Share

2

Via meletakkan kepalanya ke meja kerja yang penuh dengan tumpukan soal yang belum tersentuh untuk diperiksa. Setelah mengawas Try Out non stop dari jam tujuh, dilanjukan sampai jam dua. Bahkan di jam istirahat yang berdurasi 15 menit, dia tak sempat mengisi perutnya, sebab ada wali murid yang datang ke sekolah menanyainya ini dan itu.

"Pulang yuk, Via!" ajak Maryam, teman sesama pengajar.

"Iya, aku butuh tidur, kepalaku sakit." Via merapikan mejanya, mematikan laptopnya lalu memasukkan benda itu ke dalam tas.

"Itu makanya, buruan nikah, biar hidupmu gak monoton," ledek Maryam. Dia melirik sang suami yang sudah melambaikan tangan padanya lewat jendela kaca.

"Belum ada yang cocok."

"Kau itu terlalu pemilih, banyak utadz di sini yang menaruh hati padamu. Tapi kau malah menolak bahkan sebelum mereka mengutarakan perasaannya."

"Aku suka yang berbeda." Mata bulat Via menerawang. Mereka berjalan beriringan ke luar ruangan majellis guru.

"Seperti apa?"

"Tidak tau, tapi yang beda aja. Belum jumpa."

"Aku doakan semoga ketemu. Aku duluan ya...!" Maryam menggandeng suaminya sambil tersenyum pada Via. Via mengangguk, sambil mengawasi pasangan penganten baru setahun itu.

Via berjalan perlahan mendekati gerbang pondok pesantren. Untung saja hari ini jam mengawasnya habis jam dua, Via benar benar benar lelah. Terkadang Via ingin mencuri waktu dan mengambil cuti supaya pulang ke kampung halamannya. Namun, pekerjaan sebagai PNS di desa ini membuatnya terikat dan tidak bisa libur sembarangan.

Via menutup pagar gerbang pondok pesantren kembali. Duduk di bangku kayu yang dibuat untuk tempat menunggu ojek, di bawah pohon Akasia tua yang sudah berumur hampir satu abad.

Baru saja Via mendesah pelan, sebuah motor mendekat padanya. Si pemilik motor membuka helmnya dan menyapa Via yang mencoba mengingat ingat.

"Ojek, Mbak?" tawarnya. Baru Via ingat, mas ini yang pernah mengantarnya sebulan yang lalu. Namun baru muncul kembali sekarang.

"Iya, tapi singgah ke toko buku boleh,  Mas? Ntar saya tambah uang tip deh."

Laki-laki yang mengaku tukang ojek itu adalah Raihan. Kali ini penyamarannya sangat sempurna, motor bebek tua dan jaket lusuh yang warnanya sudah memudar. Raihan merasa seperti orang gila, membeli dengan harga mahal jaket asistennya yang pelit itu karena yang punya tak mau memberikan dengan alasan jaket itu banyak historinya. Namun, saat Raihan menyogok dengan uang lima ratus ribu, asistennya itu langsung mengangguk dengan senyum sumringah.

Via sudah duduk manis membonceng di belakang dan sedikit memberi jarak agar bahunya tidak bersentuhan dengan Raihan. Sedangkan laki-laki itu, menghirup wangi samar yang menguar dari gadis di belakangnya, gadis yang membuatnya tak bisa tidur dan mengubahnya dari orang waras menjadi orang gila.

Raihan merasakan jantungnya berdentum beberapa saat yang lalu, saat mata polos ibuk guru yang hari ini memakai jilbab warna abu-abu pucat. Raihan merasa hatinya bersorak dengan pertemuan ini, dia tak bisa mengelak lagi, bahwa dia sudah jatuh cinta pada wanita ini.

"Mangkal dimana, Mas? Jarang terlihat," kata Via yang tak bisa menahan rasa penasarannya.

"Oh, saya jarang mangkal, Mbak. Palingan narik ojek sekali-sekali pas ada waktu," jawab Raihan, dia senang dengan perhatian kecil sang pujaan hati. Dia melirik spion motor, mangamati wajah gadis itu yang pipinya memerah kena sinar matahari.

"Tempat tinggal saya agak jauh, Mas. Kita ke kossan saya dulu buat ngambil uang, habis itu kita ke toko buku. Bisa kan mas?"

Tentu saja bisa, Raihan akan mengantar gadis itu kemana pun, bahkan ke langit ke tujuh.

"Mas?"

"Oh, eh baik, Mbak." Raihan tergagap. Motor melaju mulus, terkesan pelan, seolah-olah Raihan menikmati detik yang mereka lalui berkendara berdua. Ya tuhan, bahkan statusnya hanya tukang ojek.

Via memberikan komando, mengarahkan jalan mana yang di lalui. Sepuluh menit kemudian, mereka berhenti di rumah kecil yang di kelilingi pohon rindang dan taman bunga.

Via turun perlahan. "Mas, lima menit." Katanya dengan senyum tak enak, dia merasa perlu ke kamar kecil karena perutnya melilit sakit.

Raihan mengangguk, matanya awas mengawasi gadis itu. Lima menit, sepuluh menit, sampai dua puluh menit, gadis itu tidak muncul juga. Raihan menimbang, apakah dia harus melihat sendiri gadis itu? Hatinya merasa tidak enak.

Akhirnya Raihan memutuskan untuk menyusul gadis itu. Berjalan perlahan sambil mengamati situasi yang sepi. Raihan mendorong pintu masuk itu perlahan, masuk hati hati sambil memanggil gadis itu.

"Mbak?" Tak ada sahutan, Raihan semakin curiga. Dia mendengar bunyi kran air yang di lepas.

"Mbak?" Raihan memanggil lagi. Tetap tak ada sahutan dari dalam. Namun pintu kamar mandi terbuka.

Mata Raihan terbelalak, saat gadis itu tersungkur di lantai keramik kamar mandi dalam ke adaan pingsan. Baju dan kerudungnya sudah basah, bibirnya pucat pasi.

"Mbak?" Raihan menepuk pipi pucat itu tapi tidak ada jawaban.

"Sial." Raihan akhirnya mengangkat gadis itu kepangkuannya. Tak peduli dengan bajunya yang ikutan basah.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status