Pak Zainal hanya memiliki seorang adik yang berbeda kota, bunda mengabari adiknya Pak Zainal itu melalui telepon yang ia dapatkan dari teman-teman Pak Zainal.Cukup sulit menghubungi anggota keluarganya, setelah adik perempuannya datang ke rumah sakit akhirnya semua urusan pemakaman diserahkan pada wanita itu yang datang bersama satu orang lelaki."Apa yang terjadi pada Bang Zainal?" tanya perempuan itu pada bunda."Dia berkelahi dengan beberapa orang preman, kudengar sih begitu."Ini lebih baik dari pada bunda menceritakan kejadian sebenarnya pada perempuan itu, mending kalau dia mengerti kalau dia tidak terima tentu urusannya akan semakin runyam"Oh Tuhan, malang sekali nasibmu, Bang, sudah lama kita ga bertemu lalu sekarang inilah pertemuan terakhir kita."Wanita itu terisak lalu lelaki di dekatnya mencoba menenangkan."Aku hanya punya saudara kamu, Bang, kenapa ninggalin aku secara tiba-tiba kaya gini."Aku tak tertarik lagi melihat pembicaraan bunda dan wanita itu, lantas masuk k
"Zara, kamu mau ikut Ayah atau Bunda?" Aku menatap mereka dengan kecewa, terutama ayah, dialah lelaki yang sudah menyakiti hati bunda hingga berdarah-darah.Ia selingkuh dengan sekretarisnya yang lebih muda dari bunda, dengan tatapan penuh benci aku pun menjawab."Aku pilih ikut Ayah."Dari sudut mata kulihat bunda melirikku dengan pandangan kecewa, padahal aku memiliki tujuan saat memutuskan memilih tinggal dengan ayah.Tujuanku adalah membuat rumah tangga ayah dan gundiknya itu berantakan, takkan kubiarkan mereka hidup bahagia."Kamu yakin?" tanya bunda dengan suara bergetar.Jujur hatiku perih memutuskan hal ini. Namun, aku ingin keadilan untuk bunda, aku tak rela ayah dan gundiknya itu bahagia, sementara bundaku menahan pedihnya luka."Yakin, Bun." Aku mengangguk sementara bunda melirik ke ara lain, tak lama ia menengadah."Zara, cuma kamu yang Bunda punya, Bunda mohon." Bunda menatapku nelangsa.Aku tetap diam menahan tangisan."Apa kamu takut kehilangan kemewahan kalau tinggal
Ayah menghampiri lalu membantuku berdiri, sedangkan Tiara terlihat ketakutan melihat emosi ayah."Zara yang mulai duluan, Yah," ucap Tante Miranda membela anaknya.Tiara mangut-mangut kaya orang b3g0. "Iya iya bener, Kak Zara tadi ngusir aku dari kamar, dia nyeret tangan aku keras-keras, sakit tahu," sahut Tiara dengan gaya manja.Ayah nampak diam melirik kami bergantian."Ayah ga suka ya lihat kamu kasar sama Kak Zara, Ayah minta kamu hormati Kak Zara karena dia sudah jadi kakakmu." Ayah menatap anak tirinya penuh emosi."Gimana mau hormat, Yah, Zara nya aja kasar begitu," sahut Tante Miranda.Ternyata mereka ular yang berbisa, pantas saja bisa merebut ayah dengan mudah, berbanding terbalik dengan bunda yang kalem dan polos."Mama ini apa-apaan sih, barusan Ayah lihat sendiri loh Tiara yang kasar sama Zara, Mama ga boleh gitu kalau anak salah harus ditegur jangan dibela," balas ayah.Aku menyeringai melihat tampang Tante Miranda yang kesal, lihat saja akan kubuat hari-harinya menjadi
"Iya buat Zara, Ma, kasihan dia kalau ke kampus suka kehujanan," ucap ayah dengan enteng lalu ia berlalu begitu saja menghampiri pegawai dealer.Aku tersenyum penuh kemenangan sambil mengangkat kunci mobil itu setinggi wajah."Aku jadi makin sayang sama Ayah." Ngomong sendirian sambil memandang kunci mobil itu.Dari sudut mata terlihat Tiara dan Tante Miranda saling lirik dengan wajah kesal, aku jadi ingin cepat-cepat malam, tak sabar melihat ayah dan gundiknya bertengkar."Kenapa sih lihat aku melotot gitu?" tanyaku acuh tak acuh.Karena tak ada yang menjawab aku pun masuk ke dalam lalu duduk di sofa ruang tamu, rasanya tak sabar ingin ajak bunda jalan-jalan.Dahulu saat ayah belum sukses seperti sekarang, bunda selalu bilang ingin punya mobil, katanya supaya tak ribet jika sedang berkendara lalu turun hujan.Dan di saat itu pun ayah menjanjikan akan membelikan bunda mobil setelah ayah sukses, nyatanya setelah sukses memiliki supermarket dengan banyak cabang, ayah malah selingkuh den
(Pov Tante Miranda)Aku kesal pada Mas Damar, berasa di prank oleh suami sendiri, kukira mobil itu hadiah untukku, nyatanya malah untuk Zara."Maa, aku juga pengen mobil kaya si Zara," rengek Tiara membuatku makin pusing saja."Berisik, Tiara." Aku memijat kening.Emangnya dia saja yang mau dikasih mobil, kukira menikah dengan seorang pengusaha akan mudah meminta apa saja, nyatanya Mas Damar tak semudah itu.Padahal dahulu saat kami berpacaran diam-diam ia selalu membelikan apa yang kumau, tapi setelah menikah maka semuanya berubah, kalau aku meminta sesuatu maka ia pasti banyak mikir dulu."Pokoknya Mama harus minta mobil baru sama Ayah buat aku." Tiara menghentakkan kaki sambil cemberut.Aku mendelik ke arahnya, dipikir minta mobil pada ayah tirinya itu semudah membalikan telapak tangan, apalagi Zara anak kesayangannya ada di sini sudah pasti aku dan Tiara makin tersisih."Pengen mobil baru." Tiara merengek lagi."Gini aja, kamu 'kan masih SMA nyetir juga belum bisa mending pakai mo
Tak kuasa menahan tawa saat melihat Tante Miranda marah-marah pada ayah lewat telpon, dari balik pintu kamarnya aku menguping kalau dia sedang membujuk ayah untuk memberikan anaknya uang jajan dan motor baru.Sebenarnya motor lamaku itu sudah dijual ke Farah--teman terbaikku-- sedangkan uangnya aku berikan pada bunda, enak saja mau dikasih ke Tiara, emang dia siapa?Teringat malam tadi habis-habisan aku menghasut ayah.***"Tiara itu anak orang, ngapain Ayah bela-belain segalanya buat dia, suatu saat Ayah bakal rugi," ucapku saat kami ngobrol di luar."Rugi?" Ayah merenungDalam hati aku bersorak melihat Ayah mulai terhasut omonganku."Iya rugi, coba bayangin Ayah sekolahkan dia tinggi-tinggi, kasih uang bulanan gede, mau ini itu diturutin, eh giliran dia berhasil dan sukses malah pulang ke bapak kandungnya, Ayah pasti ngenes nanti."Ayah merenung menatap ke depan sana, melihat kendaraan roda empat lewat berlalu lalang."Aku tuh kasihan aja sama Ayah makanya ngomong gini, bukan ngajar
"Ngapain Tante di sini?" tanyaku sambil menyeringai "Lucu ya, ada pelakor yang ngelabrak istri sah." Aku melipat tangan di dada.Kulirik wajah bunda masih terlihat tenang seolah tak terusik, lain lagi dengan wajah Tante Miranda yang tampak menegang."Kebetulan anaknya ada, silakan Mbak nasihati dia agar jangan merusak kenyamanan orang." Tante Miranda menatapku penuh amarah."Apa apa? aku merusak kenyamanan orang? bukannya situ yang ngerusak rumah tangga orang," balasku dengan tatapan jijik.Tante Miranda menghirup udara dengan susah payah, rahang yang tirus itu pun menengang, kalau begini aku jadi tambah semangat membuat emosinya makin meradang."Kamu 'kan yang hasut Ayah supaya ga ngasih uang bulanan ke Tiara?!" Tante Miranda menunjuk wajahku."Dan kamu juga yang ngelarang ayah beliin motor buat Tiara 'kan!""Jangan sembarangan kalau nuduh, situ punya bukti ga," balasku makin ngotot."Ayah juga punya otak kali, ngapain repot-repot biayain anak orang, Tiara masih punya bapak kandung
(POV MIRANDA)"Gue ga takut!" tegas Zara dengan suara pelan.Ingin sekali aku menerkam anak songong itu, jika ia tak bicara sudah pasti mobil baru berhasil kudapatkan, memang anak menyebalkan.Usai puas membuat moodku hancur berantakan, anak itu langsung melangkah ke kamarnya dengan santai, andai ini di hutan sudah pasti aku berikan ia pada hewan buas.Sambil mengurai napas aku berjalan menuju kamar, akan kubujuk Mas Damar sebisa mungkin."Mas, kamu ga sayang ya sama aku?" tanyaku dengan suara lemah, kalau dengan kekerasan yang ada ia malah makin keras.Mas Damar yang sedang duduk membelakangiku menoleh."Bukan ga sayang, tapi aku mau Mama jangan sombong, apalagi labrak-labrak Naima."Lagi-lagi wanita itu, aku jadi curiga jangan-jangan suamiku ini masih mencintai mantannya? oh tidak! Jangan sampai itu terjadi."Iya iya maaf, Mama ga labrak kok, Zara aja yang ceritanya dilebih-lebihkan." Aku duduk di dekatnya lalu menyenderkan kepala di pundak Mas Damar."Tapi kamu ga boleh ganggu Naim