Dari parkiraan, aku hanya menatap Mbak Naura yang mengamuk pada Mas Attar. Menghirup udara sebanyak-banyak, agar dadaku tidak sesak dengan pemandangan yang terjaadi di depan sana.
Memilih menjauh dari keributan yang diciptakan oleh Mbak Naura, karena Mas Attar menggandeng wanita lain dengan mobil yang baru dibelinya. Ada apa dengan suamiku yang hanya dengan hitungan jam bisa berubah sedemikiannya.
Aku pun harus berubah, tekadku. Yang pertama kulakukan adalah menyimpan sedikit harta yang memang sepantasnya untuk Aqilla.
"Mbak yang ini berapa?" tanyaku ketika kaki ini melangkah ke toko emas di dekatku, sesuai arahan Mbak Naura.
"Ini dua gram, Mbak. Yang ini model terbaru," tunjuk sang pelayan toko.
Mata mereka mencuri-curi pandang ke arah kerumunan, yang di sana ada Mbak Naura dan Mas Attar. Aku pun mendengar bisik-bisik mereka yang mengatakan "Istri sah melabrak pelakor!"
"Itu bukan istri sahnya, Mbak. Itu kakaknya sendiri, yang enggak tega melihat iparnya bersedih!" ucapku dingin, tapi tidak dipedulikan oleh mereka yang senang melihat tontonan itu.
"Iih! Kenapa cuma diomelin sih, tendang atuh, Bu!" geram pelayan toko yang sangat antusias pada keributan itu.
"Iya, ya. Kalau saya, itu pelakornya sudah saya jedotin di tembok, atau enggak di telanjangin saja!" ujar pembeli yang sedang memilih perhiasan, tapi matanya ke arah lain.
"Kalau saya, ya, Bu. Saya santet tu pelakor, enak aja ngincer laki orang!" timpal yang lain.
"Kalau saya, ya, sudah biarin, sampah cocok dengan sampah! Jadi buang pada tempatnya."
Aku tersenyum miris mendengarnya, sayangnya diriku tidak setega itu pada orang lain. Terlebih, merasa tidak perlu menghabiskan energi untuk melabrak lelaki yang mencoba menghancurkan pernikahannya sendiri. Lebih baik, aku memperbaiki diri. Mengintropeksi di bagian mananya yang salah dalam diriku, kecuali tubuhku yang melebar. Hanya aku merasa heran saja, bukan hitungan bulan atau tahun, Mas Attar langsung berubah. Apa ada sangkut pautnya dengan magic, ya?
"Saya minta yang itu, Mbak," tunjukku pada model kalung yang cantik, mengalihkan pikiran yang akan menggangguku. "Oya, pembayaran bisa memakai debit?" tanyaku memastikan dan pelayan itu mengangguk.
Mereka kembali berbisik, terlalu seru dilewatkan pertengkaran Mbak Naura dan Mas Attar. aku sudah mengatakaan pada mereka , jika Mbak Naura itu kakak dari Mas Attar, tapi mereka tidak percaya, terlalu antusias dengan tontonan di depan sana. Yang pastinya membuat geram wanita bersuami.
"Itu kakak ipar saya, yang mergokin suami saya gandeng cewek lain. Kakak ipar saya nyuruh saya ngabisin uang suami saya untuk simpanan anak, jadi saya ada pegangan saat suami saya benar-benar ketahuan selingkuh!" terangku pada pelayan yang sibuk mencela Mbak Naura.
"Ah, ibu bisa aja, belanya!" selorohnya.
"Ini coba liat!" kutunjukan poto Mas Attar sedang bersamaku dan Aqilla.
Seketika mereka diam, dan memandangku dengan tidak enak hati, atas perkataan-perkataan yang mereka lontarkan, tadi. Setelah membeli beberapa perhiasan yang nilainya sangat fantastis, aku kembali menyusuri jalanan seorang diri.
Aku tidak mungkin membawa semua ini pulang ke rumah, yang ada nanti diambil oleh Mas Attar. Aku harus mencari tempat aman untuk barang-barang ini, dan pilihanku jatuh pada adik sepupu laki-lakiku yang bekerja beda kota dan sudah seperti adikku, karena dirawat ibu sejak kecil. Orang tua Radit meninggal karena kecelakaan, sewaktu akan jiarah.
"Halo, Radit. Mbak boleh titip sesuatu?" tanyaku melalui sambungan telepon.
"Iya, Mbak. Aku lagi libur hari ini, tapi males pulang. Soalnya ibu pasti nanya, kapan nikah!" serunya di ujung sana.
"Sekarang kamu temuin mbak dulu, ada yang penting!" ujarku.
"Ke rumah, Mbak?"
"Bukan, nanti mbak Sharelock, ya. Mbak tunggu sekarang,"
Radit terdengar keberatan dengan pintaku yang terburu-buru, tapi dia langsung menyanggupinya. Segera kukirimkan lokasi terkini padanya, agar dia bisa segera datang. Aku tahu, jarak tempuh dari tempatnya ke sini bukanlah sebentar, sekitar dua jam perjalanan.
"Kamu ngapain di sini?!" Suara bas itu membuatku takut.
Setelah satr tahun pertemuanku dengan Mas Attar, Aqila tidak lagi terlihat murung. Dia selalu memancarkan senyuman manis yang menenangkan, becanda dengan adik-adik dan sepupunya. Sungguh pemandangan yang selalu ingin kulihat sampai mataku tak mampu lagi terbuka.Radit dan istrinya benar-benar pindah, untuk menetap dan kembali memulai usahanya di sini. Kami bersama, mengurus semua hal yang ditinggalkan oleh suamiku tercinta. Si kembar pun sangat gembira, meski kehilangan sosok ayah, tapi mendapatkan banyak cinta yang tidak terduga. Ya, inilah buah kesabaran kami dan cinta yang datang terlambat. Rasanya, aku merindukan suamiku yang telah lama pergi meninggalkanku."Ma," Aqila memanggil dan langsung memelukku dari belakang.Gadis itu mengecup pundakku dan menangis, mengatakan kata maaf berulang kali dan makin mengeratkan pelukannya. Aku membelai kepalanya, dan memegang kedua tangannya. Merasakan kegelisahan yang dialaminya."Kenapa? Apa kamu enggak yakin dengan pernikahan ini?" tanyaku pa
Aku mengerjapkan mata berkali-kali, takut jika yang kulihat hanya khayalanku saja. Akan tetapi, orang itu tidak berubah sedikitpun, dia tersenyum dengan matanya yang memerah. Bukan marah, tapi seperti menahan kesedihannya yang membuat matanya seperti itu. "Ada apa, Mas?" tanyaku lirih. Radit memilih duduk menjauh, memberi ruang padaku dan Mas Attar. Aku yakin, ini pasti ada hubungannya dengan Aqilla. Membuat Mas Attar memberanikan diri datang ke rumahku, karena tidak mungkin dia akan datang dengan suka rela tanpa ada sesuatu yang mendesak. "Maaf, aku melukai anakmu lagi," ujarnya, dengan suara bergetar. Tubuhku pun ikut lemas dengan apa yang dia ucapkan, apa yang sebenarnya terjadi, sampai mereka berdua seperti ini dan kenapa Mas Attar tidak mau belajar dengan kesalahannya yang telah lalu. Terus saja menyakiti hati putri semata wayangnya. "Ada apa?" tanyaku lembut, tidak ingin merusak mood yang sudah terbangun dengan baik. "Aku meminta Aqilla menjauhi lelaki yang sedang dekat den
"Mbak?" Radit bertanya, tapi hanya menyebutku namaku saja. Sekarang semua mata menatapku, tatapan penuh tanya. Catra menuntunku untuk duduk dan memijat bahuku, mengecup ubun-ubunku penuh kasih sayang dan aku menggenggam tangannya yang masih berada di pundakku. "Ada apa, Ma?" tanya Candra lembut dan tangannya mengengam tangaku dan Catra. "Mama hanya mencicipi nasi goreng buatan Aqila, dan mama menggunakan sendok dan hanya sekali tanpa mengaduk-ngaduk," jawabku apa adanya. "Keterlaluan kakak!" Candra yang memang lebi emosian berjalan menuju kamar Aqila, mengetuk pintu itu dengan sangat kasar. Namun, Aqila tidak membukanya. Candra yang sedang terbalut emosi, terus memanggil kakaknya, berharap mendapatkan jawaban yang lebih baik dari pernyataanku. "Kenapa kakak tiba-tiba menjadi kasar?" tanya Catra, tepatnya seperti gumaman untuknya sendiri. "Mungkin kakak sedang banyak pekerjaan dan sedang kelelahan," ujarku menenangkan. Perubahan-perubahan inilah yang membuatku takut, apakah semu
Siang ini, aku berencana ke cafe untuk mencocokkan data-data yang sudah masuk ke emailku. Tidak semua cafe dapat kukontrol, hanya ada dua saja. Bukannya tidak ingin melihat semua progres cafe yang sudah berjalan, tapi keterbatasan waktu dan tempat membuatku harus tetap memperhatikan kesehatanku sendiri. Ada rasa tidak nyaman dalam tubuku dan entah itu apa, aku tidak ingin periksa ke dokter. Bukan apa-apa, aku hanya takut, jika diagnosanya tidak baik dan membuat semua menjadi khawatir padaku. Membuat peraturan-peraturan yang akan membatasi ruang gerakku."Mama mau pergi?" tanya Aqila yang baru keluar dari dalam kamarnya."Loh, kamu enggak kerja?" Aku balik bertanya padanya tanpa menjawab pertanyaannya terlebih dulu."Mama kebiasaan, ditanya malan nanya!" gerutu Aqila, dan aku hanya tersenyum mendengarnya. "Hari ini jadwalku padat untuk keluargaku, Ma. Aku berharap, mama tidak terlalu lelah. Mama terliat pucat dan lemah," Aqila memperhatikanku dari ujung kaki hingga ujung kepala.Helaan
Pagi ini begitu cerah, secerah hati dan wajah Aqilla. Suaranya yang bersenandung, dan tangannya yang cekatan mengerjakan pekerjaan rumah. Tidak ada satu pun yang diperbolehkan membantunya, dia membersihkan ruma dan membuat sarapan seorang diri. Aku tau, ini pasti karena dia telah mengetahui keberadaan ayahnya dan juga memastikan ijin yang telah kuberikan. "Mama ini teh hangatnya," ujar Aqila, dan wajanya selalu dihiasi dengan senyuman hangat. Setelah meletakkan cangkir te itu, Aqila berlalu pergi. Enta apa saja yang dia lakukan di dalam rumah, bahkan adik kembarnya langsung disuruh jogging, saat berniat membantu. Aku hanya bisa tertawa geli melihat tinkah putriku, memang cukup ajaib saat dia mengetahui keberadaan sang ayah. "Mbak, aku mau jalan pagi saja. Anakmu sepertinya memiliki tenaga samson hari ini, semuanya ingin dia kerjakan, termasuk merawat Nita. Semuanya deh!" Radit berpamitan. Aku hanya bisa mengangguk, dan menikmati udara pagi di depan teras. Melihat bunga-bunga yang b
Aqilla mendekatiku dan duduk di sampingku, menatapku dengan tatapan sayunya. Matanya sudah mulai berkaca-kaca, bibirnya bergetar tanpa suara. Aku tahu, rindunya pada Mas Attar sangatlah besar. Sejak kecil dia selalu menanyakan Hilman yang sudah dikebumikan, lalu beralih bertanya mengenai Mas Attar karena tetangga julid yang mempengaruhinya."Iya," Mau tidak mau, aku memberitau kenyataan ini pada Aqilla.Rasanya sudah lelah untuk menyembunyikan hal yang seharusnya memang diketahui oleh anak itu. Meski ada rasa tidak nyaman dalam sudut hatiku yang terdalam, tidak ingin keegoisan ini menyelimuti hati dan membuat anak-anak malah menjauhiku."Mama rela aku menemuinya?" tanya Aqilla dengan suaranya yang lirih."Kenapa kamu bertanya seperti itu pada mamamu?!" tanya Radit dengan ekspresi yang datar.Aqila menegakkan tubuhnya dan menatap ke arah pamannya dengan tatapan yang entahlah, aku pun menatap Radit dengan kesal. Bagaimana lelaki itu bisa berucap seperti itu, tapi aku tahu dia hanya meng