"Bapak!" seruku.
Aku takut, bapak melihat pertengkaran Mbak Naura dan Mas Attar, terlebih tau jika Mas Attar membawa wanita lain dengan begitu mesranya. Apa jadinya Mas Attar, pasti babak belur tidak akan diberi ampun.
"Kamu ngapain sore-sore begini di sini!" Bapak memperhatikanku dengan teliti, seakan-akan sedang merasakan kegundahan hatiku. "Bawa Aqilla yang masih kecil, lagi!" Bapak terlihat marah dan kemudian meraih tubuh mungil Aqilla, diciuminya berkali-kali tanpa bosan, seperti candu.
"Ii-ini, Pak. Ha-abis beli emas untuk simpanan," jawabku gugup, dengan menunjukkan sesuatu yang ada dalam tasku dan bapak hanya ber-oh ria.
"Attar belum pulang?" tanya bapak, sambil melirik keributan yang tidak kunjung berhenti.
Aku menggeleng, takut bapak akan menyadari, jika di sana itu ada Mas Attar yang sedang di hajar oleh Mbak Naura. Akan tetapi, sepertinya bapak lebih peduli pada Aqilla, karena kembali asik pada cucu pertamanya.
"Ayo ke rumah saja, ibumu pasti kangen dengan Aqilla," ajak bapak dan mendesah kesal setelah melirik kumpulan orang-orang itu. "Orang lagi berantem, bukannya dilerai malah di videoin! Dasar gendeng!" maki bapak dan aku hanya bisa melipat bibir, menahan sesak di dada.
Aku mengikut langkah bapak menuju kendaraannya yang terparkir cukup jauh, tidak menyangka akan bertemu bapak di sini dalam situasi yang tidak menguntungkanku.
"Bapak habis beli apa?" tanyaku, untuk mengalihkan rasa kesal bapak terhadap orang-orang yang tidak memiliki empati.
"Bapak, kan dah biasa ke sini untuk mengantarkan madu pesanan beberapa toko!" Bapak mengernyitkan dahinya, sekilas merasa aneh dengan apa yang kutanyakan..
Aku hanya menggaruk leher yang tertutup hijab, untuk menghilangkan rasa malu, karena lupa pekerjaan yang tiap hari bapak lakukan. Bapak mengembalikan Aqilla ke dalam gendonganku dan men-stater motor jadulnya. Mengajakku segera naik, agar sampai ke rumah lebih cepat.
***
"Cucu nenek!" sambut ibu, langsung tertuju pada cucu satu-satunya yang ada dalam gendonganku. "Sini-sini, Sayang." Ibu langsung meraih tubuh mungil Aqila yang baru saja terbangun.
Terlihat rona bahagia, di wajah renta Bapak dan Ibu yang sedang bercanda ria dengan anakku. Apa aku tingal di sini aja, ya? Sejenak terlintas pikiran itu, setelah melihat Mas Attar membawa wanita lain selain aku, Mbak Naura dan ibu mertua, tapi langsung kutepis karena Mas Attar belum memberikan talaknya padaku.
Helaan napas begitu saja keluar dari mulutku, masih terasa bimbang dengan apa yang harus aku putuskan. Mempertahankan rumah tangga ini pun tidak akan mungkin.
"Kamu sudah makan?" tanya ibu dan kujawab dengan gelengan kepala, karena memang aku belum makan.
"Kalau kamu enggak makan, bagaimana asupan gizi Aqila?" Meski terkesan galak, bapak sangat perhatian pada putrinya ini.
Ibu langsung memberikan Aqilla pada bapak dan disambut dengan gembira. Ibu mengajakku masuk dan langsung menuju ke dapur, dengan telaten ibu menyiapkan makanan untukku. Saat ibu memperlakukanku seperti anak kecil, rasanya sangat bahagia. Namun, setetes embun mengalir tanpa bisa kutahan, membuat ibu tersenyum manis dan mengusap lenganku.
"Jangan ceritakan masalah rumah tanggamu dengan bapak saat ini, atau kamu akan melihat Attar tidak bernyaw*. Kamu tahu bagai mana bapakmu yang pendiam itu, kan?"
Aku mengangguk, tahu apa yang ibu maksud. Dulu, pernah Mas Attar tidak sengaja duduk di samping wanita cantik dan berbincang dengan akrabnya, bapak langsung marah dan menginterogasinya habis-habisan. Jika saja, saat itu tidak ada Hilman dan adik sepupuku--Radit, maka dia sudah habis dipukuli ayah dan ternyata benar dugaan ayah dulu, suatu saat Mas Attar akan berpaling."Kamu mau pulang atau tetap di sini?" tanya ibu."Pulang, Bu. Oh iya lupa!" Aku menepuk dahiku karena lupa menghubungi Radit.Kukirimkan pesan padanya, agar langsung ke rumah ibu, karena tadi tidak sengaja ke temu bapak di jalan. Meski belum di baca, aku tahu dia pasti akan langsung ke rumah ini, dengan wajah cemberutnya."Bu, boleh aku titip sesuatu pada ibu?" tanyaku lirih.Ibu bertanya mau menitipkan apa dan untuk apa, dengan lirih aku menceritakan pada ibu semua yang aku alami, dari awal chat yang dilakukan Shanum hingga kejadian tadi, sebelum bapak menjemputku."Ibu sudah menduganya sejak seminggu yang lalu!" Ibu l
"Maksud kamu?" geramku, wajahku mungkin sudah sangat merah padam, karena sindiran halus dari Radit.Radit tertawa melihatku marah, dia memintaku untuk duduk kembali dan menenangkanku. Kemudian memberikan penjelasan versi dia sebagai laki-laki."Mbak, jika laki-laki memilih perempuan lain, itu banyak faktornya dan tidak bisa seratus persen disalahkan. Semua ada sebab musababnya, coba mbak perhatikan baik-baik apa saja yang terjadi tujuh tahun belakangan," Radit seakan menyadarkanku. "Semua bisa, karena Magic, atau memang Attar mata kerangjang, karena jatuh cinta lagi, karena bosan. Ingin merasakan sensasi berbeda, entah itu dari perilaku wanita padanya, masakan wanitanya, harum wanitanya, dan masih banyak yang lainnya. Ini tergantung istrinya sanggup atau tidak mengembalikan keharmonisan keluarganya,"Aku mendengarkan penuturannya dengan sangat baik, meski dia belum menikah, Radit di kelilingi oleh teman-teman yang sudah membina rumah tangga cukup lama. Pastinya dia sudah mengenal berb
"Sudah, sekarang kamu jangan terlalu fokus pada wanaita itu. Kamu fokus bagaimana bisa menjadi lebih baik, dan membuat Attar bisa kembali menjadi dia yang kamu kenal!" Nasehat ibu yang ingin kubantah. Namun, aku ingat dengan diriku yang belum bisa menjaga berat badan, apakah hanya karena ini, Mas Attar hatinya tergoda, dan membuatnya bisa di guna-guna, bukan karena suka. Tentu saja, hal ini membuatku semakin putus asa. Mas Attar adalah lelaki yang bisa menjaga pandangannya, selama kami menikah dan belum dikaruniai anak, dia pernah kuminta untuk menikah lagi, tapi langsung ditolak olehnya. Mas Attar mengatakan akan berjuang dan hidup hanya bersamaku. Kenyataannya, baru tujuh tahun dia sudah berubah. Benar kata pepatah, lelaki diuji, ketika memiliki harta dan tahta. Sedangkan wanita akan diuji, saat suaminya tidak memiliki apa-apa. "Mau ibu antar, atau Radit?" tawar ibu. Tangan ibu mengusap punggungku dengan lembut, terasa sekali kasih sayang yang dia berikan. Terkadang aku merasa se
Aku bertanya, ketika Mas Attar masuk ke rumah tanpa mengucapkan salam dan langsung menerobos masuk ke kamar, setelah seminggu tidak pulang. Mengobrak-abrik lemari pakaiaan, dan terlihat sangat panik. “Kamu ke mana, kan sertifikat rumah?” tanya Mas Attar marah. “Aku tidak tahu, Mas! Kamu kenapa jadi kasar begini?” tanyaku lirih, berusaha menghormati dia yang selalu membersamaiku selama ini. “Kamu!” Tangan Mas Attar terulur ke leherku, dengan tatapan mata yang sangat tajam. Bebarengan dengan tangis Aqilla yang tidak biasa, sehingga membuat cengkraman tangan Mas Attar terlepas. Aku langsung berlari ke ruang santai, di mana Aqilla tidur di dalam box bayi. Kuangkat anakku, memeriksa tempat tidurnya dengan seksama, takut jika ada semut atau hewan lainnya. Sekilas, kulirik Mas Attar yang terduduk lesu di pinggir ranjang. Tangannya mengacak-acak rambut yang mulai panjang dengan sangat kasar, kemudian memukul ranjang dengan membabi buta. Hatiku cukup mencelos dibuatnya, tidak lagi mengena
Setelah menimang-nimang Aqilla beberapa lama, ibu mertua masuk dan mengambil Aqilla dari dekapan. Memintaku untuk membereskan pakaianku dan Aqilla.“Kamu di sini saja!” ujar ibu, saat aku akan keluar dari kamar dengan membawa tas kosong, karena bajuku ada di kamar di mana Mas Attar berada saat ini.“Kenapa, Bu?” tanyaku, tapi diabaikannya.“Naura!” teriak ibu, memanggil Mbak Naura yang masih saja memarahi Mas Attar. “Kamu saja yang membereskan dan membawa semua baju Yumna, dan Aqilla. Ibu langsung ngajak mereka ke rumah, biar anak enggak tahu diuntung itu bisa berpikir jernih!” lanjut ibu geram.Aku memang memilih diam, tidak ingin memperbesar masalah yang akan membakar diriku sendiri. Menunggu waktu yang tepat untuk berontak.“Kamu pegang! Pinnya tanggal lahir ibu,” Ibu mertua menyodorkan kartu debit gold padaku dan menyebutkan tanggal lahirnya lengkap.Aku menatap matanya yang mulai berkaca-kaca. Sepertinya sedang merasakan ulang, kepedihan dikhianati orang yang sangat dipercaya, ba
"Iya, sewaktu kamu ketiduran, karena memberi asi pada Aqilla. ibu menyeretnya menjauh dari rumah, agar bisa bebas memarahinya tanpa harus Aqilla mendengarnya, meski dia masih bayi!" ujar ibu.Aku tidak habis pikir dengan mertuaku, bisa-bisanya dia membelaku dari pada anak kandungnya yang sempat dia bangga-banggakan."Bu, ijinkan aku memperbaiki semua. Mungkin Mas Attar sedang khilaf ditambah dengan bumbu dukun, jadi dia lupa diri!" pintaku dengan sepenuh hati, aku benar-benar ingin memperbaiki semuanya sebelum rumah tangga kami tidak dapat diselamatkan karena kata talak.Ibu memutar mata jengah dan berlalu dari hadapanku, mungkin dia merasa, jika menasehatiku tidak akan pernah aku dengarkan, padahal aku anya sedang mempertahankan rumah tangga yang kami bangun dari nol. Akan tetapi, aku tahu ibu pernah seperti diriku, yang yakin pada suaminya dan berharap semua akan baik-baik saja.[Hilman, apakah kita bisa bertemu?]Kukirimkan pesan pada Hilman untuk mencarikanku instruktur senam atau
Alisku naikkan, dan mata ini kembali fokus pada pesan yang kuterima. Tidak yakin, jika itu dari Mas Attar. Lalu, aku menarik sebelah sudut bibir. Mungkin orang iseng, batinku.Mbak Naura kembali memanggilku, membuatku melupakan pesan yang kuterima, entah dari siapa. berlari kecil mendekat ke arah ibu dan Mbak Naura yang sudah bersiap.Dalam perjalanan, aku hanya diam. Meski kami bertiga tertawa, tapi di dalam hati kami menyimpan luka tersendiri. terlihat dari sudut mata ibu yang terus berkaca-kaca dan sesekali mengusap matanya. Bukan karena tawa kami yang berlebihan."Mbak," tegurku, saat kupergoki dia meneteskan air mata."Tidak pernah terbayang. Kita bertiga akan menjadi janda," kekehnya dengan sesekali terisak. " Dan adikku sendiri yang menjandakan istrinya!" Terbit senyuman pahit di wajahnya yang teduh.Sesakit inikah yang mereka rasakan, melebihi sakit yang ada di hatiku. melihat mereka, hatiku malah teriris dalam dan terasa perih dan sakit."Bisa-bisanya Attar melakukan hal ini,
"Kamu itu laki-laki, tapi sangat kasar!" ardik Hilman yang entah sejak kapan sudah asa di dekatku.Dengan lembut, Hilman mengambil Aqila dan memberikannya pada Mbak Naura. Memintanya untuk menjaga anakku yang tadi hampir terjatuh bersamaan dengan diriku yang limbung, akibat Mas Attar menarikku."Tidak ada urusannya denganmu! Yumna istriku!" mas Attar teriak dan menghampiri Hilman.Dengan penuh emosi, dia menarik kerah baju Hilman dan menatapnya dengan sangat tajam. Mengulurkan tangannya yang sudah terkepal sempurna, ke wajah hilman yang terlihat sangat tenang."Mau masuk penjara, atau dihajar masa?" tanya Hilman dengan suara lirih, tapi mampu membuat Mas Attar melepaskan tangannya dari bajunya.Mas Attar mendorong Hilman dan berjalan mendekatiku, lalu mengajakku untuk mengambil uang yang sedang dia perlukan. Mas Attar, benar-benar terlihat tidak baik-baik saja."Mas, aku tidak membawa ATM-mu!" Aku menatap mata suami yang masih kurindukan.Wajah lelaki yang membersamaiku ini, sangat lu