Clarissa yang melihat Hayden langsung berteriak.
“Kak Hayden! Sini masuk! Gak usah bunyikan bel!”
Bi Ika menyerahkan kipas yang dipegangnya kepada Clarissa agar gadis itu meneruskan kegiatan bakar-bakar. Wanita itu berlari ke arah tamu yang rupawan tersebut dan menariknya masuk ke halaman tempat mereka berkumpul. Hayden berlari kecil dengan membawa sebuah totebag berwarna hitam. Ia juga mengenakan kaus hitam polos, celana jeans, dan sneakers berwarna navy. Ia terlihat sangat keren.
“Duduk! Sini duduk!” wanita bertubuh gemuk itu menyuruh Hayden duduk di kursi yang berhadapan dengan Vanika sambil memundurkan kursi tersebut agar diduduki oleh laki-laki itu.
Hayden tersenyum sungkan dan berkata “tidak, terima kasih, Bu. Saya hanya ingin mengembalikan sesuatu untuk Vanika,” ia membungkukan tubuhnya beberapa kali.
“Gak bisa! Gak bisa! Duduk di sini. Nah ayo makan ini atau ini. Di sini ada banyak makanan. Makan dulu lah sedikit baru boleh pulang,” ujar Bi Ika dengan wajahnya yang selalu merona.
Hayden duduk dan melihat ke arah Vanika, sedangkan Bi Ika sibuk lagi dengan panggangannya.
“Kamu kenapa tadi gak sekolah?” tanya Vanika pada laki-laki yang duduk di hadapannya.
“Hanya kelelahan sedikit. Lagipula sudah dua tahun belum pernah bolos juga,” jawab Hayden dengan datar.
Vanika mengangkat kedua alisnya.
“Aku hanya mau kembalikan sepatumu,” ucap laki-laki berkulit pucat itu.
“Nanti dulu, setidaknya kamu harus menyantap sesuatu di sini. Aku merasa bersalah karena belum ucapkan terima kasih. Rasanya ini terlalu berlebihan,” kata Vanika dengan kepala sedikit tertunduk malu sambil memainkan sebuah garpu diatas sebuah piring kecil.
“Aku lakukan itu semua dengan ikhlas. Harusnya aku meminta maaf untuk semuanya,”
“Minta maaf? Untuk apa?”
“Karena waktu itu aku bersikap jutek sama kamu. Aku sama sekali gak bermaksud begitu. Aku hanya gugup. Selain itu, insiden sepatu ini mungkin terlalu berlebihan. Mungkin mendekati bullying?” jawab Hayden sambil mengernyitkan dahinya. Vanika menatap wajah laki-laki di hadapannya. Beberapa garis di antara kedua alisnya mungkin terbentuk karena ia terlalu sering mengernyitkan alisnya. Mungkin ia terlalu banyak berpikir atau terlalu banyak mengkhawatirkan sesuatu, tebak gadis itu.
“Gak. Aku perempuan kuat. Aku sama sekali gak merasa dibully kok,” jawab Vanika sambil mengangkat sedikit wajahnya.
“Ya sudah. Bagus kalau begitu. Aku janji aku gak akan jahil lagi sama kamu,”
“Tenang saja. Aku itu tangguh. Mau diganggu siapa pun aku gak akan rapuh,” jawab gadis berambut wavy itu sambil memasukkan beberapa butir bola-bola cokelat ke dalam mulutnya.
“Sepertinya kamu itu gak punya beban hidup ya?” tanya Hayden sambil menikmati segelas sirup dingin.
“Kata siapa? Banyak nih, menumpuk di sini,” jawab Vanika sambil menunjuk kepalanya.
Hayden tersenyum kecil lalu bangkit dari tempat duduknya.
“Sepertinya aku harus cepat pulang sebelum hari gelap,”
“Ehhh, kok buru-buru? Ini téh baru juga selesai. Setidaknya coba dulu special steak buatan bibi,” kata Bi Ika dengan cepat menghampiri laki-laki itu.
“Bungkus saja, Bi,” saran Clarissa dengan wajah sedikit kecewa.
Hayden membuka mulutnya hendak menolak, tapi Clarissa memotongnya.
“Kami gak suka orang yang banyak sungkan, Kak Hayden,” tambahnya.
Bi Ika dengan gesit membungkus kue-kue, steak, dan beberapa sosis ke dalam suatu wadah. Wadah itu dimasukkan ke dalam sebuah tas kecil. Hayden menghampiri Vanika dan memberikan totebag berisi sepatunya yang sudah dicuci bersih.
“Terima kasih,” ucap gadis mungil itu.
“Tapi nanti aku kembalikan ya sepatu dan cardigan kamu,” tambahnya.
“Cardigan itu untuk kamu saja. Itu peninggalan nenekku. Kalau sepatu santai saja. Aku masih bisa pakai yang lain,” jawab Hayden.
“Nah, ini! Dimakan ya! Jangan lupa, hati-hati di jalan,” Bi Ika memberikan tas berisi makanan tersebut pada laki-laki tampan itu.
“Terima kasih. Saya izin pamit ya,” ujar Hayden sambil membungkukan tubuhnya dan berlalu.
Vanika menyaksikan Hayden berjalan semakin jauh sampai hilang dari pandangannya. Clarissa mendekati kakaknya dan menyandarkan salah satu tangannya pada bahu kakaknya itu.
“Jadi, gimana?” tanya gadis jangkung itu sambil menaikkan alisnya dengan wajah yang jenaka.
“Gimana apanya?”
“Apakah ada kemajuan? Atau kamu butuh nomor kontak dia?” tanya Clarissa.
“Nomor kontak? Kamu punya kontak dia?” tanya kakaknya sambil menurunkan tangan adiknya.
“Tadi malam dia tanya nomor kontakku. Katanya untuk bertanya beberapa hal,”
“Tanya beberapa hal? Hal apa?” tanya Vanika semakin penasaran.
“Rahasia!” jawab adiknya sambil mencolek dagu kakaknya dan berlari ke dalam rumah.
“Clarissa!” teriak kakaknya dengan kesal.
***
Vanika membawa dua mangkuk besar berisi lontong kari ayam ke sebuah meja di kantin. Ia mulai menyantap mangkuk pertama dengan lahap. Gadis itu sangat menyukai lontong kari di sekolahnya itu. Memang menu itu sangat terkenal sampai ke luar sekolah. Mungkin lontong kari ayam itu merupakan lontong kari terbaik yang pernah disantap oleh Vanika.
Suasana kantin tidak terlalu penuh karena banyak siswa yang membeli makanan di luar sekolah. Tiba-tiba Pramana duduk di sebelah kirinya dan Satrio duduk tepat di hadapannya. Pramana menyimpan beberapa bungkus biskuit cokelat dan segelas besar banana milkshake di hadapan Vanika.
“Kamu kayaknya kelaparan ya? Atau memang suka? Kenapa badan kamu bisa tetap mungil meskipun banyak makan?” tanya Pramana secara beruntun.
“Aku suka,” jawab gadis di sebelahnya itu
“Habiskan saja semua yang aku bawa itu. Kayaknya kamu dalam masa pertumbuhan,” ujar pria berambut keriting itu sambil menepuk-nepuk kepala gadis berambut cokelat tua itu.
“Berhenti goda dia, Pram,” kata Satrio sambil mengetuk-ngetukkan setiap jarinya pada meja. Entah apa yang terjadi dengan laki-laki itu, tapi terlihat dengan jelas bahwa Satrio mengecat kuku-kukunya dengan cat kuku berwarna-warni. Bahkan ada yang ia hias seperti warna buah semangka.
“Mungkin habis mengikuti sebuah event atau apalah itu,” pikir Vanika sambil mulai menyantap mangkuk kedua.
“Woooo! Luar biasa, temanku yang satu ini. Satrio! Kenapa kamu bisa gak kena tegur guru? Sini aku lihat kuku-kuku kamu! Luar biasa!” celoteh Joe yang baru saja lewat sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Di tangannya, dia menggenggam sekaleng minuman cokelat dingin.
Gadis tangguh itu menghabiskan minumannya dalam sekali teguk, meremukkan kalengnya seperti orang yang sedang memeras cucian dan menyobek-nyobekan kaleng minuman itu dengan mudah. Lalu ia melemparnya ke udara dan kakinya dengan gesit menyepak kaleng remuk itu ke dalam tempat sampah. Beberapa adik kelas menatap Joe dengan tatapan kagum.
Vanika, Pramana, dan Satrio melihat dengan tatapan ngeri.
“Dia seperti kuda,” celetuk Satrio.
“Luar biasa! Teman-temanku gak ada satu pun yang normal! Ketua geng kita begitu dingin dan kaku, laki-laki di depanku begitu aneh, dan satu-satunya perempuan di kelompok kita selalu bertingkah gak wajar,” ujar Pramana sambil bertepuk tangan diikuti tawa Vanika sambil menyedot banana milkshake dengan sedotan yang terlalu pendek untuk gelas sebesar itu.
Vanika menunjuk ke arah tangan Joe dengan wajah yang sedikit khawatir.
“Tanganmu gak apa-apa ‘kan?” tanyanya.
“Tenang saja, Nona,” jawab Joe sambil meraih tangan Vanika yang menunjuknya dan mencium punggung tangan itu.
“Please Joe, hentikan kebiasaan burukmu itu. Aku yang laki-laki pun merasa malu lihat kamu bertingkah kayak begitu,” protes Pramana.
Joe bersikap tidak acuh pada kata-kata Pramana dan ia duduk di sebelah Satrio sambil memperhatikan kuku-kuku Satrio dengan wajah kagum.
Tidak lama kemudian Akhtar datang dengan bajunya yang sangat kusut dan dia tidak memasukkan ujung kemejanya ke dalam celana. Dasinya yang sudah tidak jelas bentuknya dia masukkan ke saku kemejanya. Rambut tebal dan hitamnya begitu berantakan. Wajahnya keturunan Arabnya cerah sekali seperti biasanya. Ia membawa satu kotak makan berwarna baby blue. Ia duduk di sebelah Vanika.
“Kamu sudah makan ‘kan? Jangan sampai telat makan, Van,” kata laki-laki itu sambil tersenyum lebar.
“Woah Akhtar ini sudah seperti mamanya Vanika ya? Mungkin lebih ibu-ibu daripada para ibu itu sendiri,” kata Pramana sambil mengambil sebuah biskuit dan melahapnya dalam sekali lahap.
“Aku begitu karena Vanika itu sahabat aku sejak kecil,” jawab Akhtar sambil membuka kotak makannya. Di dalamnya ada sandwich tuna kesukaannya dan sayur kacang merah. Akhtar memang hampir setiap hari bekal sayur kacang merah.
“Apa ada hal yang menarik gak, Tar? Soalnya dari tadi kamu kelihatan lebih happy dari biasanya,” tanya Satrio.
“Oh ya, aku lagi jatuh cinta,” jawab laki-laki berkumis tipis itu dengan percaya diri.
Semua yang mendengar itu terkejut. Tidak biasanya seorang Akhtar jatuh cinta. Biasanya di otak laki-laki itu hanya ada game, bisnis, dan uang.
“Yang benar?” tanya Joe sambil memajukan tubuhnya karena hal itu sangat sulit dipercaya.
“Sama siapa, Tar?” tanya Vanika.
“Baru kenal sih. Nanti deh aku cerita. Aku malu kalau harus cerita sekarang. Aku suka dia karena dia seru kalau diajak diskusi terutama kalau lagi main game,” jawab Akhtar.
“Kamu kenal orang itu dari game? Ahhh Tar, hati-hati. Kamu ini konyol. Suka sama orang kok lewat game. Pernah ketemu langsung?” tanya Pramana.
“Belum. Ah pokoknya dia itu seru kalau diajak ngobrol,”
“Tar, please. Pakai akal sehatmu. Di sini ada banyak perempuan. Aku pasti bantu,” ujar Joe sambil mendekat pada laki-laki yang sedang sibuk makan itu.
“Ok, ok, pokoknya aku pasti hati-hati. Kalian cukup doakan saja,”
Vanika, Joe, Pramana, dan Satrio saling berpandangan dengan wajah yang sangsi. Akhtar menyadarinya dan mengguncang-guncang tubuh Vanika.
“Ahhh kalian jangan begitu, aku pasti hati-hati,”
“Baiklah, Tar. Kamu pasti tahu gimana baiknya,” jawab gadis di sebelahnya, masih dengan wajah yang penuh keraguan.
***
Vanika turun dari bus. Langit begitu cerah dan tiba-tiba ia ingin sekali singgah ke taman sebentar. Lalu ia berjalan ke arah yang berbeda. Di sebelah kanan dan kiri jalan terdapat banyak pohon yang masing-masing berdiri saling berdampingan. Dedaunan dari pepohonan tersebut membuat jalan lebih sejuk dan teduh. Sedikit cahaya mengintip masuk dari balik dedaunan. Angin berhembus dengan pelan dan sampailah gadis itu di taman tersebut. Di dekat kolam ada sosok laki-laki bertubuh tinggi sedang melemparkan sesuatu ke dalam kolam.
“Dia mungkin sedang memberi makan ikan-ikan,” pikir Vanika.
Ia berjalan lebih dekat lagi dan sosok itu memakai pakaian yang sangat tidak asing bagi Vanika. Celana abu-abu tua, kemeja putih bersih dengan dasi berwarna maroon, dan rompi yang sangat tidak asing lagi. Ia semakin mendekat. Akhirnya ia bisa mengenal sosok itu. Seorang siswa dari sekolahnya.
“Hayden?” tanya gadis itu memastikan agar ia tidak salah orang.
Laki-laki itu berbalik. Ya, itu Hayden dengan rambut yang sedikit berantakan karena diterpa angin dan di tangannya terdapat satu toples kecil berisi makanan ikan.
“Kamu sengaja ke sini untuk beri makan ikan-ikan itu?” tanya Vanika sambil menunjuk kolam berukuran besar itu.
“Ya, kamu mau coba?” ujar laki-laki itu sambil menyodorkan toples di tangannya.
Vanika mendekat dan melihat ada banyak sekali ikan berkumpul di sisi kolam. Mulut mereka membuka dan menutup dengan cepat. Mereka berenang dengan cepat ke segala arah dan saling berdesakan.
“Lihat, mulut mereka membuka dan menutup seperti Clarissa kalau sedang mengomel,” celetuk Vanika diikuti tawa kecil laki-laki di sebelahnya.
“Sudah, ini, coba kasih makan mereka,” kata Hayden dengan ramah.
Gadis itu mengambil satu genggam makanan ikan dan melemparnya ke dalam kolam. Para ikan saling berebut mendapatkan makanan. Vanika langsung mengeluarkan gawainya dan merekam mereka sedang makan.
“Aku akan kirim ini ke papa,” katanya sambil mulai merekam.
“Hati-hati, awas nanti kamu jatuh ke kolam,”
“Tenang saja, ini sudah beres,” ujar Vanika sambil memasukkan gawainya ke dalam saku kemejanya.
Mereka menjauh dari kolam dan duduk di sebuah bangku taman. Beberapa orang tua sedang berjalanan mengitari kolam dan tiga orang remaja SMP sedang bermain skateboard tidak jauh dari tempat.
“Kamu sering datang ke sini?” tanya Vanika berusaha mencairkan susasana.
“Hampir. Biasanya pagi hari di akhir pekan dan sore hari di hari kerja. Kalau cuaca cerah ada banyak merpati datang untuk mencari makan. Beberapa orang datang untuk memberi makan mereka. Kamu sering ke sini?”
“Mungkin tiga sampai empat kali seminggu. Biasanya di pagi hari atau sore hari juga sembari ajak kucingku main-main di sini, tapi kita hampir gak pernah bertemu ya sebelumnya?” tanya gadis itu sambil menatap laki-laki di sebelahnya.
“Aku sering lihat kamu. Kamu saja yang gak sadar,” jawab Hayden, tatapannya masih fokus ke depan.
Kata-kata Hayden membuat pipi Vanika berubah menjadi merah. Seorang Hayden yang cuek ternyata sering memperhatikannya, pikirnya sambil tersenyum malu.
Laki-laki di sebelahnya melihat Vanika dengan tatapan bingung.
“Kamu kenapa? “ tanyanya dengan heran.
“Ohhh, gak,” jawab gadis itu sambil berusaha tampil senormal mungkin.
Tiba-tiba bunyi telepon masuk berdering dari gawai milik Hayden. Ia mengangkatnya dengan segera. Terdengar dengan jelas percakapan laki-laki itu.
“Kamu sendiri di rumah? Ok, kakak pulang sekarang. Kakak tutup ya teleponnya. Hati-hati di rumah,” kata Hayden yang langsung menutup teleponnya.
“Van, aku pulang duluan ya. Adikku sendiri di rumah. Kamu hati-hati di sini. Jangan pulang larut,” sambungnya sambil mengeluarkan jas almamaternya dan memakai tas ranselnya. Hayden memberikan jas almamaternya kepada Vanika.
“Pakai ini. Udara semakin dingin. Hari juga mulai gelap. Aku permisi,” katanya sambil berlalu dengan cepat.
“Terima kasih,” ucap Vanika dengan pelan sambil menatap laki-laki itu berlari kecil dan semakin menjauh dari gadis itu.
Tidak lama kemudian, rintik-rintik hujan mulai turun dengan cepat. Vanika dengan segera menutupi kepala dan tubuhnya dengan jas almamater milik Hayden. Ia berlari pulang ke rumahnya yang tidak jauh dari taman itu.
***
Hujan semakin deras dan angin semakin kencang. Namun, Vanika tidak membutuhkan waktu yang lama untuk sampai ke rumahnya. Gadis bermata bulat itu sampai di halaman rumahnya dengan keadaan sepatu yang basah. Mungkin jika tidak ada jas milik Hayden, tubuhnya akan basah kuyup. Ia berselonjor di lantai terasnya sambil menatap jas milik laki-laki itu yang terbaring di sebelahnya.
“Aku pikir aku suka dia,” ucapnya dalam hati.
“Aku gak tahu kalau Erika adalah pemilik rumah pohon di daerah atas itu,” ujar Adrian yang berjalan beriringan dengan Joe dari arah halaman belakang menuju meja makan.“Ya, keluarganya membeli tempat itu,” jawab Vanika yang sedang mempersiapkan makanan di meja makan yang berukuran besar dan memanjang itu.“Dan akhirnya tempat itu menjadi area bermain Erika,” sambung Joe sambil mengeluarkan sebuah kursi makan dan duduk di atasnya.“Ya, kurang lebih begitu,” jawab Vanika lagi.“Lalu kenapa kalian sampai keluar dari area itu dan memasuki kawasan milik orang lain?” tanya Adrian sambil memandang kekasihnya.“Kami gak begitu yakin. Lagipula aku gak mau ke sana lagi. Pria itu mungkin pemiliknya atau tinggal di dekat sana. Dia juga kelihatannya begitu misterius,” jawab kekasihnya dengan tegas.“Itu hanya perasaan kamu saja,” balas pria berparas tampan itu dengan senyum tipisnya.“Semua orang tua, terutama pria tua, terlihat sama saja di mataku,” ujar Joe dengan wajah yang tidak acuh.“Kami ga
Vanika takjub dengan apa yang dilihatnya. Sebuah telaga. Telaga dengan air yang jernih dan air terjun yang berukuran tidak begitu besar. Airnya begitu jernih sehingga cahaya matahari menyeruak ke dalamnya dan mereka dapat melihat bagian dasar di bagian yang dangkal. Di dasar telaga terdapat banyak batu berwarna putih yang terlihat indah seperti bebatuan yang biasa kita lihat di berbagai macam tayangan bertema alam.Udara di lingkungan itu begitu sejuk dan banyak tanaman yang rindang. Tempat tersebut terlihat seperti tempat yang belum terjamah. Lebih tepatnya terlihat seperti tempat di kisah-kisah fairytale atau mungkin dongeng tentang petualangan yang biasa kita dengar pada saat sebelum tidur.Tempat tersebut didomonasi oleh warna hijau yang menyegarkan mata. Vanika menengadahkan kepalanya dan menatap langit. Langit berwarna biru cerah dengan gumpalan awan yang terlihat seperti kapas yang berwarna putih bersih. Perpaduan pemandangan langit yang cerah dan suasana di sekitarnya yang pen
Vanika terdiam membisu dan kebingungan.I have a bad feeling, pikirnya.Vanika tersenyum tipis kepada kawannya. Ia sama sekali tidak ingin merusak suasana hati Erika yang sedang bahagia. Kendaraan mereka mendekati sebuah bukit yang dikelilingi sebuah pagar berwarna gelap.Pemandangan itu sangat tidak asing bagi Vanika. Gerbangnya yang besar itu terbuka secara otomatis. Mobil melewati pagar itu dan melaju terus ke atas. Jantung Vanika berdebar-debar. Kedua matanya menangkap sebuah pemandangan yang membuatnya semakin gugup.Tempat di mana dia sering menghabiskan masa remajanya dengan seseorang yang pernah ia cintai ada di depan matanya. Hampir tidak ada yang berubah dari tempat itu. Tempat di mana Hayden pertama kali melihatnya menangis. Tempat itu juga menjadi tempat pertama yang akan dikunjungi mantan kekasihnya itu saat ia tidak punya tempat mengadu.Tempat itu adalah rumah pohon peninggalan mendiang sang ayah dari Hayden Irawan dan sekarang tempat itu menjadi milik keluarga Erika. E
“Sudah sekian lama kita tidak bertemu, Vanika,” ujar wanita ber-lipstick merah itu.Wanita tersebut bangkit dari tempat duduknya. Vanika pun melakukan hal yang sama tanpa mengalihkan pandangannya dari wanita yang sudah berumur itu. Wanita itu memeluknya dengan perasaan yang haru karena sudah sekian lama mereka tidak bertemu. Bahkan, mereka akhirnya tidak sengaja bertemu di tempat dan waktu sama sekali tidak pernah mereka duga sebelumnya.Vanika sulit untuk mempercayai siapa yang saat ini muncul di hadapannya dan memeluknya dengan penuh kasih sayang. Ialah Nyonya Irawan, ibu dari Hayden yang pernah dicintainya.“Apa kabarmu, Nak?” tanya wanita cantik itu.“Baik, Bu. Bagaimana kabar ibu?” tanya Vanika seraya membalas pelukannya yang erat.“Saya semakin tua, Vanika. Kamu sedang apa di sini?” tanya Bu Irawan dengan kedua matanya yang menatap Vanika dengan antusias.Tangan wanita bertubuh kurus itu menarik Vanika agar duduk di sebelahnya. Vanika duduk bersebelahan dengan Bu Irawan di kurs
“Van,,, ummm,,, kalau aku dan Clarissa mendahuluimu gimana?” tanya Jimmy pada sahabatnya.“Wah? Serius? Kamu yakin?” ujar Vanika yang sulit untuk mempercayai hal yang baru saja ia dengar.“Aku yakin. Aku pikir kami sudah siap,” jawab sahabatnya dengan mantap.“Rencananya kapan?” tanya wanita muda itu lagi.“Aku pikir tahun depan adalah waktu yang tepat, tapi aku ingin bertemu orang tua kalian secepatnya,”“Benarkah? Ah, aku gak pernah menyangka akan jadi keluargamu,”Vanika yang terharu memeluk Jimmy layaknya saudara. Sulit dipercaya bahwa mereka sudah sedewasa ini.“Maaf ya,” ucap Jimmy pada Vanika.“Kenapa kamu harus minta maaf? Santai saja,” jawab Vanika yang tersenyum dengan hangat.“Wah ada apa ini? Kenapa situasinya aneh begini?” ujar Adrian yang mendekati mereka.Vanika menarik tangan kekasihnya dan berkata dengan nada yang pelan. Hampir seperti berbisik.“Jimmy akan menemui orang tuaku dan Clarissa,” bisiknya.“Benarkah?” tanya pria jangkung itu sambil merangkul Jimmy yang ter
“I see your face in every scene of my dreams, and I hear your voice in every sound. I wish I did not. It is too much what I feel. They say such love never lasts”(Thomas Hardy – The Return of the Native)“Apakah Adrian tahu kamu pergi menemui aku?” tanya pria muda itu.“Gak, Hayden. Dia gak tahu,” jawab wanita muda yang duduk di hadapannya.“Apa kamu sudah memikirkannya?” tanya pria itu lagi sambil memajukkan tubuhnya.“Memikirkan apa?” Vanika bertanya balik dengan wajah yang kebingungan.“Van, aku pikir kita bisa memperbaiki semuanya. Do you love me?”“Sometimes I do,,, sometimes I don’t,”“Vanika, I’m the one who wants to love you more. I know you. You always want to be loved to madness,”So whenever you ask me again how I feelPlease remember my answer is youEven if we have to go around a long wayI will still feel the sameWe’ll be alrightI want to try again(d.ear ft. Jaehyun – Try Again)“Hayden, aku pikir ini adalah momen yang tepat untuk mengutarakan pendapatku,” ucap Vanika