang kakak menggelitiki adiknya. Clarissa tertawa dan mencoba mengatur nafasnya.
“Tunggu! Tunggu! Ampun! Tadi laki-laki bernama Hayden itu memberikan sesuatu,”
“Mana?” tanya Vanika sambil bangkit dari lantai.
“Kamu harus cerita dulu. Apa yang terjadi hari ini antara kamu dan laki-laki bernama Hayden itu?” Clarissa duduk dengan melipat kakinya di atas lantai dan menampilkan wajah penuh rasa tertarik.
“Aku akan cerita dan nanti kamu kasih tahu pendapat kamu ya?” Vanika duduk di atas sofa dan mulai bercerita.
Ia bercerita mulai dari pertemuan awalnya dengan Hayden di kelas XI sampai kejadian sepatunya yang dilempar ke atap oleh laki-laki itu. Clarissa mendengarkan setiap kata dengan antusias.
“Begitulah ceritanya,” Vanika mengakhiri ceritanya dan bersandar di sofa. Rambutnya yang bergelombang terlihat berantakan dan beberapa helai rambut terurai di depan wajahnya.
“Oh begitu. Jadi, kamu suka pada Hayden?” tanya Clarissa.
“Aku gak bilang begitu!” balas Vanika dengan nada keras.
“Tapi itu terkesan seperti itu,”
“Bukan suka. Hanya tertarik,”
“Itu sama saja wahai kakakku,” jawab Clarissa sambil memutar bola matanya.
“Itu dua hal yang sangat berbeda wahai adikku,” bantah kakaknya sambil mencondongkan tubuhnya pada adiknya.
“Tapi kelihatannya Hayden juga suka kamu. Terlihat dengan sangat jelas,” tambah Clarissa.
“Ah gak mungkin,” jawab Vanika dengan kedua pipi yang merona.
“Tuh ‘kan?” adiknya menunjuk wajah kakaknya.
“Gak, gak, gak,“ bantah gadis dengan rambut berantakan itu sambil membawa tas ranselnya ke kamarnya.
***
Vanika berbaring di atas ranjang sambil menatap keluar. Tidak ada bulan atau bintang malam itu. Gadis itu mendekat ke jendela besar dengan gorden berwarna lilac yang terbuka lebar. Satu-satunya yang membuat kota ini begitu terang adalah cahaya kota dari setiap gedung. Hujan turun dengan sangat deras. Rintik-rintik hujan di malam hari mengetuk kaca jendelanya. Saat seperti ini adalah saat yang tepat untuk istirahat di bawah selimut yang tebal dengan secangkir cokelat panas.
Gadis berambut cokelat tua itu menikmati heningnya malam sambil menatap dunia luar lewat jendelanya. Namun, suatu suara keras mengganggu kesendiriannya. Clarissa masuk ke kamarnya dengan heboh. Ia duduk di kursi belajar dan menyimpan sebuah dus sepatu yang masih baru di hadapannya.
“Bukalah,” perintah Clarissa.
Vanika mendekat dan membuka dus tersebut. Di dalamnya terdapat sepasang sepatu baru dengan ukuran yang pas di kakinya. Sepasang sepatu itu merupakan model yang sama persis dengan model sepatunya yang dilempar oleh Hayden ke atas atap.
“Dia beli sepatu baru. Soal sepatu kamu, dia bilang dia akan coba ambil sampai dapat,” sambung gadis jangkung sambil menyikat rambutnya yang lurus dan licin itu dengan sikat rambut kakaknya.
“Dia beli sepatu ini dengan secepat itu?” tanya kakaknya kebingungan.
“Gak, dia sudah siapkan. Mungkin dia menyuruh kamu pakai sepatunya itu supaya komunikasi kalian tetap berjalan. Ya ‘kan? Semuanya sudah dipersiapkan dengan sangat baik dan penuh dengan niat. Bahkan, dia itu tadi kelihatannya senang waktu pertama datang ke sini. Eh, ketika lihat kamu pulang dengan Kak Jimmy, dia langsung kelihatan kesal dalam sekejap. Mungkin dia cemburu,”
“Kamu itu sok tahu, Clarissa,”
“Eits, aku ini ahli sekali dalam hal percintaan,”
“Percintaan terus di otakmu,” balas Vanika dengan ketus.
“Eh, ngomong-ngomong apa Hayden masih berusaha ambil sepatu itu di hari segelap ini?”
“Aku harap gak,” jawab gadis bertubuh mungil itu sambil melihat derasnya hujan melalui jendelanya.
“Bicaralah besok dengan dia. Sekarang mari kita tidur. Aahhh enak sekali ya tidur di saat hujan begini,” saran gadis ber-freckles itu sambil berjalan keluar dan menutup pintu kamar kakaknya dengan perlahan.
Vanika tersenyum melihat adiknya yang selalu ceria sambil membereskan sepatu barunya. Ada rasa senang sekaligus tidak enak di hatinya.
***
Hari begitu cerah pagi itu. Vanika berjalan dari toilet menuju kelasnya. Ia melihat jam tangan di tangan kanannya. Jam menunjukkan pukul 09.30. Seperempat jam menuju waktu istirahat pertama. Ia melewati lorong sambil mengetuk-ngetukkan ujung setiap jarinya di tembok balkon. Pagi itu ia sama sekali belum melihat Hayden. Ia memperhatikan atap. Tidak ada sepatu. Tandanya laki-laki itu sudah berhasil mengambil sepatunya.
Vanika memasuki kelas dengan tubuh yang lesu. Waktu itu guru kimia mereka, Bu Kemala sedang sibuk memeriksa pekerjaan para murid. Vanika melihat ke arah jendela. Kelas XII IPA 3 baru saja pulang dari kolam renang. Dari sekian banyak yang lewat kelasnya, Vanika bahkan tidak melihat batang hidung Hayden.
“Kevin! Lihat buku tulis kamu ini! Sangat rapi sangat bersih. Sangat jelas terlihat kalau kamu jarang sekali membaca. Bagaimana kamu ini? Apa rencana kamu ke depan kalau kamu terus begini?”
Siswa bernama Kevin ini tidak membalas perkataan gurunya. Ia baru terbangun dari tidurnya. Seperti itulah Kevin. Ia merupakan siswa bertubuh gempal dan berambut keriting. Ia hampir tidak pernah memakai jas almamater, rompi, dan dasi sekolahnya. Bahkan, kemejanya terlihat sangat lusuh.
Ia selalu datang terlambat ke sekolah. Pada saat masuk kelas ia selalu menggendong ranselnya di bahu sebelah kanan. Tangannya sibuk membawa berbagai macam junk food. Ia akan menyantap semua makanan dengan cepat dan setelah itu ia akan tertidur begitu saja.
Siswa yang selalu bermata merah dan mengantuk ini akan terbangun di waktu istirahat atau jika guru killer datang mengajar di kelas. Namun, Kevin adalah siswa yang sangat cemerlang di bidang matematika. Ia banyak menyumbangkan piala penghargaan untuk sekolah. Ia juga merupakan anak dari seorang pengusaha yang terkenal di kota itu.
“Saya harus beristirahat untuk persiapan olimpiade, Bu,” jawabnya dengan pelan. Pada wajah mengantuknya terdapat beberapa garis karena ia menjadikan ranselnya sebagai alas untuk kepalanya.
“Orang lain latihan mengerjakan soal kamu malah menghabiskan waktu dengan tidur,”
“Ibu jangan begitu gegabah pada saya. Saya itu aset negara,”
“Ibu hanya berharap kamu lebih menunjukan usaha dalam belajar hal lainnya,”
Bu Kemala mengambil sebuah buku yang lusuh, terlalu banyak sobekan, dan coretan.
“Lihat buku ini, pemilik buku ini sungguh berdedikasi. Sepertinya anak ini sering sekali membaca dan berlatih. Bisa dilihat dari setiap halaman yang lusuh. Berarti anak ini sering membolak-balikkan setiap halaman. Mari kita lihat ini milik siapa,” sambung guru bertubuh tinggi itu sambil mencoba membaca nama pemilik buku itu.
“Sudah tidak salah lagi,” bisik beberapa suara.
“Buku ini milik…” Bu Kemala masih mencoba membaca tulisan yang sanagt buruk itu.
“AKHTAR!!!!” sambung para murid dengan keras.
Suara keras itu membangunkan Vanika dari lamunannya. Akhtar melihat ke belakang, tepat ke arah gadis itu.
“Lihat ’kan? Katanya aku begitu berdedikasi,” ucap laki-laki berkumis tipis itu pada sahabatnya.
“Berdedikasi? Apa?” tanya Vanika kebingungan.
“Makanya, kamu jangan banyak melamun,” Akhtar memasukkan sebuah kue sus ke dalam mulut gadis itu.
“Sarapanlah dengan baik,” sambung Akhtar sambil memberikan satu kaleng susu cokelat pada sahabatnya.
“Terima kasih,” jawab Vanika dengan senyumnya.
***
Tidak lama kemudian bel istirahat berbunyi. Akhtar menghadap ke belakang lagi dan membuat Vanika terkejut.
“Hayden menghubungi kamu?”
“Aku sama sekali gak punya kontaknya lagipula gak ada nomor baru yang menghubungi aku,”
“Sayang sekali padahal dia itu berusaha sangat keras. Bahkan hari ini dia gak masuk sekolah,”
“Hayden gak masuk sekolah?! Kenapa? Ah pantas dia itu dari tadi gak kelihatan batang hidungnya,”
Akhtar tersenyum lebar lalu menunjuk sahabatnya itu dengan telunjuknya.
“Tuh ‘kan? Kamu dari tadi mencari dia. Bahkan sampai melamun memikirkan itu,”
“Aku lebih memikirkan sepatu aku,”
“Ah sepatu kamu aman,” balas Akhtar sambil melihat ke arah kaki Vanika. “eh, itu sepatu baru?” sambungnya.
“Hayden tadi malam ke rumahku. Dia siapkan sepatu ini untuk aku,” jawab gadis itu dengan suara yang pelan.
Akhtar menaruh lembar-lembar uangnya di atas meja Vanika dan bertepuk tangan. Ia juga menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Bravo! Bravo! Cara pikir laki-laki ini sungguh di luar akal sehat,”
“Apa itu terlalu berlebihan?” tanya gadis itu sambil memajukan tubuhnya .
“Entahlah. Mungkin itu cara dia untuk mendapatkan hati seseorang?” balas sahabatnya itu.
“Mungkin dia cuma bersikap baik?”
“Itu bukan bersikap baik. Itu jatuh cinta,”
“Menjijikan. Jatuh cinta? Cinta gak seindah itu, kawan-kawan,” sambung seorang gadis dengan rambut panjang yang lurus dan tipis. Ia memainkan rambutnya yang terurai.
Gadis itu bernama Aida. Aida duduk di sebelah kanan Vanika dan tepat di belakang Yoga. Hampir setiap pagi ia selalu terlambat dan melewatkan pelajaran pertama. Biasanya setiap pagi ia akan mengeluh soal wajahnya yang terkesan bengkak sebelah atau perihal dokter gigi yang selalu mengomelinya karena ia terlampau memiliki masalah gigi dan mulut yang sangat kompleks.
Vanika mengagumi Aida karena ia merupakan sosok yang berani mengutarakan pendapatnya. Bahkan, yang paling menyakitkan sekalipun. Gadis berambut lurus itu tidak peduli penilaian orang lain terhadapnya. Hanya saja, Aida terkenal karena lidahnya yang super tajam.
Aida menatap kedua mata Vanika dengan lekat.
“Hati-hati, Van. Aku tahu kamu perempuan baik, tapi jangan sampai kamu terluka karena kamu terlalu naïf,” lanjut gadis dengan jumper biru itu sambil mengibaskan rambut panjangnya.
Aida berjalan ke luar kelas untuk menemui sahabat-sahabatnya dari kelas lain. Salah satu sahabat Aida yang bernama Emily menatap Vanika lewat jendela kelas dengan cukup lama.
“Ah mungkin itu hanya perasaanku saja,” pikir Vanika.
***
Vanika berjalan memasuki gerbang rumahnya. Sore itu cukup cerah dan berangin. Di halaman depan rumah, Clarissa dan Bi Ika sedang sibuk membakar sosis dan beberapa jenis daging-dagingan. Bi Ika sering membantu menyelesaikan pekerjaan rumah mereka. Tubuhnya gamuk dan wajahnya terkesan ramah juga menyenangkan. Beliau biasanya datang setiap hari Selasa, Kamis, dan Minggu. Tidak jauh dari mereka ada sebuah meja. Di atasnya terdapat banyak jenis kue dan sirup.
“Eh,,, Vanika sudah pulang,” ujar Bi Ika dengan senyum lebar di wajahnya. Ia menunjuk ke sebuah piring besar berisi egg roll, “bibi tahu kamu suka sekali egg roll jadi bibi keluarkan semuanya,” sambungnya.
“Terima kasih,” balas Vanika sambil menghempaskan dirinya pada sebuah kursi dan mengambil sebuah egg roll. Ia merasa senang Bi Ika selalu tahu apa yang ia suka atau tidak suka dan ia sangat menyayangi sosok wanita itu.
“Gimana?” tanya Clarissa mendekat pada kakaknya sambil membawa segelas sirup dengan rasa leci.
“Entahlah,”
“Ish ish. Tadi papa kirim semua ini. Katanya kita harus bersenang-senang di tengah sibuknya kegiatan sekolah,”
“Gimana sekolahmu? Seru?” tanya kakaknya sambil mengoleskan margarin di atas selembar roti tawar.
“Begitulah. Harus adaptasi lagi. Hari pertama perkenalan. Hari kedua sudah menghadapi tes matematika,” jawab adiknya dengan wajah cemberut karena dia benci sekali matematika.
“Aku tiba-tiba ingin pindah ke sekolahmu. Siswi bernama Josephine itu hebat sekali memanahnya. Banyak murid di sekolahku memuja-muja dia. Termasuk aku,” lanjut Clarissa dengan antusias.
“Jalani saja dulu hari-hari kamu di sekolah itu. Baru masuk juga ‘kan?” balas kakaknya sambil melahap beberapa egg roll.
“Oh ya, Kak Hayden mau ke sini hari ini,”
“Kata siapa? Kamu tahu dari mana?” tanya Vanika dengan wajah yang antusias.
“Ada deh,” jawab Clarissa sambil menyeruput sirupnya.
Benar saja. Tidak lama kemudian laki-laki jangkung itu berdiri di depan gerbang.
“Aku gak tahu kalau Erika adalah pemilik rumah pohon di daerah atas itu,” ujar Adrian yang berjalan beriringan dengan Joe dari arah halaman belakang menuju meja makan.“Ya, keluarganya membeli tempat itu,” jawab Vanika yang sedang mempersiapkan makanan di meja makan yang berukuran besar dan memanjang itu.“Dan akhirnya tempat itu menjadi area bermain Erika,” sambung Joe sambil mengeluarkan sebuah kursi makan dan duduk di atasnya.“Ya, kurang lebih begitu,” jawab Vanika lagi.“Lalu kenapa kalian sampai keluar dari area itu dan memasuki kawasan milik orang lain?” tanya Adrian sambil memandang kekasihnya.“Kami gak begitu yakin. Lagipula aku gak mau ke sana lagi. Pria itu mungkin pemiliknya atau tinggal di dekat sana. Dia juga kelihatannya begitu misterius,” jawab kekasihnya dengan tegas.“Itu hanya perasaan kamu saja,” balas pria berparas tampan itu dengan senyum tipisnya.“Semua orang tua, terutama pria tua, terlihat sama saja di mataku,” ujar Joe dengan wajah yang tidak acuh.“Kami ga
Vanika takjub dengan apa yang dilihatnya. Sebuah telaga. Telaga dengan air yang jernih dan air terjun yang berukuran tidak begitu besar. Airnya begitu jernih sehingga cahaya matahari menyeruak ke dalamnya dan mereka dapat melihat bagian dasar di bagian yang dangkal. Di dasar telaga terdapat banyak batu berwarna putih yang terlihat indah seperti bebatuan yang biasa kita lihat di berbagai macam tayangan bertema alam.Udara di lingkungan itu begitu sejuk dan banyak tanaman yang rindang. Tempat tersebut terlihat seperti tempat yang belum terjamah. Lebih tepatnya terlihat seperti tempat di kisah-kisah fairytale atau mungkin dongeng tentang petualangan yang biasa kita dengar pada saat sebelum tidur.Tempat tersebut didomonasi oleh warna hijau yang menyegarkan mata. Vanika menengadahkan kepalanya dan menatap langit. Langit berwarna biru cerah dengan gumpalan awan yang terlihat seperti kapas yang berwarna putih bersih. Perpaduan pemandangan langit yang cerah dan suasana di sekitarnya yang pen
Vanika terdiam membisu dan kebingungan.I have a bad feeling, pikirnya.Vanika tersenyum tipis kepada kawannya. Ia sama sekali tidak ingin merusak suasana hati Erika yang sedang bahagia. Kendaraan mereka mendekati sebuah bukit yang dikelilingi sebuah pagar berwarna gelap.Pemandangan itu sangat tidak asing bagi Vanika. Gerbangnya yang besar itu terbuka secara otomatis. Mobil melewati pagar itu dan melaju terus ke atas. Jantung Vanika berdebar-debar. Kedua matanya menangkap sebuah pemandangan yang membuatnya semakin gugup.Tempat di mana dia sering menghabiskan masa remajanya dengan seseorang yang pernah ia cintai ada di depan matanya. Hampir tidak ada yang berubah dari tempat itu. Tempat di mana Hayden pertama kali melihatnya menangis. Tempat itu juga menjadi tempat pertama yang akan dikunjungi mantan kekasihnya itu saat ia tidak punya tempat mengadu.Tempat itu adalah rumah pohon peninggalan mendiang sang ayah dari Hayden Irawan dan sekarang tempat itu menjadi milik keluarga Erika. E
“Sudah sekian lama kita tidak bertemu, Vanika,” ujar wanita ber-lipstick merah itu.Wanita tersebut bangkit dari tempat duduknya. Vanika pun melakukan hal yang sama tanpa mengalihkan pandangannya dari wanita yang sudah berumur itu. Wanita itu memeluknya dengan perasaan yang haru karena sudah sekian lama mereka tidak bertemu. Bahkan, mereka akhirnya tidak sengaja bertemu di tempat dan waktu sama sekali tidak pernah mereka duga sebelumnya.Vanika sulit untuk mempercayai siapa yang saat ini muncul di hadapannya dan memeluknya dengan penuh kasih sayang. Ialah Nyonya Irawan, ibu dari Hayden yang pernah dicintainya.“Apa kabarmu, Nak?” tanya wanita cantik itu.“Baik, Bu. Bagaimana kabar ibu?” tanya Vanika seraya membalas pelukannya yang erat.“Saya semakin tua, Vanika. Kamu sedang apa di sini?” tanya Bu Irawan dengan kedua matanya yang menatap Vanika dengan antusias.Tangan wanita bertubuh kurus itu menarik Vanika agar duduk di sebelahnya. Vanika duduk bersebelahan dengan Bu Irawan di kurs
“Van,,, ummm,,, kalau aku dan Clarissa mendahuluimu gimana?” tanya Jimmy pada sahabatnya.“Wah? Serius? Kamu yakin?” ujar Vanika yang sulit untuk mempercayai hal yang baru saja ia dengar.“Aku yakin. Aku pikir kami sudah siap,” jawab sahabatnya dengan mantap.“Rencananya kapan?” tanya wanita muda itu lagi.“Aku pikir tahun depan adalah waktu yang tepat, tapi aku ingin bertemu orang tua kalian secepatnya,”“Benarkah? Ah, aku gak pernah menyangka akan jadi keluargamu,”Vanika yang terharu memeluk Jimmy layaknya saudara. Sulit dipercaya bahwa mereka sudah sedewasa ini.“Maaf ya,” ucap Jimmy pada Vanika.“Kenapa kamu harus minta maaf? Santai saja,” jawab Vanika yang tersenyum dengan hangat.“Wah ada apa ini? Kenapa situasinya aneh begini?” ujar Adrian yang mendekati mereka.Vanika menarik tangan kekasihnya dan berkata dengan nada yang pelan. Hampir seperti berbisik.“Jimmy akan menemui orang tuaku dan Clarissa,” bisiknya.“Benarkah?” tanya pria jangkung itu sambil merangkul Jimmy yang ter
“I see your face in every scene of my dreams, and I hear your voice in every sound. I wish I did not. It is too much what I feel. They say such love never lasts”(Thomas Hardy – The Return of the Native)“Apakah Adrian tahu kamu pergi menemui aku?” tanya pria muda itu.“Gak, Hayden. Dia gak tahu,” jawab wanita muda yang duduk di hadapannya.“Apa kamu sudah memikirkannya?” tanya pria itu lagi sambil memajukkan tubuhnya.“Memikirkan apa?” Vanika bertanya balik dengan wajah yang kebingungan.“Van, aku pikir kita bisa memperbaiki semuanya. Do you love me?”“Sometimes I do,,, sometimes I don’t,”“Vanika, I’m the one who wants to love you more. I know you. You always want to be loved to madness,”So whenever you ask me again how I feelPlease remember my answer is youEven if we have to go around a long wayI will still feel the sameWe’ll be alrightI want to try again(d.ear ft. Jaehyun – Try Again)“Hayden, aku pikir ini adalah momen yang tepat untuk mengutarakan pendapatku,” ucap Vanika
“Ada apa, Adrian?” tanya Vanika dengan wajah yang tidak acuh. Wajahnya yang pucat menjadi merah padam. Wajah yang sama sekali tidak acuh seolah-olah selama ini dia telah dikhianati. Wajah yang seolah-olah tidak ada seorang pun di dunia ini yang dapat ia percaya. Pria itu hanya berjalan mendekat dan sama sekali tidak menjawab pertanyaannya. Wanita muda itu duduk di sebuah bangku sambil memasukkan semua barangnya ke dalam ranselnya. Ia juga sibuk mengikat rambutnya yang terurai tidak beraturan. Pria bertubuh jangkung itu duduk dengan tenang dan memberikan sekaleng minuman bersoda kesukaan kekasihnya. Vanika mengambilnya dengan perlahan dan menggenggamnya erat-erat dengan canggung. Mereka tidak saling berpandangan dan fokus dengan minuman mereka masing-masing. “Kelihatannya kamu kelelahan,” ucap pria muda itu yang mencoba mencairkan suasana yang tidak mengenakkan itu. “Aku gak kelelahan,” jawab wanita muda itu yang kemudian lang
Kedua mata indah nan gelap itu menatapnya dengan tajam. Tatapannya membuat jantung wanita muda itu berdegup dengan kencang. Vanika hanya diam terpaku. Membeku dan tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Lidahnya terasa begitu kelu.“H,,, hay,,, hayden?” ucapnya dengan gugup.Pria muda itu tersenyum hangat. Namun, Vanika hanya menatapnya dengan perasaan yang campur aduk. Ia meraih plester yang disodorkan kepadanya dan terdiam kebingungan. Hayden duduk tepat di sebelahnya. Mereka duduk dengan posisi yang persis sama dengan posisi duduk mereka beberapa tahun lalu.“Apa kabarmu, Van?” tanya Hayden.“Baik. Kapan kamu kembali ke sini?” balas Vanika dengan canggung.“Beberapa waktu lalu,” jawab pria rupawan itu yang dibalas oleh sebuah anggukan kepala wanita yang duduk di sebelahnya.“Sini aku bantu pakaikan plester di lukamu,” ujar pria muda itu yang langsung berlutut di hadapan wanita muda itu.“Ahh jangan. Gak usah. Aku bisa sendiri kok,” tolak wanita berambut ikal itu.“Kamu memang cocokn
Wanita itu berdiri terpaku. Kedua telapak tangannya menutup mulutnya yang terbuka karena terkejut. Ia benar-benar tertegun dengan hal yang sama sekali tidak pernah ia duga sebelumnya.Di dekat pintu masuk, sahabatnya berdiri. Sahabat yang sudah ia kenal sejak kecil. Sahabat yang sudah lama tidak ia temui. Sekarang sahabatnya telah menjadi pria dewasa yang tampan. Pria itu membawa sebuah tas berisi bingkisan di tangannya.“Emily,” sapa pria muda itu.Emily berlari dan memeluk pria itu dengan perasaan haru. Pria muda itu memeluknya dengan erat.“Happy anniversary, Em. Maaf aku gak bisa datang ke pernikahanmu tahun lalu,”“No, it’s okay. Lagipula aku hanya mengundang keluarga dan teman-teman dekat,”“Ini untuk kamu,” ucap pria itu seraya memberikan sebuah tas yang berisi sebuah bungkusan.“Thanks, Hayden,” jawab wanita muda itu dengan senyum yang hangat.Hayden duduk berhadapan dengan sahabatnya. Ia menyesap secangkir kopi hangat. Wajah Emily terlihat begitu gembira karena kedatangan sah