"Mbak?" Radit bertanya, tapi hanya menyebutku namaku saja. Sekarang semua mata menatapku, tatapan penuh tanya. Catra menuntunku untuk duduk dan memijat bahuku, mengecup ubun-ubunku penuh kasih sayang dan aku menggenggam tangannya yang masih berada di pundakku. "Ada apa, Ma?" tanya Candra lembut dan tangannya mengengam tangaku dan Catra. "Mama hanya mencicipi nasi goreng buatan Aqila, dan mama menggunakan sendok dan hanya sekali tanpa mengaduk-ngaduk," jawabku apa adanya. "Keterlaluan kakak!" Candra yang memang lebi emosian berjalan menuju kamar Aqila, mengetuk pintu itu dengan sangat kasar. Namun, Aqila tidak membukanya. Candra yang sedang terbalut emosi, terus memanggil kakaknya, berharap mendapatkan jawaban yang lebih baik dari pernyataanku. "Kenapa kakak tiba-tiba menjadi kasar?" tanya Catra, tepatnya seperti gumaman untuknya sendiri. "Mungkin kakak sedang banyak pekerjaan dan sedang kelelahan," ujarku menenangkan. Perubahan-perubahan inilah yang membuatku takut, apakah semu
Aku mengerjapkan mata berkali-kali, takut jika yang kulihat hanya khayalanku saja. Akan tetapi, orang itu tidak berubah sedikitpun, dia tersenyum dengan matanya yang memerah. Bukan marah, tapi seperti menahan kesedihannya yang membuat matanya seperti itu."Ada apa, Mas?" tanyaku lirih.Radit memilih duduk menjauh, memberi ruang padaku dan Mas Attar. Aku yakin, ini pasti ada hubungannya dengan Aqilla. Membuat Mas Attar memberanikan diri datang ke rumahku, karena tidak mungkin dia akan datang dengan suka rela tanpa ada sesuatu yang mendesak."Maaf, aku melukai anakmu lagi," ujarnya, dengan suara bergetar.Tubuku pun ikut lemas dengan apa yang dia ucapkan, apa yang sebenarnya terjadi, sampai mereka berdua seperti ini dan kenapa Mas Attar tidak mau belajar dengan kesalahannya yang telah lalu. Terus saja menyakiti hati putri semata wayangnya."Ada apa?" tanyaku lembut, tidak ingin merusak mood yang sudah terbangun dengan baik."Aku meminta Aqilla menjauhi lelaki yang sedang dekat dengannya
[Hai, Mas. Ini aku, Shanum. Kapan kita ketemu lagi?]Satu pesan muncul di ponsel Mas Attar, saat aku masuk ke dalam kamar untuk mengambil minyak telon, karena anakku digigit nyamuk.[Hai, Shanum. Mas Attar sedang ada kegiatan di luar rumah, ada perlu pentingkah?]Aku membalas pesan darinya, dan langsung dibaca, tapi tidak kunjung dibalas. Kuletakan kembali ponsel Mas Attar di atas nakas, kemudian menemui Mbak Naura yang menemani anakku."Kenapa wajahmu ditekuk gitu?" tanya Mbak Naura yang melihat perubahan ekspresiku."Aku sedang takut, Mbak!" ujarku dengan suara bergetar.Mbak Naura bertanya ada apa, sampai aku berubah dan tiba-tiba merasa ketakutan. Aku menghembuskan napas berat dan menimang-nimang apakah aku bisa sharing padanya atau harus aku pendam saja."Sepertinya, Mas Attar ada main dengan mahasiswi yang magang, saat dia melakukan kunjungan kerja di Jogya waktu itu, Mbak," Akhirnya aku mulai menceritakan kekhawatiranku."Enggak mungkin, mbak kenal Attar dengan baik dan hanya k
Mbak Naura mengajak Mas Attar untuk berbicara serius, sebagai kakak dia merasa ikut andil dalam masalah ini. Aku hanya bisa mendengar apa yang mereka perbincangkan, tanpa ada niat untuk ikut di dalamnya.Mas Attra berkali-kali meyangkal, jika dia ada hubungan dengan gadis itu. Akan tetapi, kata-kata Shanum begitu menusuk jantungku. Bagaimana bisa, seorang remaja meminta dinikahi, jika tidak ada sesuatu diantara mereka."Kamu harus memblokir semua tentang gadis centil itu!" tegas Mbak Naura dan kemudian dia pamit pulang, karena hari sudah cukup malam."Sayang, dengarkan mas dulu!" bentaknya, saat kami telah berdua.Aku menatapnya dengan mata berkaca-kaca, menunjukkan rasa sakit yang aku pendam. Kemudian meninggalkannya dalam kegamangan seorang diri."Sayang, tolong percaya padaku, hanya kamu yang ada dalam pikiran Mas, dan Mas tidak pernah berpikiran untuk menikah dengan orang lain, apalagi Shanum yang masih terlalu belia!" seru Mas Attar, saat aku sudah berada di balik pintu kamar.A
Apa-apaan ini, bisa-bisanya mendukung perselingkuhan, aku dibuat geram karenanya. Langsungku stalking kedua akun, yang me-mentionku dan orang di balik komentar aneh. belum selesai akun mencari tahu siapa di balik akun-akun itu, suara seseorang di depan sana mengalihkan perhatianku. "Assalamualaikum," salam sesorang yang kuyakin Mbak Naura. Kuletakan posel di atas nakas dan bergegas membuka pintu, untuk menemuinya. "Waalaikumusalam, Mbak. Ada apa?" tanyaku bingung, karena jarang sekali dia datang pagi-pagi. Mbak Naura masuk tanpa aku suruh, dan langsung duduk. Memijat pelipisnya berulang kali. Apa dia ada masalah, ya, batinku. "Mbak sudah sarapan?" tanyaku. Dia tidak menjawab, hanya memandang dengan tatapan sendu. Kemudian memelukku erat, menepuk punggungku pelan. "Ada apa, Mbak?" tanyaku. Aku benar-benar bingung dibuatnya, takut terjadi sesuatu padanya saat pulang dari sini semalam. Kuurai pelukan darinya dan bertanya ada apa, untuk kesekian kalinya. "Kamu adalah adik mbak, a
Ah! Aku baru ingat. Tadi banyak pesan dan panggilan tidak terjawab dari orang, dan belum sempat aku melihatnya. Terlalu asik bermain dengan Aqilla. Apakah karena hal itu yang membuat Mas Attar memeriksa ponselku!Mas Attar melihat ke arahku dan dengan cepat aku bersembunyi di balik dinding sekat. Berarti ada ketakutan darinya, jika aku memergokinya memegang ponselku.'Siapa yang mengirimiku pesan, sampai-sampai membuat Mas Attar merasa terganggu dan harus pulang kantor jam segini! Atau, Mas Attar tidak berangkat kerja sejak tadi pagi?' batinku mulai berkecamuk.Aku bergegas mandi, lalu menyiapkan diri, agar Mas Attar tidak terlalu lama menunggu, dan yang pasti aku ingin melihat reaksinya setelah memegang ponselku."Masih lama, Yumna?" tanyanya, tanpa memanggilku sayang, seperti biasanya."Udah, Mas. Tinggal pakai hijab saja!" balasku.Setelah memantaskan diri di cermin. Aku baru sadar sesadar-sadarnya, jika tubuhku mulai tidak berbentuk lagi. Benar saran Mbak Naura, aku harus senam da
"Hei! Aku, kan belum bilang mau ngapain!" protesku pada Hilman."Tapi ini penting, Yumna!" ujarnya dengan nada yang tidak bercanda seperti biasanya."Aku sedang bersama Mas Attar, dia tadi pulang kerja. Enggak enak badan, katanya. Jadi besok-besok saja kita ketemuannya," balasku."Ya sudah, saat ketemuan saja aku ajari cara membaca pesan yang terlanjur dihapus," imbuhnya dan langsung mengakhiri panggilan.Akhirnya, aku akan tahu apa yang kamu takutkan, Mas! gumamku.Kulirik Mas Attar yang sedang sibuk dengan sales mobil, mengacuhkanku dan Aqilla. Kuhampiri dia dan meminta ijin untuk pulang sendirian. Sangat terasa dia mengabaikanku, lebih fokus ke sales cantik di depannya.Aku melangkah pergi, tanpa dirinya yang menemani. Menyusuri jalanan yang cukup panjang, merenungi rumah tanggaku yang tiba-tiba goyah dan perlakuan Mas Attar yang berubah drastis dalam hitungan jam.***Entah di mana aku berada sekarang, setelah berjalan sambil melamun. Aku menepuk dahiku, karena merasa bodoh. Bisa-
Aku menarik napas pajang dan menghembuskannya dengan sangat berat, mencubit tanganku berkali-kali, berharap ini adalah mimpi.Lagi, ponselku berdering dan tidak sanggup rasanya aku menerima kenyataan lain."Halo," jawabku tidak bersemangat, tanpa tahu siapa yang menelepon."Kamu di mana, Nak?" tanya seseorang yang sangat kucintai selain Mas Attar.Aku langsung menangis sesengukan, tidak sanggup berkata apapun. Mencurahkannya dengan air mata yang membuat dadaku yang sesak sediki lega."Kamu pulang saja, jika tidak ada tempat bernaung saat ini!" pintanya.Tubuhku luruh, sembari menggendong Aqilla. Menangis, tanpa ada yang memelukku erat. Lelaki yang biasanya di sampinku, kini sedikit demi sedikit mulai berpali dariku. "Nak, kamu di mana? Biar ibu jemput, kamu jangan ke mana-mana," pinta ibu, terdengar suaranya bergetar menahan ke khawatiran."Aku baik-baik saja, Bu. Aku baik-baik saja!" ucapku berulang.Panggilan kuakhiri, takut jika ibu terlalu khawatir padaku dan berakibat pada kambu