Rombongan itu mendekat, dan terlihat kaget dengan pemandangan yang ada di depan mereka. Lelaki yang tidak kukenal mendekat dan bertanya nama seseorang, betapa lemasnya lututku ketika pertanyaan itu meluncur."Rumahnya masih dua kilometer lagi dari sini, Pak," Radit yang menjawabnya.Tadi, aku dan Mbak Naura yang sedang bersedih, mendadak menjadi terpana dan jantung berdetak kencang. Telinga kami seperti menangkap perkataan yang sama, yaitu 'Di mana rumah Attar'. ternyata yang ditanyakan, 'Di mana rumah Ratar!'Setelah rombongan yang salah tempat, pergi. Aku kembali menatap Mbak Naura yang sempat tersenyum kikuk, kemudian menajaknya bicara dari hati ke hati."Biarkan di sisa umur ibu mendapatkan kebahagian yang sangat dia inginkan, Mbak mohon bantu mbak untuk memenuhin apa yang ibu harapkan," Mbak Naura mengatupkan kedua tangannya, dengan mata yang berkaca-kaca."Mbak," lirihku dengan mengenggam tangannya erat. "Ibu pasti akan sembuh," Aku mencoba meyakinkan Mbak Naura, jika mukjizat i
Wajah Mbak Naura bersemu merah, tapi seketika berubah masam. Menatap layar ponsel dengan mata berkaca-kaca. aku tahu hatinya saat ini sedang bimbang. "Siapa yang akan menikahkanku nantinya?" ucapnya lirih, dan aku baru tersadar akan hal itu. Semua terdiam, dan bergelut dengan pikirannya masing-masing. [Untuk itu, aku akan usahakan yang terbaik. insyaaAllah,] Tegas Ustadz Idris, aku dan ibu lega mendengarnya. "Baiklah, aku terima." Mbak Naura berkata dengan lirih dan aku bisa melihat kebahagian terpancar di wajahnya. Meski yang kutahu, hanya Mas Attar dan bapaknya saja yang bisa menjadi wali nikah untuknya, semoga Mbak Naura mendapatkan yang terbaik. [Baiklah, aku dan keluarga akan ke sana malam ini dan meminta ijin pada ibu untuk menikahimu dalam dua hari ke depan. Terima kasih sudah mengijinkan aku mendampingimu,] Ustadz Idris mengakhiri pangilan, setelah Mbak Naura memberikan anggukan kepala. Ya, hanya anggukkan kepala, tidak ada yang lain. Bahkan salam yang dilontarkan oleh
Hari berganti begitu cepat, hingga datang hari ini. Di mana, Mbak Naura terlihat sangat cantik, dengan kebaya putihnya. Matanya terus berkaca-kaca, memikirkan siapa yang akan menjadi wali nikahnya. Meski aku ada di sampingnya, tidak mengurangi rasa khawatirnya."Na, ini yang kutakutkan," Mbak Yumna memgang tanganku. Aku pun sempat berpikir, siapa yang akan menjadi wali nikah Mbak Naura, yang ada hanya Mas Attar, dan ayah mereka yang entah ada di mana. Tidak ada lagi yang bisa menjadi wali nikahnya selain mereka berdua.Di depan rumah terdengar suara berisik yang memancing keingin tahuan kami. Aku meminta Mbak Naura untuk tetap di dalam kamar, dan aku bergegas melihat ada apa sampai suara mereka menggelegar."Rombongan besan, Bu?" tanyaku pada ibu, terasa geli di telinga mengatakan kata besan pada ibu."Iya," Ibu yang terpaku karena mendengar ucapanku, pandangannya langsung di alihkan ke arah rombongan di depan sana.Ustadz Idris yang didampingi oleh kedua orang tuanya terlihat tampan
Kursi yang kuminta pun sudah ada di depan kami, pandanganku tidak beralih. Masih memandang wanita hamil yang terlihat sangat pongah."Duduk!" pintaku dengan suara tinggi, menyerupai perintah.Seseorang dari rombongan Ustadz Idris, mengambil kursi itu, dan meletakkannya di belakang Shanum dan Mas Attar. Lalu, beberapa orang membawakan kursi lainnya untuk rombongan yang masih berdiri di belakang dua orang yang tidak pernah ingin aku temui."Jangan bergerak, apalagi berniat maju satu langkah. Aku tidak segan-segan mematahkan kaki kalian," tunjukku pada dua orang yang sudah duduk di depanku, bukan saatnya kau mengunakan emosi yang sudah hampir memuncak."Yumna adalah wanita lembut dan penyayang," Satu kalimat meluncur dari bibir Mas Attar, membuat istrinya mencebik kesal."Yumna siapa yang kamu maksud?1" tanyaku dengan nada tinggi, kemudian aku beralih pada mantan ibu mertua. Mengajaknya masuk, tanpa memperdulikan Mas Attar yang sepertinya ingin berkata sesuatu.Ibu dan bapak mengajak Ust
Mbak Naura mendongakkan kepalanya untuk menatap ke arah ibu, matanya sudah terlihat sembab."Maksud ibu, apa kamu sudah siap menerima dan mendengar sumpah Ikrar yang akan diucapkan oleh Ustadz Idris?" Ibu mendekat, dan menggenggam tangan Mbak Naura.Wanita di depanku ini langsung menunduk dan kembali terisak, kemudian menole ke arahku. Menatap mataku dengan lekat."Apa boleh aku tidak melanjutkan pernikahan ini?" tanya Mbak Naura dengan suara serak dan berat.Aku dan ibu saling tatap, saat pertanyaan Mbak Naura meluncur begitu saja. Jantungku terasa berdebar kencang, aku yakin ini ada hubungannya dengan kedatangan Mas Attar dan istrinya."Kenapa?" tanya ibu dengan memiringkan kepalanya ke arah Mbak Naura.Mbak Naura menarik napas panjang dan menghembuskannya dengan sangat perlahan, aku tahu dadanya sangat sesak saat ini. Kulihat Mbak Naura tidak menjawab pertanya ibu, dia memilih diam dan ibu yang makin penasaran, mengulang pertanyaannya lagi."Terlalu banyak yang terluka, apalagi ibu
Aku yang mendengar kata sah, sangat terharu. Tidak menyangka, pernikahan ini terjadi di rumah orang tuaku. Di mana mempelai wanitanyanya adalah mantan kakak iparku, dan sebagai walinya adala mantan suamiku. Rasa sakit tentu masih sangat kentara, tapi aku bisa mengatasinya."Maafkan mbak, ya, Yumna." Mbak Naura menggengam tanganku erat, mungkin dia melihat mataku yang berkaca-kaca."Apanya yang perlu dimaafkan, Mbak?" Aku tersenyum padanya dan membalas gengaman tangannya."Lukamu, keluargamu dan ibu belum kering, tapi aku malah menyiramnya dengan bensin." Mbak Naura berkata dengan suara berat dan helaan napas panjang."Saat ini, luka kami sedikit membaik dengan melihatmu bahagia, Mbak!" tegasku dengan menatap matanya tajam.. "Air mata ini bukan karena dia, tapi karena melihat dirimu yang akan memulai membina rumah tangga dengan orang yang sangat baik." Aku melanjutkan kataku.Mbak Naura memelukku, dan aku menyambutnya dengan hangat. Bahkan, perias pengantin yang sudah mengetahui kisahk
"Terserah aku mau menikah dengan siapa!" ketusku. "Lagi pula, kenapa kamu masuk ke sini!" bentakku.Aku berdiri, dan menatap matanya tajam. Begitu juga dengan dirinya yang tidak mengalihkan pandangannya dariku. Sialnya, debaran itu muncul disaat yang tidak tepat."Aku hanya ingin tahu, lelaki mana yang aka menjadi ayah sambung bagi anakku. Jangan lelaki yang tidak berpendidikan dan tidak punya pneghasilan!" ejeknya.Sepertinya lelaki di depanku ini, tidak mempuyai kaca di rumahnya. Atau mungkin kaca pun enggan memperlihatkan sisi buruknya."Setelah kamu tau,kamu mau apa!" Tantangku."Tidak ada lelaki yang pantas untukmu selain aku!" pongahnya.Aku merasakan hawa yang mulai tidak enak, karena ucapan-ucapan Mas Attar. Ekor mataku melirik bapak yang ternyata sudah berdiri di belakangku. Wajahnya memerah dan biirnya bergetar, karena menahan amarah."Lebih baik kamu pergi dari sini, Mas. Dari pada ada keributan di hari bahagia Mbak Naura!" ujarku.Aku mengalah, bukan ingin kalah atau menan
"Beraninya melamar istriku!" teriak Mas Attar, dan satu pukulan mendarat di iga Hilman.Hilman langsung tersungkur, dan mengaduh kesakitan. Aku sangat yakin, jika pukulan Mas Attar mengenai bagian vital di perut bagian sampingnya."Pak," lirihku, yang langsung duduk di sampinG Hilman.Mas Attar mundur, dan pergi seperti pengecut. Tidak heran lagi dengan tingkah anehnya. Apa dia tidak mendengar keputusan hakim, jika kami sudah resmi bercerai dan masa iddahku juga sudah lewat.[Radit! Cepatan pulang, lagi genting di sini. kamu langsung awa motor kamu ke belakang, ya.]Bapak menghubungi Radit, dan meminta adikku segera pulang. Rasanya aku ingin memukul dan membalas apa yang sudah dilakukan ole Mas Attar pada Hilman, hanya karena rasa yang telah usai dia berbuat buruk pada orang yang salah.Cukup lama Radit datang, membuat aku dan bapak kebingungan. Para tetangga menyarankan untuk membawa Radit ke rumah sakit segera, tapi kami juga tidak ingin acara ini berantakan karena ulah Mas Attar.S