Ternyata anak gadis Mbak Asih dan beberapa orang lelaki pun ikut bersaksi untuk memberatkan Tante Miranda.Sedangkan Tante Miranda duduk di tengah-tengah dengan wajah tertunduk, mungkin saat ini hanya Tiara yang berpihak padanya, karena perempuan itu sendirian tak memiliki kuasa hukum.Nenek, ayah, bunda dan Om Burhan ikut bersamaku di barisan terdepan, sedangkan Tiara duduk di bangku sudut ruangan, keluarga Tante Miranda dan Tante Dina pun hadir, karena ayah telah memberitahu mereka semua."Alhamdulillah."Kami semua serentak mengucap Hamdallah kala hakim membacakan putusan. Tante Miranda dijatuhi hukuman penjara delapan belas tahun, sebenarnya bisa saja ia dihukum seumur hidup jika ada bukti yang lebih kuat.Namun, hukuman itu saja sudah membuat kami semua bersyukur, karena setidaknya kematian Tante Dina bisa terbalaskan, dan nama baiknya kembali bersih karena dikenal mati dibunuh, bukan mati karena bunuh diri."Mama!" Tiara berteriak.Anak itu menangis sesenggukan sambil menghampir
"Farah ternyata udah suka sama kamu duluan, Vin. Dari dulu lagi." Aku tersenyum masam.Sekarang canggung rasanya bicara lu gua dengan sahabatku ini, dan entah kenapa ada rasa sedih yang menyelusup ke ulu hati saat mengetahui isi hati Farah.Apa mungkin aku mencintainya?Entah, aku tak pernah mengenal kata cinta diusia yang menurut orang cukup matang berumah tangga, aku disibukkan belajar oleh ayah dan bunda.Dan lagi wanita yang telah melahirkanku itu tiada henti memberikan nasihat agar aku jangan pacaran sebelum menikah."Hah? Farah suka sama aku?" Arvin keheranan.Ternyata bukan hanya aku yang syok tapi Arvin juga, karena selama ini kami bersahabat begitu dekat dan akrab."Iya, kemarin dia cerita sama aku."Kami saling terdiam cukup lama."Terus gimana perasaanmu ke aku?" tanya Arvin"Ga tahu lah, Vin, sekarang ini aku ga mikir ke arah situ, aku juga bingung.""Ga usah bingung lah, Ra, yang penting sekarang kamu udah tahu isi hatiku, dan aku juga udah siap melamar kamu, soal mau dit
"Ayah ada hubungan apa sama Mbak Rosa?" tanyaku ketika kami makan malam.Lelaki yang baru mencukur kumis dan brewoknya itu menatapku tak enak, aku mendelik, kesal sekali punya ayah yang tak ada habis-habisnya mengalami masa pubertas."Hubungan kami ya ... sekedar bos sama sekretaris aja kok, kenapa emang?" Ayah malah terlihat asyik mengunyah."Ga usah bohong! Aku tuh lihat tadi sore Ayah jalan sama wanita itu 'kan? Ayah juga anterin perempuan itu ke rumahnya." Ayah mendadak berhenti mengunyah.Ia lalu menatapku."Aku tuh tadi ada di cafe itu, saking asyiknya mesra-mesraan sampai anak sendiri ajanga kelihatan." Aku mendelik.Ayah malah diam, mungkin kebingungan mau bicara apa."Oh ga hanya itu aku juga ikutin Ayah kok tadi ke rumah Mbak Rosa. Ayah tahu, ternyata di rumah itu ada Tiara."Sekali lagi ayah menatap wajahku."Tiara? bukannya dia ngekos?" tanya ayah.Hebat sekali dia sampai-sampai mengetahui kehidupan anak mantan gundiknya."Dia tinggal sama Mbak Rosa, coba deh Ayah tanya. A
Aku kembali ke kantor naik taxi, saat ingin memasuki ruang kerja aku berpapasan dengan ayah, ia tersenyum senang menatapku."Kenapa?" tanyaku agak sinis."Mbak Rosa itu perempuan baik 'kan, Ra?" tanya ayah.Ternyata itu alasan ayah tersenyum merekah, aku jadi curiga jangan-jangan Mbak Rosa mendekatiku karena disuruh ayah, atau jangan-jangan uang yang dipakai nraktir aku tadi juga berasal darinya.Aku cemberut tanpa bersuara lagi lalu masuk ke dalam, Mbak Rosa memang penuh teka-teki, aku harus hati-hati.Pulang kerja seperti biasa Arvin sudah stand by di depan kantor, lelaki itu tersenyum kala aku memasuki mobilnya."Capek ya?" tanya Arvin basa-basi."Ga juga." "Ya udah kalau gitu jalan sekarang ya Ibu peri." Arvin terkekeh.Lebay banget."Kalau udah nikah nanti kamu ga harus capek kerja, Ra, diem aja di rumah jadi nyonya Arvin." Ia tersenyum sambil menatapku.Aku mengerlingkan mata, belum kepikiran ke situ."Aku mau pulang ke rumah bunda aja deh, Vin." "Siap, nyonya."Arvin masih sa
"Aku pergi dulu ya, Bun." Tanganku terus terukur hendak salaman."Tunggu Zara."Aku terpaksa menghentikan langkah."Jangan lama-lama, kalian harus cepet nikah, dan jangan terlalu sering ketemu takutnya terbujuk rayuan setan," ujar bunda memberi nasehat."Iya, tenang aja," balasku singkat.Sebelum ke kantor terlebih dulu aku mampir menjemput Farah, sahabatku itu keheranan melihatku lagi-lagi diantar lelaki pujaannya.Saat di mobil ia memang tak banyak bertanya, tapi setelah di kantor."Lu kok berangkat bareng Arvin terus sih, Ra?" Akhirnya pertanyaan itu dilontarkan jugaAku diam sebentar menyiapkan kata agar tak melukai hatinya."Iya, Rah, dia anter jemput gua tiap hari."Seketika ia berhenti melangkah, begitu pula denganku."Ngapain?" tanya Farah sambil melirikku."Kita ke kantin dulu yuk ada yang mau obrolin, masih ada waktu sepuluh menit." Aku melihat arloji.Farah mengangguk tanpa bicara, kami berjalan beriringan dalam diam."Mau ngomong apa?" tanya Farah lagi usai kami duduk di s
"Om Zaenal," ucapku, mereka masih diambang pintu.Kami duduk di sofa tanpa saling bicara terlebih dulu, hanya ayah yang menyapa mereka, Arvin pun sepertinya sudah mengerti dengan keadaan ini."Mas, jadi Nak Arvin ini anakmu?" tanya bunda.Om Zaenal yang sedang mengobrol dengan ayah pun seketika menoleh."Iya, Naima."Ada luka di mata bunda begitu pula dengan Om Zaenal yang terlihat kecewa."Tunggu dulu, apa sebelumnya kalian sudah saling kenal?" tanya ayah, sepertinya ia belum mengerti dengan apa yang terjadi sementara mamanya Arvin diam saja, seperti risih berdekatan dengan mantan suaminya."Maaf, sebenarnya Om Zaenal ini calon suami Bunda," sahutku dengan terpaksa, aku muak ada teka-teki diantara kami.Arvin terlihat gusar mengusap wajahnya, sedangkan ayah dan mama Arvin jelas terkejut memandang bunda dan Om Zaenal bergantian.Suasana mendadak kaku, aku pun bingung entah harus apa."Apapun keadaannya aku tetap mau menikahi, Zara, Ma, Pa," ucap Arvin dengan tegas.Bunda dan Om Zaenal
39. b sa"Mungkin dua atau tiga bulan lagi, Tante, ga apa-apa 'kan?" sahutku, rasanya belum siap menikah dalam waktu dekat."Gimana menurut kamu, Vin?" tanya calon mama mertuaku itu."Aku setuju, karena kita butuh persiapan yang matang dalam hal apapun." Pria itu mendadak bijak di hadapan orang tua kami."Nah, berarti bukan Oktober nanti ya pernikahannya, gimana nih Mas, Mbak?" Mama Arvin melirik ayah dan bunda sedangkan mantan suaminya dilewat begitu saja."Saya sih terserah anak-anak saja," sahut bunda."Saya juga, kalau bisa sih diundur, saya pengen cepat nimang cucu." Ayah terkekeh.Mataku melotot keberatan, setelah menikah nanti aku tak ingin langsung punya anak, ayah ini ada-ada saja."Gimana dong, Zara, Arvin? Kalian yang mau nikah kok pada diem sih." Mama Arvin heboh.Arvin pun tersenyum malu. "Iya aku setuju, Ma.""Oh ya, Zara, ini hadiah buat kamu." Arvin memberikan kotak kecil berwarna merah."Ini semoga kamu suka ya."Aku membuka kotak kecil itu, di dalamnya ada cincin ema
Jam makan siang aku dan Arvin bertemu lalu kuperlihatkan pesan ancaman semalam padanya."Menurut kamu dia siapa, Vin?" Entah kenapa aku berpikir jika ini perbuatan Om Zainal, apalagi semalam hanya dia yang tak menyukai acara lamaran kami.Tapi, aku tak ingin mengatakannya pada Arvin sekarang sebelum mendapatkan bukti karena takut dirinya tersinggung."Aku catet nomornya ya, Ra, kamu tenang aja aku akan selidiki orang ini siapa."Aku mengangguk mengiyakan, setelah selesai makan siang kami berpisah kembali, aku ke kantor sementara Arvin ke cafenya."Hai, Ra, selamat ya atas pertunangannya," sapa Mbak Rosa sambil tersenyum."Iya, Mbak, terima kasih." Lalu aku masuk ke ruanganku.Sejauh ini aku tak ingin mendekatkan diri pada perempuan yang sedang dekat dengan ayah itu, biarlah jika ia bersungguh-sungguh ingin bersama ayah maka ia harus berusaha mengambil hatiku."Ra, malam ini Mbak mau ajak kamu makan malam di rumah, papamu juga akan datang nanti, kamu datang ya," ucap Mbak Rosa saat ak