"Aku akan segera menikahi Syafa." Rein melebarkan matanya, ia tak percaya dengan apa yang dikatakan oleh Paul barusan. "Kamu yakin? Syafa belum sembuh. Bagaimana dengan Mama?" Apa kamu yakin Mama akan menerina Syafa?" Rein mencecar banyak pertanyaan pada pria yang postur tubuhnya tak jauh berbeda dengannya itu. Saat ini keduanya sedang berada di depan administrasi rumah sakit. Mereka baru saja menyelesaikan biaya administrasi pengobatan Laura. Hari ini Laura sudah diperbolehkan pulang oleh dokter. Kondisinya sudah sangat stabil. Hari ini pula hasil test DNA Rein dan Paul keluar. "Kedua orang tua Syafa terus-terusan mencecarku. Aku nggak tega dengan Syafa yang terus kepikiran," jelas Paul. Matanya menerawang membayangkan wajah sedih Syafa. "Bagaimana jika Mama--" Rein tidak meneruskan ucapannya. Ia tidak mungkin mematahkan semangat saudara kembarnya itu. .Paul menghela napas kasar.. "Jika mama menolak Syafa, Aku tetap akan menikahinya. Entah kenapa, hatiku seakan sudah terp
"Hari ini Syafa sudah boleh pulang. Pengobatan dilanjutkan dengan rawat jalan dan terapi secara berkala." Dokter Taufik baru saja memeriksa kondisi Syafa yang membaik dengan pesat. Para dokter tidak menyangka kaki Syafa yang sejak awal diprediksi akan lumpuh permanen, ternyata sudah memberikan respon yang baik. Semangat hidup gadis itu patut diacungkan jempol.. "Bagaimana dengan biayanya, Dok? Apa orang yang namanya Reinhard itu masih bertanggung jawab? Sudah lama sekali dia tidak muncul." Rita bertanya khawatir pada Dokter. Pak Rein selalu menghubungi Saya. Beliau sedang ada di luar kota. Sebentar lagi istrinya akan datang membereskan semua administrasi dan mengantar Syafa pulang ke rumah. "Oh, baguslah kalau begitu. Memang seharusnya mereka memperlakukan Syafa dengan baik." ketus Rita masih dengan wajah angkuhnya.. "Buu, jangan selalu berpikir buruk pada Kak Rein dan Kak Maira. Mereka baik dan bertanggung jawab pada Syafa." pinta Syafa pada ibunya ketika dokter telah selesai
"Astaga! Aku kesiangan!" Kayla terkejut saat terjaga, matahari telah menembus kaca jendela kamar apartemennya. Ia ingin bangkit, namun tangan kokoh Raka masih melingkar erat di perutnya. "Maaas, Mas Raka! Aku mau kerja, Mas. Udah kesiangan ini" "Hmmm .... " Raka malah memeluknya semakin erat.. "Maaaas! Aku udah kesiangan ini." Kayla berusaha melepaskan tangan Raka yang kekar pada tubuhnya. Namun tenaganya tak sanggup memindahkan tangan yang jauh lebih besar darinya itu. "Udaaaah, nggak usah kerja hari ini! Udah terlambat juga!" gumam pria yang masih memejamkan matanya itu.. "Tapi Mas--" Raka membawa tubuh Kayla ke atas tubuhnya. "Temani Aku saja hari ini. Ayo, Aku ingin kamu seperti tadi malam. Kamu luar biasa saat berada diatasku!" Raka telah membuka matanya. Ia mendudukkan Kayla diatas tubuhnya. "Tapi Aku lapar, Maass!" ucap Kayla manja.. Kayla merasakan lelah dan lapar setelah semalaman saling melepas rindu dan dahaga yang cukup.lama tertunda. Entah berapa kali mereka m
"Hai, Kay! Kamu kemana aja kemarin? Dicariin Bu Shinta, tuh!" Kayla menghentikan langkahnya saat Dewi memanggilnya. "A-aku kemarin nggak enak badan, Mbak Dewi. Maaf kemarin lupa ngabarin juga. Seharian Aku tiduran aja." Kayla nampak gugup "Kay, sini deh! Aku mau tanya sesuatu." Kayla mendekat pada Dewi yang memanggil dari mejanya. "Kay, memangnya benar kemarin kamu naik mobilnya Pak Raka di tepi jalan?" "Mbak Dewi tau dari mana?" sontak Kayla menjadi lebih gugup. "Jadi beneran kamu digodain sama Pak Raka?" Mata Dewi membulat tak percaya."Nggak, Mbak. Pak Raka cuma ajak Aku bareng sampai depan aja," jawabnya terpaksa berbohong. Andai saja Raka mengakuinya sebagai istri pada semua orang, tentunya ia tak akan berbohong saat ini."Awas hati-hati sama Pak Raka itu, loh Kay! Dia itu suka selingkuh. Bu Shinta dulu bercerai dengan Pak Raka gara-gara mantan suaminya itu selingkuh." Kayla hampir terlonjak mendengar perkataan Dewi. Mantan suami?"Pak Raka itu mantan suaminya Bu Shinta?
"Ada apa dengan Maira? Setahuku dia baik-baik saja," Rein berkata tenang. Ia melihat wajah Raka yang tak suka padanya. Pria itu sudah duduk di ruang tamu menunggu Laura. "Kamu membiarkan Maira bekerja sendiri. Bahkan urusan perusahaanmu pun dia yang tangani. Sedangkan kamu enak-enakan santai di sini!" Raka berkata sambil memandang sinis pada pria bule itu.. "Loh dari mana kamu tahu kalau Maira bekerja sendiri? Kami masing-masing punya asisten." Emosi Rein mulai.terpancing. Raka tertawa meremehkan. "Apapun tentang Maira Aku tahu. Walaupun dia sudah bukan istfiku lagi. Tapi dia tidak pernah lepas dari pantauanku. Aku tidak akan membiarkan siapapun menyakitinya." Rein tersenyum miring mendengar ucapan pria klimis mantan suami Maira itu. "Maira dan Aku bekerjasama dalam mengelola perusahaan kami," ungkap Rein tegas. "Halaah, Aku tau kamu itu hanya ingin memanfaatkan Maira, bukan!" Lagi-lagi Raka tersenyum sinis.. "Cukup, Raka! Kamu ke sini mau ketemu Bu Laura, kan? Jadi tolong ja
"Paul, kamu jadi ke Jakarta hari ini untuk menjemput kekasihmu?" Laura baru saja hendak sarapan pagi bersama kedua anak kembarnya. "Iya, jadi, Ma." sahut Paul yang mulai memoleskan selai pada dua potong roti tawar di piringnya.. Rein menoleh pada saudara kembarnya. Wajah Paul tampak sangat yakin." Laura pun terlihat berseri-seri. Sejak semalam ia menolak untuk memakai kursi roda. Semangatnya menjadi berlipat-lipat ketika mendengar Paul akan menikahi wanita cantik dan cerdas, seperti yang paul katakan padanya. "Apa Maira juga akan ke sini, Josh? Kapan kamu akan jemput Maira?" Kali ini Laura menoleh dan menatap penuh tanya pada Rein. "Maira akan ke sini dengan supir kami, Mah. Kalau kami semua ke Jakarta, siapa yang akan temani Mama di sini?" sahut Rein yang memilih sarapan nasi goreng pagi ini. "Kalian itu terlalu berlebihan. Mama sudah sehat. Asisten rumah tangga di sini ada tiga. Kalian tidak perlu khawatir!" protes Laura, walaupun jauh di lubuk hatinya ia sangat merasa bahagi
"Kak Paul ..." Paul menoleh pada arah suara yang sangat ia rindukan. Seorang gadis cantik dengan rambut tergerai indah duduk di atas kursi roda, baru saja keluar dari satu-satunya kamar di rumah itu. Paul bangkit dan menghampiri gadis yang belakangan ini bayangannya selalu mengisi hari-harinya. "Apa kabar, Syaa ...?" Sapa Paul lembut. Pria bule itu berjongkok di depan Syafa hingga kini tinggi mereka sejajar. Paul meraih jemari lentik dan putih milik Syafa, kemudian menciumnya cukup lama dalam mata terpejam. "Aku rindu ...," lirihnya. Syafa tersenyum haru. Ada tetesan embun yang menggantung di kedua pelupuk matanya. Ia pun merasakan hal yang sama. Rindu. Sangat rindu. Rindu dalam kegelisahan yang tak menentu dalam beberapa hari ini. Tidak ada kabar dari Paul sejak ia pulang dari rumah sakit. Ia gelisah karena takut tidak akan melihat pria itu lagi. Namun tiba-tiba pria itu saat ini sudah berada di depannya. Bahagia yang terkira ia rasakan kini. Paul kembali membuka matanya dan
"Maaf, ya. Ke Bandungnya tertunda beberapa jam!" Paul meraih jemari Syafa. "Iya, Kak. Nggak apa-apa. Aku juga sudah lama banget nggak jalan-,jalan ke Jakarta." Paul tersenyum mendengar jawaban Syafa. Ia lega gadis itu tidak protes. Cinta Pria bule itu semakin bertambah pada Syafa, karena sikap lembut dan penurutnya. Paul berjanji dalam hati, bahwa ia akan menjaga gadis itu seutuhnya hingga tiba waktunya nanti. Setelah melalui perjalanan kurang lebih satu jam, mereka tiba di depan nigth club yang masih tutup. Syafa tercengang melihat gedung tiga lantai yang cukup besar milik paul. "Ayo Aku bantu turun, Syaa!" Syafa menggeleng. "Kenapa?"."Aku di sini aja, Kak." Syafa tertunduk. ia malu dengan kondisinya. "Tidak! Kamu harus ikut denganku! Paul membantu membuka sabuk pengaman Syafa hingga Pria tampan berwajah bule itu merasakan hembusan napas Syafa serta detak jantung gadis itu yang terdengar lebih cepat olehnya. Mereka bertatapan sesaat. Ada aura kegelisahan yang nampak di waja