Apa Makna Aku Tak Kau Anggap Ada Cerita Dalam Novel Populer?

Ada satu perasaan yang langsung muncul tiap kali aku membaca kalimat itu: dingin dan tertinggal di tepi panggung. Buatku, 'aku tak kau anggap ada cerita' terasa seperti jeritan kecil dari karakter yang dibiarkan sebagai dekorasi—ada untuk menonjolkan protagonis, bukan karena dia punya perjalanan sendiri.

Ketika sebuah novel populer fokus ke satu narasi besar, seringkali ruang untuk cerita-cerita sampingan menyempit. Itu nggak selalu soal niat jahat penulis; kadang pacing, pasar, atau tekanan penerbit membuat tokoh minor terus-menerus dipotong. Tapi efeknya nyata: pembaca yang melihat dirinya tercermin di tokoh-tokoh itu jadi merasa tak terlihat. Aku sering kepikiran gimana fandom menambal lubang itu—fanfic, headcanon, atau fanart memberi 'keberadaan' pada tokoh yang resmi diabaikan oleh teks utama.

Di sisi lain, ada juga kekuatan dalam ketidakhadiran itu. Ketika ruang kosong ada, pembaca bisa mengisinya dengan imajinasi mereka. Meski pahit, ada kebebasan tertentu untuk menulis ulang narasi yang tak pernah dituliskan. Aku suka berpikir bahwa tiap cerita yang tampak terpinggirkan sedang menunggu orang yang berani memberi suara. Itu menyentuh, dan kadang memicu aku untuk menulis versiku sendiri dari cerita yang seharusnya ada.

Kalimat itu ngena banget ke ruang-ruang hidupku; aku sering merasa mirip dengan tokoh yang nggak dikasih halaman sendiri. Di masa remaja aku membaca banyak buku populer dan kerap mencari bayangan identitasku dalam karakter-karakter yang ada. Ketika nggak menemukan, rasanya seperti ditolak halus: cerita ini bukan untukku. Itu menyakitkan, tapi juga mendorong aku untuk aktif membentuk narasi lain—menulis, diskusi, dan mengumpulkan karya-karya yang benar-benar merepresentasikan pengalaman yang sering dilupakan.

Dari perspektif emosional, frasa itu juga bicara tentang validasi. Ada kebutuhan dasar agar keberadaan kita diakui, termasuk dalam fiksi. Waktu tokoh dikurangi jadi alat dramatis saja, pembaca yang sejenis akan merasa tereduksi. Itulah kenapa komunitas pembaca sering kali berperan penting: kita saling menghadirkan cerita-cerita yang diabaikan dan memberi mereka perhatian yang semestinya. Itu nggak cuma soal estetika, tapi soal rasa dihargai.

Aku melihat ungkapan itu sebagai pengingat tajam tentang bagaimana cerita dipilih dan siapa yang boleh muncul di panggung utama. Dalam banyak novel populer, struktur naratif dan fokus perspektif menentukan siapa yang dianggap penting. Jadi ketika seseorang berkata 'aku tak kau anggap ada cerita', itu bisa jadi kritik terhadap proses seleksi ini—tentang suara yang tersisihkan karena tidak sesuai dengan alur besar atau target demografis.

Secara personal, aku merasakan hal ini waktu membaca ulang beberapa seri yang dulu kusuka; tokoh-tokoh minor yang menarik seringkali cuma disentuh singkat. Itu bikin frustasi sekaligus memantik rasa ingin tahu: apa yang hilang dari latar belakang mereka? Menggali celah-celah itu kadang membuka makna baru dan memperkaya pengalaman membaca. Jadi buatku, kalimat itu bukan cuma keluhan—itu undangan untuk memperhatikan detil yang biasanya dilewatkan dan memberi tempat pada suara-suara kecil.

Sekilas aku memandang ungkapan itu sebagai kritik terhadap mekanisme pasar sastra. Novel populer seringkali dihitung lewat penjualan dan buzz, bukan kelengkapan representasi. Jadi 'aku tak kau anggap ada cerita' bisa jadi cermin bahwa sistem memilih narasi yang bisa hidup di permukaan sementara sisanya tersingkir.

Untukku, kalimat ini memotivasi tindakan sederhana: support penulis yang memberi ruang pada tokoh marginal, atau kalau perlu, tulis sendiri cerita yang kamu mau lihat. Aku percaya perubahan kecil—membaca lebih beragam, merekomendasikan buku yang berbeda, atau menulis satu karakter penuh—bisa menggeser perhatian publik. Intinya, ketidakadaan itu bukan tak bisa diubah; ia menantang kita untuk sudi memberi ruang bagi cerita yang selama ini terpinggirkan.