Share

Bab 8

"Bapak!" seruku.

Aku takut, bapak melihat pertengkaran Mbak Naura dan Mas Attar, terlebih tau jika Mas Attar membawa wanita lain dengan begitu mesranya. Apa jadinya Mas Attar, pasti babak belur tidak akan diberi ampun.

"Kamu ngapain sore-sore begini di sini!" Bapak memperhatikanku dengan teliti, seakan-akan sedang merasakan kegundahan hatiku. "Bawa Aqilla yang masih kecil, lagi!" Bapak terlihat marah dan kemudian meraih tubuh mungil Aqilla, diciuminya berkali-kali tanpa bosan, seperti candu.

"Ii-ini, Pak. Ha-abis beli emas untuk simpanan," jawabku gugup, dengan menunjukkan sesuatu yang ada dalam tasku dan bapak hanya ber-oh ria.

"Attar belum pulang?" tanya bapak, sambil melirik keributan yang tidak kunjung berhenti.

Aku menggeleng, takut bapak akan menyadari, jika di sana itu ada Mas Attar yang sedang di hajar oleh Mbak Naura. Akan tetapi, sepertinya bapak lebih peduli pada Aqilla, karena kembali asik pada cucu pertamanya.

"Ayo ke rumah saja, ibumu pasti kangen dengan Aqilla," ajak bapak dan mendesah kesal setelah melirik kumpulan orang-orang itu. "Orang lagi berantem, bukannya dilerai malah di videoin! Dasar gendeng!" maki bapak dan aku hanya bisa melipat bibir, menahan sesak di dada.

Aku mengikut langkah bapak menuju kendaraannya yang terparkir cukup jauh, tidak menyangka akan bertemu bapak di sini dalam situasi yang tidak menguntungkanku.

"Bapak habis beli apa?" tanyaku, untuk mengalihkan rasa kesal bapak terhadap orang-orang yang tidak memiliki empati.

"Bapak, kan dah biasa ke sini untuk mengantarkan madu pesanan beberapa toko!" Bapak mengernyitkan dahinya, sekilas merasa aneh dengan apa yang kutanyakan..

Aku hanya menggaruk leher yang tertutup hijab, untuk menghilangkan rasa malu, karena lupa pekerjaan yang tiap hari bapak lakukan. Bapak mengembalikan Aqilla ke dalam gendonganku dan men-stater motor jadulnya. Mengajakku segera naik, agar sampai ke rumah lebih cepat. 

***

"Cucu nenek!" sambut ibu, langsung tertuju pada cucu satu-satunya yang ada dalam gendonganku. "Sini-sini, Sayang." Ibu langsung meraih tubuh mungil Aqila yang baru saja terbangun.

Terlihat rona bahagia, di wajah renta Bapak dan Ibu yang sedang bercanda ria dengan anakku. Apa aku tingal di sini aja, ya? Sejenak terlintas pikiran itu, setelah melihat Mas Attar membawa wanita lain selain aku, Mbak Naura dan ibu mertua, tapi langsung kutepis karena Mas Attar belum memberikan talaknya padaku.

Helaan napas begitu saja keluar dari mulutku, masih terasa bimbang dengan apa yang harus aku putuskan. Mempertahankan rumah tangga ini pun tidak akan mungkin.

"Kamu sudah makan?" tanya ibu dan kujawab dengan gelengan kepala, karena memang aku belum makan.

"Kalau kamu enggak makan, bagaimana asupan gizi Aqila?" Meski terkesan galak, bapak sangat perhatian pada putrinya ini.

Ibu langsung memberikan Aqilla pada bapak dan disambut dengan gembira. Ibu mengajakku masuk dan langsung menuju ke dapur, dengan telaten ibu menyiapkan makanan untukku. Saat ibu memperlakukanku seperti anak kecil, rasanya sangat bahagia. Namun, setetes embun mengalir tanpa bisa kutahan, membuat ibu tersenyum manis dan mengusap lenganku.

"Jangan ceritakan masalah rumah tanggamu dengan bapak saat ini, atau kamu akan melihat Attar tidak bernyaw*. Kamu tahu bagai mana bapakmu yang pendiam itu, kan?" 

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Tukang nulis
emosi seorang bapak pendiam.. hanya istrinya yang tau
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status