Hayden Irawan berlari ke bawah dan berdiri tepat di hadapan Vanika.
“I can’t believe this,” ucap Vanika.
“Kenapa? Looks can be deceiving?” tanya Hayden dengan senyum di wajahnya.
Hujan mulai reda. Pramana dan Zaid datang dengan tertawa puas.
“Van, itu semua rencana Hayden. Nih lihat bahkan ada kertas yang isinya gambar rangkaian rencana kita. Ini Hayden yang buat,” Zaid berkata sambil memamerkan kertas rencana mereka. Setiap garis dari gambar di kertas itu pudar karena terkena air hujan.
“Satrio coba mengalihkan perhatian kamu. Aku dan Zaid melepas sepatu. Hayden yang lempar sepatunya ke atap,” sambung Pramana dengan puas.
“Kalian puas?! Pokoknya sepatu itu harus ada di tangan aku sekarang juga!” ujar Vanika dengan kesal.
“Sayang sekali. Kita gak punya rencana gimana cara menurunkannya,” ungkap Satrio dengan wajah bersalahnya.
“Usahakan sekarang juga. Kalau gak bisa nanti aku pulang pakai apa?” protes gadis itu dengan wajah yang memerah karena penuh rasa kesal.
Akhtar dan Aditya datang dan menyeret Vanika ke pinggir.
“Sudah, ayo,” ucap Akhtar mencoba menenangkan Vanika.
“Kamu tahu Van? Itu keren! Rencana yang dirancang dengan super matang,” kata Aditya dengan tawa kecil.
“Ish! Apanya yang keren?!” protes Vanika masih dalam keadaan kesal.
Tiba-tiba sebuah genggaman menahan lengan Vanika dari belakang.
“Tunggu, Van!” genggaman Hayden masih menahan lengan Vanika.
Bibir Vanika tidak mengeluarkan sepatah kata pun.
“Ok, maaf soal tadi. Aku akan ambil sepatu kamu. Ikut aku kelasku. Kamu gak bisa pulang tanpa sepatu ‘kan?” ajak Hayden.
“Awas kalau kamu macam-macam lagi,” ujar gadis itu seraya menyipitkan kedua matanya.
Hayden meraih tangan Vanika dan mereka menyusuri lorong, melewati beberapa siswi yang terkejut melihat mereka, dan akhirnya sampailah mereka di depan kelas XII IPA 3.
“Masuk,” perintah laki-laki itu. Rambutnya basah dan itu membuat Hayden terlihat seperti tidak biasanya. Bahkan, terlihat lebih menarik!
“Dia menyebalkan, tapi dia sulit ditolak. Bodohnya aku,” pikir Vanika.
Mereka memasuki ruangan kelas. Kelas XII IPA 3 terkesan lebih menyenangkan dibandingkan dengan kelas XII IPA 2 yang penuh dengan orang-orang yang sangat ambisius. Apalagi memasuki kelas XII membuat murid-murid di kelas Vanika sudah jarang bercanda lagi. Sudah jarang juga tawa terdengar di kelasnya.
Di depan kelas, beberapa coretan di papan tulis berisi candaan khas XII IPA 3 membuktikan bahwa kelas ini berisi anak-anak yang jahil dan masih sempat bersenang-senang. Terkadang memang keterlaluan, waktu mereka di kelas XI, mereka pernah membuat salah satu guru PPL menangis dan meminta pindah.
Di dalam kelas itu ada seorang siswi dari XII IPA 1 yang bernama Josephine. Ia termasuk dalam geng Hayden. Josephine benci namanya sendiri dan menolak dipanggil dengan nama tersebut. Jadi semua orang memanggilnya “Joe”. Ia berkulit pucat dan ada banyak freckles di wajahnya.
Joe merupakan ketua tim olahraga panahan sekolah ini. Tubuhnya gagah dan kuat seperti kuda. Rambutnya pun bermodel ponytail dan selalu diikat dengan kuat. Ia seringkali berlagak seperti seorang pangeran dan tidak segan memanggil beberapa siswi dengan panggilan “Tuan Putri” atau “Nona”. Hal itu seringkali membuat orang-orang lupa bahwa ia merupakan seorang perempuan. Joe memiliki 4 kakak laki-laki. Ia juga terkenal di sekolah karena memiliki IQ 160. Hanya saja ia terlampau malas.
“Tuan Putri,” tiba-tiba Joe berlutut dan meraih tangan kanan Vanika. Lalu menciumnya.
“Joe,,,” ucap Vanika dengan nada canggung dan langsung menarik tangannya.
Joe tersenyum jahil dan bangkit. Memperhatikan gadis di hadapannya dari atas ke bawah.
“Kamu kenapa hujan-hujanan?” tanya Joe penasaran.
“Tanya ketua geng kamu,” jawab Vanika singkat.
Joe memperhatikan tali sepatu kiri Vanika yang lepas dan gadis bermata hitam gelap itu tidak memakai sepatu sebelah kanannya. Joe mengalihkan pandangannya pada Hayden.
“Apa lagi, Hay? Kasihan anak ini. Kamu keterlaluan,” tegur Joe.
“Coba kamu duduk di bangku itu,” perintah Hayden sambil sibuk mencari sesuatu di ranselnya.
“Mungkin aku seharusnya tunggu di luar ya,” ujar Joe sambil berjalan perlahan ke luar.
Hayden menghampiri Vanika dan memberi sebuah handuk kecil berwarna putih bersih dan sebuah cardigan. Sebuah cardigan berwarna cream yang berukuran cukup besar.
“Pakai itu. Rambut kamu juga basah,”
“Ternyata semuanya sudah disiapkan dengan sangat baik,” ejek Vanika.
Gadis itu mengelap beberapa bagian yang basah dan memakai cardigan. Wangi dari cardigan itu mengingatkannya pada mendiang neneknya. Hayden mendekat dan memberika sebuah sandal capit. Hanya sebuah sandal capit. Berwarna hijau dan berukuraan super besar.
“Aku tahu sandal ini terkenal kuat dan nyaman, tapi ini terlalu besar. Lagipula ini hanya satu. Hanya untuk kaki kanan,” protes Vanika.
“Kan kamu hanya kehilangan yang sebelah kanan?”
“Dasar Hayden! Bodoh! Mana bisa aku pulang sebelah pakai sepatu dan sebelah lagi pakai sandal capit!” Vanika menunjukkan wajah murka
Hayden tertawa puas melihat gadis itu memarahinya. Lalu dia membuka kedua sepatunya dan itu membuat Vanika terdiam. Lalu Hayden membuka sepatu gadis itu.
“Kakimu kecil,” ejek laki-laki itu.
“Setidaknya bisa dipakai berjalan. Aku kuat berjalan jauh,” Vanika mencoba membuat pembelaan.
Hayden mengambil sepatunya dan memakaikannya pada kaki Vanika.
“Sementara pakailah sepatuku dulu. Hanya untuk hari ini. Aku coba untuk ambil sepatu kamu di atas sana. Kalau gak bisa, aku ganti,” kata Hayden dengan lembut.
Pipi Vanika menjadi merah merona.
Tidak lama kemudian Joe melongokkan kepalannya masuk ke dalam kelas.
“Hay! Dicari guru fisika tuh! Katanya ada latihan untuk persiapan olimpiade!”
“Sebentar,” jawab Hayden sambil mengikat tali sepatu dengan rapi. Pandangannya beralih kepada Vanika “nanti gak usah pakai sepatu tali lagi,”
Pandangannya berbeda dari Hayden yang pertama ia temui. Kali ini terkesan lebih ramah dan hangat, tapi tetap ada sedikit kesan menyebalkan.
“Nanti pulangnya hati-hati ya. Bye,” laki-laki jangkung itu berbalik dan pergi dengan Joe, meninggalkannya sendiri di ruangan itu.
Vanika berjalan menuju kelas sambil memperhatikan sepatu yang dipakainya. Sangat besar. Terlampau besar jika dibandingkan dengan ukuran kedua kakinya. Setidaknya dia bisa pulang dengan aman. Gadis itu memasuki kelas dan Satrio menghampirinya.
“Van, maaf ya,” ucapnya sambil mengikuti Vanika yang berjalan ke tempat duduknya.
“Gak apa-apa. Tenang saja. Asal jangan pernah kamu ulangi lagi loh. Awas saja,” ancam Vanika sambil menunjukkan tangan yang terkepal ke depan wajah Satrio.
“Eh ya Sat, yang lain pada ke mana?” sambung Vanika pada ketua kelas itu.
“Oh katanya pada sibuk di club masing-masing. Ada beberapa yang sibuk buat olimpiade. Kamu mau ikut? Ayolah gabung di biologi. Kamu kan jagonya biologi,” ujar Satrio sambil mengguncang-guncang tubuh Vanika yang sedang sibuk membereskan isi tasnya.
“Hmmm, malas ah,” balas gadis itu, bangkit dari tempat duduknya.
“Yahhh, ayolah Van. Nanti kalau ada kegiatan club aku kasih info deh,”
“Ok deh ok. Aku pikir dulu ya,” Vanika sambil berjalan menuju ke luar.
“Ya, hati-hati pulangnya ya!” pesan Satrio melambaikan tangannya pada gadis bermata bulat itu.
***
Vanika berjalan menyusuri jalan yang basah karena hujan. Langit tidak begitu cerah, tapi juga tidak begitu gelap. Udaranya begitu segar tapi begitu dingin menusuk tulang. Rambut cokelat dan bergelombangnya sudah mulai mengering. Bulir-bulir air berjatuhan dari dedaunan. Sebuah tangan menepuk pelan pundaknya. Gadis itu terkejut dan membalikkan tubuhnya. Di hadapannya berdirilah seorang laki-laki dengan model rambut jambul Tintin.
“Baru mau pulang?” tanya Jimmy dengan senyum hangatnya.
“Ya. Kamu gak ikut kegiatan chemistry club. Sebentar lagi olimpiade ‘kan?”
“Gak, aku lagi gak mood. Kamu pulang naik apa? Tumben gak dijemput,”
“Aku akhir-akhir ini sering pakai bus. Entah, lebih nyaman,” jawab Vanika.
“Rumah kita kan searah. Ayo bareng!” ajak Jimmy.
“Gak, terima kasih. Memang kamu gak bareng pacarmu?”
“Kami putus tadi. Kamu gak mau hibur aku yang sedang berduka?” ujar Jimmy sambil menunjuk dadanya, “waktu SD kita sering main bareng. Gara-gara SMP beda sekolah kita jadi agak jauh,”
Vanika, Akhtar, dan Jimmy dahulu bersekolah di SD yang sama. Namun, Jimmy melanjutkan SMP di Jakarta karena ayahnya harus bertugas di sana. Hubungan pertemanan mereka semakin jauh di SMA karena Jimmy termasuk anak yang terkenal dan sangat pandai bergaul, terutama dengan kalangan murid-murid eksis di sekolah mereka. Hanya saja, Jimmy sangat cemerlang di bidang akademis dibandingkan teman-teman sepermainannya.
“Aku gak bisa karena Clarissa di rumah sendirian,” tolak Vanika dengan wajah menyesal.
“Eh apa kabar Clarissa?” tanya Jimmy sambil menyesuaikan kecepatan jalannya dengan gadis di sebelahnya.
“Begitulah. Semakin tinggi, semakin gagah, dan semakin luar biasa,”
“Ternyata Clarissa semakin dewasa. Eh Van, ayo aku antar pulang. Jadi sekalian menyapa Clarissa,”
“Ayo deh sekalian mampir ya!”
Setelah sekian lama tidak jalan bersama dengan Jimmy, Vanika merasa sedikit canggung. Jimmy bukan lagi anak kecil yang selalu membawa sebungkus permen di saku celananya. Sekarang dia seorang pemuda. Pemuda yang tampan dan hangat. Semua orang mengaguminya. Bahkan, pada saat ia bertanding, kursi penonton selalu penuh.
Jalanan begitu basah dan licin. Langit mulai gelap dan udara menjadi semakin dingin. Hujan juga mulai turun kembali. Jimmy menepikan motornya di depan sebuah minimarket.
“Kamu tunggu di salah satu meja yang kosong ya. Aku beli makanan dulu,” ucap Jimmy sambil mendorong pintu masuk.
Vanika menganggukan kepalanya dan duduk di salah satu kursi kosong. Satu meja memiliki sepasang kursi. Gadis itu sedikit menggigil dan menggosokan kedua telapak tangannya. Tidak lama kemudian Jimmy keluar sambil membawa sebuah baki. Di atasnya terdapat dua mie instan cup, roti isi cream cheese, segelas kopi dingin, dan segelas cokelat panas. Ia duduk dengan perlahan.
“Mie instan cup masih mengepul satu untuk kamu. Ini, segelas cokelat panas dan roti isi cream cheese,” ujar Jimmy sambil menata semuanya dengan rapi di depan Vanika.
“Kamu kelihatannya lebih kecil dari terakhir kita main bareng. Makanlah yang baik. Aku belikan cokelat panas karena seingatku kamu suka sekali cokelat,” tambahnya sambil membukakan bungkus roti milik gadis di hadapannya.
Vanika tersenyum dengan perlakuan Jimmy kepadanya. Laki-laki di hadapannya itu selalu menjadi laki-laki yang baik di mata Vanika. Jimmy selalu perhatian pada orang-orang di sekitarnya dan itu membuat mereka semakin menyukainya.
“Terima kasih,” ucap gadis itu dengan pelan.
“Ngomong-ngomong apakah ada hal yang menarik selama aku menetap di kota lain?” tanya Jimmy sambil menyesap kopi panasnya.
“Hmmm apa ya? Aku dan Akhtar jadi lebih kompetitif. Paling hebat Akhtar. Sejak awal masuk SMP dia mulai berjualan di sekolah, tapi dia juga tetap fokus belajar. Makanya aku pikir suatu hari nanti dia akan sangat sukses. Mungkin sifat dia yang agak menjengkelkan itu sifat mudah panik. Terlalu mudah panik,” Vanika bercerita dengan antusias.
“Ah dia itu. Waktu itu aku pulang bareng dia. Dia tiba-tiba histeris kalau tiket parkirnya hilang. Setelah itu dia bongkar tas ranselnya yang besar dan penuh itu. Dia juga bongkar semua tas dagangan dia. Eh ternyata, tiket parkir itu ada di saku kemejanya,” cerita Jimmy diikuti tawa Vanika.
Waktu terasa berjalan dengan cepat. Tidak terasa semua makanan sudah mereka habiskan sampai bersih. Langit sudah semakin gelap dan beragam cahaya sudah mulai terlihat dari beberapa gedung di sekitar mereka. Hujan sudah berhenti.
“Terus apa kabar orang tua kamu?” tanya laki-laki berjambul itu, mencoba melanjutkan obrolan mereka.
“Baik-baik saja. Gak ada hal yang berubah secara signifikan. Masih tetap sibuk. Mereka juga bertambah tua,” jawab gadis dengan cardigan yang kebesaran itu sambil membereskan bekas makan mereka.
“Aku harap kalian selalu sehat,” balas Jimmy sambil memakai tasnya kembali.
“Terima kasih. Untuk kamu dan keluarga kamu juga,” jawab Vanika dengan senyum hangatnya.
“Ayo, Van. Kasihan Clarissa di rumah sendiri,” Jimmy sudah siap dengan helmnya.
***
Mereka sampai di depan gerbang besar berwarna putih. Pintu terbuka sedikit dan ada dua sosok yang berjalan menuju ke gerbang. Vanika mencoba melihat dengan jelas dengan menyipitkan matanya. Cahaya dari lampu hias pilar di gerbang mulai menyinari dua sosok itu.
Salah satu orang yang sedang berjalan menggunakan piyama berwarna biru dengan corak polkadot kecil berwarna putih. Yang lainnya bertubuh lebih tinggi dengan celana berwarna gelap. Sosok dengan pakaian yang sangat familiar baginya.
“Clarissa?” Vanika memastikan bahwa itu adiknya.
Clarissa dengan suara riangnya berkata “Van, ini ada Hay…”
“Hayden Irawan?!” potong kakaknya dengan wajah terkejut.
“Aku gak tahu kalau Erika adalah pemilik rumah pohon di daerah atas itu,” ujar Adrian yang berjalan beriringan dengan Joe dari arah halaman belakang menuju meja makan.“Ya, keluarganya membeli tempat itu,” jawab Vanika yang sedang mempersiapkan makanan di meja makan yang berukuran besar dan memanjang itu.“Dan akhirnya tempat itu menjadi area bermain Erika,” sambung Joe sambil mengeluarkan sebuah kursi makan dan duduk di atasnya.“Ya, kurang lebih begitu,” jawab Vanika lagi.“Lalu kenapa kalian sampai keluar dari area itu dan memasuki kawasan milik orang lain?” tanya Adrian sambil memandang kekasihnya.“Kami gak begitu yakin. Lagipula aku gak mau ke sana lagi. Pria itu mungkin pemiliknya atau tinggal di dekat sana. Dia juga kelihatannya begitu misterius,” jawab kekasihnya dengan tegas.“Itu hanya perasaan kamu saja,” balas pria berparas tampan itu dengan senyum tipisnya.“Semua orang tua, terutama pria tua, terlihat sama saja di mataku,” ujar Joe dengan wajah yang tidak acuh.“Kami ga
Vanika takjub dengan apa yang dilihatnya. Sebuah telaga. Telaga dengan air yang jernih dan air terjun yang berukuran tidak begitu besar. Airnya begitu jernih sehingga cahaya matahari menyeruak ke dalamnya dan mereka dapat melihat bagian dasar di bagian yang dangkal. Di dasar telaga terdapat banyak batu berwarna putih yang terlihat indah seperti bebatuan yang biasa kita lihat di berbagai macam tayangan bertema alam.Udara di lingkungan itu begitu sejuk dan banyak tanaman yang rindang. Tempat tersebut terlihat seperti tempat yang belum terjamah. Lebih tepatnya terlihat seperti tempat di kisah-kisah fairytale atau mungkin dongeng tentang petualangan yang biasa kita dengar pada saat sebelum tidur.Tempat tersebut didomonasi oleh warna hijau yang menyegarkan mata. Vanika menengadahkan kepalanya dan menatap langit. Langit berwarna biru cerah dengan gumpalan awan yang terlihat seperti kapas yang berwarna putih bersih. Perpaduan pemandangan langit yang cerah dan suasana di sekitarnya yang pen
Vanika terdiam membisu dan kebingungan.I have a bad feeling, pikirnya.Vanika tersenyum tipis kepada kawannya. Ia sama sekali tidak ingin merusak suasana hati Erika yang sedang bahagia. Kendaraan mereka mendekati sebuah bukit yang dikelilingi sebuah pagar berwarna gelap.Pemandangan itu sangat tidak asing bagi Vanika. Gerbangnya yang besar itu terbuka secara otomatis. Mobil melewati pagar itu dan melaju terus ke atas. Jantung Vanika berdebar-debar. Kedua matanya menangkap sebuah pemandangan yang membuatnya semakin gugup.Tempat di mana dia sering menghabiskan masa remajanya dengan seseorang yang pernah ia cintai ada di depan matanya. Hampir tidak ada yang berubah dari tempat itu. Tempat di mana Hayden pertama kali melihatnya menangis. Tempat itu juga menjadi tempat pertama yang akan dikunjungi mantan kekasihnya itu saat ia tidak punya tempat mengadu.Tempat itu adalah rumah pohon peninggalan mendiang sang ayah dari Hayden Irawan dan sekarang tempat itu menjadi milik keluarga Erika. E
“Sudah sekian lama kita tidak bertemu, Vanika,” ujar wanita ber-lipstick merah itu.Wanita tersebut bangkit dari tempat duduknya. Vanika pun melakukan hal yang sama tanpa mengalihkan pandangannya dari wanita yang sudah berumur itu. Wanita itu memeluknya dengan perasaan yang haru karena sudah sekian lama mereka tidak bertemu. Bahkan, mereka akhirnya tidak sengaja bertemu di tempat dan waktu sama sekali tidak pernah mereka duga sebelumnya.Vanika sulit untuk mempercayai siapa yang saat ini muncul di hadapannya dan memeluknya dengan penuh kasih sayang. Ialah Nyonya Irawan, ibu dari Hayden yang pernah dicintainya.“Apa kabarmu, Nak?” tanya wanita cantik itu.“Baik, Bu. Bagaimana kabar ibu?” tanya Vanika seraya membalas pelukannya yang erat.“Saya semakin tua, Vanika. Kamu sedang apa di sini?” tanya Bu Irawan dengan kedua matanya yang menatap Vanika dengan antusias.Tangan wanita bertubuh kurus itu menarik Vanika agar duduk di sebelahnya. Vanika duduk bersebelahan dengan Bu Irawan di kurs
“Van,,, ummm,,, kalau aku dan Clarissa mendahuluimu gimana?” tanya Jimmy pada sahabatnya.“Wah? Serius? Kamu yakin?” ujar Vanika yang sulit untuk mempercayai hal yang baru saja ia dengar.“Aku yakin. Aku pikir kami sudah siap,” jawab sahabatnya dengan mantap.“Rencananya kapan?” tanya wanita muda itu lagi.“Aku pikir tahun depan adalah waktu yang tepat, tapi aku ingin bertemu orang tua kalian secepatnya,”“Benarkah? Ah, aku gak pernah menyangka akan jadi keluargamu,”Vanika yang terharu memeluk Jimmy layaknya saudara. Sulit dipercaya bahwa mereka sudah sedewasa ini.“Maaf ya,” ucap Jimmy pada Vanika.“Kenapa kamu harus minta maaf? Santai saja,” jawab Vanika yang tersenyum dengan hangat.“Wah ada apa ini? Kenapa situasinya aneh begini?” ujar Adrian yang mendekati mereka.Vanika menarik tangan kekasihnya dan berkata dengan nada yang pelan. Hampir seperti berbisik.“Jimmy akan menemui orang tuaku dan Clarissa,” bisiknya.“Benarkah?” tanya pria jangkung itu sambil merangkul Jimmy yang ter
“I see your face in every scene of my dreams, and I hear your voice in every sound. I wish I did not. It is too much what I feel. They say such love never lasts”(Thomas Hardy – The Return of the Native)“Apakah Adrian tahu kamu pergi menemui aku?” tanya pria muda itu.“Gak, Hayden. Dia gak tahu,” jawab wanita muda yang duduk di hadapannya.“Apa kamu sudah memikirkannya?” tanya pria itu lagi sambil memajukkan tubuhnya.“Memikirkan apa?” Vanika bertanya balik dengan wajah yang kebingungan.“Van, aku pikir kita bisa memperbaiki semuanya. Do you love me?”“Sometimes I do,,, sometimes I don’t,”“Vanika, I’m the one who wants to love you more. I know you. You always want to be loved to madness,”So whenever you ask me again how I feelPlease remember my answer is youEven if we have to go around a long wayI will still feel the sameWe’ll be alrightI want to try again(d.ear ft. Jaehyun – Try Again)“Hayden, aku pikir ini adalah momen yang tepat untuk mengutarakan pendapatku,” ucap Vanika
“Ada apa, Adrian?” tanya Vanika dengan wajah yang tidak acuh. Wajahnya yang pucat menjadi merah padam. Wajah yang sama sekali tidak acuh seolah-olah selama ini dia telah dikhianati. Wajah yang seolah-olah tidak ada seorang pun di dunia ini yang dapat ia percaya. Pria itu hanya berjalan mendekat dan sama sekali tidak menjawab pertanyaannya. Wanita muda itu duduk di sebuah bangku sambil memasukkan semua barangnya ke dalam ranselnya. Ia juga sibuk mengikat rambutnya yang terurai tidak beraturan. Pria bertubuh jangkung itu duduk dengan tenang dan memberikan sekaleng minuman bersoda kesukaan kekasihnya. Vanika mengambilnya dengan perlahan dan menggenggamnya erat-erat dengan canggung. Mereka tidak saling berpandangan dan fokus dengan minuman mereka masing-masing. “Kelihatannya kamu kelelahan,” ucap pria muda itu yang mencoba mencairkan suasana yang tidak mengenakkan itu. “Aku gak kelelahan,” jawab wanita muda itu yang kemudian lang
Kedua mata indah nan gelap itu menatapnya dengan tajam. Tatapannya membuat jantung wanita muda itu berdegup dengan kencang. Vanika hanya diam terpaku. Membeku dan tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Lidahnya terasa begitu kelu.“H,,, hay,,, hayden?” ucapnya dengan gugup.Pria muda itu tersenyum hangat. Namun, Vanika hanya menatapnya dengan perasaan yang campur aduk. Ia meraih plester yang disodorkan kepadanya dan terdiam kebingungan. Hayden duduk tepat di sebelahnya. Mereka duduk dengan posisi yang persis sama dengan posisi duduk mereka beberapa tahun lalu.“Apa kabarmu, Van?” tanya Hayden.“Baik. Kapan kamu kembali ke sini?” balas Vanika dengan canggung.“Beberapa waktu lalu,” jawab pria rupawan itu yang dibalas oleh sebuah anggukan kepala wanita yang duduk di sebelahnya.“Sini aku bantu pakaikan plester di lukamu,” ujar pria muda itu yang langsung berlutut di hadapan wanita muda itu.“Ahh jangan. Gak usah. Aku bisa sendiri kok,” tolak wanita berambut ikal itu.“Kamu memang cocokn
Wanita itu berdiri terpaku. Kedua telapak tangannya menutup mulutnya yang terbuka karena terkejut. Ia benar-benar tertegun dengan hal yang sama sekali tidak pernah ia duga sebelumnya.Di dekat pintu masuk, sahabatnya berdiri. Sahabat yang sudah ia kenal sejak kecil. Sahabat yang sudah lama tidak ia temui. Sekarang sahabatnya telah menjadi pria dewasa yang tampan. Pria itu membawa sebuah tas berisi bingkisan di tangannya.“Emily,” sapa pria muda itu.Emily berlari dan memeluk pria itu dengan perasaan haru. Pria muda itu memeluknya dengan erat.“Happy anniversary, Em. Maaf aku gak bisa datang ke pernikahanmu tahun lalu,”“No, it’s okay. Lagipula aku hanya mengundang keluarga dan teman-teman dekat,”“Ini untuk kamu,” ucap pria itu seraya memberikan sebuah tas yang berisi sebuah bungkusan.“Thanks, Hayden,” jawab wanita muda itu dengan senyum yang hangat.Hayden duduk berhadapan dengan sahabatnya. Ia menyesap secangkir kopi hangat. Wajah Emily terlihat begitu gembira karena kedatangan sah