Dan di sinilah Yudha berada sekarang, duduk di sebelah Karina, mahasiswi paling menjengkelkan dalam sepanjang karier Yudha menjadi dosen. Ya ... walaupun baru 2 tahun ini dia menjadi tenaga pengajar di universitas, tetapi sungguh baru kali ini dia bertemu dengan makhluk semenyebalkan Karina.
“Jadi bagaimana, Karina?” tanya Profesor Pamudji, dekan Fakultas Kedokteran itu sambil menatap keduanya secara bergantian.
“Saya mau mengajukan protes, Prof!” ujar gadis itu tanpa takut, yang sontak membuat Yudha melonjak kaget. Edan! Berani benar rupanya makhluk satu ini!
“Protes yang seperti?” tampak Profesor Pamudji menatap Yudha yang terkejut itu, ia masih mencoba tenang dan hendak menyimak apa yang hendak mahasiswi semester 4 itu keluhkan.
“Saya keberatan dengan para dosen yang seenaknya bikin peraturan tidak boleh ikut kelas ketika ada mahasiswa yang terlambat! Itu sangat merugikan. Kami di sini bayar SPP juga, Prof. Uang pangkal juga bayar dan lain-lain, seenaknya saja saya terus nggak boleh ikut kelas.” Cerocos Karina tanpa rasa takut.
“Yang jadi dosen saya, saya yang mengajar dan selama jam pembelajaran otomatis saya yang pegang kendali buat peraturan dan itu sudah mutlak!” Yudha akhirnya bersuara, dia tidak suka diinterupsi macam ini. Memangnya gadis ini siapa?
“Tapi di sini yang dibuat pihak kampus bayar jasa Dokter sebagai pengajar itu uang saya juga, Dokter! Dan dengan melarang saya ikut kelas, itu sama saja Dokter merugikan saya!”
Yudha mengeram, rasanya ia ingin menggebrak meja itu seketika, namun ia sungkan pada sosok yang duduk di hadapan mereka ini. Yudha menatap gadis itu dengan sorot mata tajam, begitu pula sebaliknya. Sungguh Yudha tidak mengerti, kenapa harus ada makhluk semenyebalkan ini?
“Tapi itu kelas saya, saya berhak membuat peraturan dan selama kamu ikut dalam kelas saya, kamu harus patuh dengan segala macam peraturan yang saya buat!” tegas Yudha lagi tidak mau dibantah.
Tampak gadis itu ikut mengeram, membuat Yudha rasanya ingin ... ah tidak! Dia wanita, akan sangat cemen sekali Yudha kalau baku hantam dengan wanita. Di mana martabatnya sebagai laki-laki?
“Kalau hukuman yang Dokter beri sesuai dengan kesalahan dan tidak merugikan dalam jangka panjang seperti ini, tentu akan saya terima dengan lapang dada, Dok. Tapi ini sama saja Dokter merugikan saya! Mana bisa saya terima, saya kuliah di sini bayar, bukan Dokter yang bayarin.”
Anak ini ... Yudha mengeram dalam hati, berani sekali bocah ini melawan dia? Mana di depan dekan lagi. Astaga ... kepala Yudha lantas pusing, rasanya sia-sia sudah berdebat dengan bocah satu ini.
“Jadi mau mu, kamu dihukum apa?”
Tampak gadis itu tergagap, membuat Yudha sontak menghela napas panjang. Dasar menyebalkan.
“Jadi intinya Ananda Karina keberatan dengan hukuman yang dokter Yudha berikan?”
Akhirnya Profesor Pamudji kembali bersuara, sudah saatnya dia melerai pertikaian di hadapannya itu. Yudha menghela napas panjang, yang jelas ia mau urusannya dengan gadis menyebalkan ini selesai dan tidak diperpanjang, dia sudah malas.
“Tentu, Prof! Hukumannya tidak manusiawi dan merugikan.”
Yudha membelalak, tidak manusiawi katanya? Memang Yudha melakukan apa? Meminta gadis itu membangun jalan dari Anyer ke Panarukan? Bikin jembatan Suramadu, atau apa? Di mana letak tidak manusiawinya?
“Dokter Yudha, saya rasa pendapat dari Ananda Karina ada benarnya, lebih baik diberi hukuman lain yang memberi efek jera. Mereka akan kehilangan materi jika diberi hukuman tidak boleh ikut kuliah, bukan?”
“Ta-tapi Prof, say--.”
“Dokter Yudha, please! Perlu saya bawa teman-teman demo di depan fakultas?”
Entah keberapa kalinya dalam kurun waktu pagi ini, Yudha membelalakan mata karena kesal dengan mahasiswi paling bandel itu. Sungguh rasanya Yudha gemas setengah mati. Bapaknya praktik di mana, sih? Dokter apa? Sampai anaknya bisa seberani itu pada dosennya sendiri.
Namun Yudha sudah tidak bisa berkutik lagi. Oke, hari ini dia kalah melawan gadis menyebalkan ini. Akan dia ganti hukuman yang hendak dia berikan, namun suatu hari nanti ... Yudha bertekad akan membalas gadis ini dan membuat dia menyesal sudah berurusan dengan Yudha Anggara Yudhistira, lihat saja!
***
“Loh, kenapa jadi makalah saya dikembalikan, Dok?” tampak terlihat jelas gadis itu protes keras dengan aksi Yudha mengembalikan makalah itu.
Yudha tersenyum sini, menepuk pundak gadis itu seraya berbisik, “Lain kali kalau mau ngumpulin tugas, dibaca dulu ketentuan tugasnya seperti apa, mengerti?”
Yudha melihat jelas wajah itu tampak pucat, sedetik kemudian mata itu bersorot tajam menatapnya. Yudha kembali menyunggingkan senyum setengah mengejek sebelum kemudian melangkah pergi dari hadapan gadis itu.
Siapa suruh berurusan dengan dirinya? Gadis itu benar bahwa uang pembayaran dari kuliahnya yang membayar jasanya di sini, namun perlu Yudha tekankan segala di sini, lebih tepatnya di kelas Yudha, Yudha-lah yang berkuasa penuh.
Dengan langkah tenang Yudha melangkah masuk ke dalam ruangannya, hendak bersiap menuju rumah sakit karena jamnya sudah habis dan deretan jadwal operasi sudah menunggunya. Samar-samar ia bisa mendengar ocehan gadis itu yang tampaknya protes atas tindakan yang Yudha lakukan.
“Hah ... siapa yang suruh berurusan sama saya, Rin? Rasakan aja sekarang!” desis Yudha yang entah mengapa puas sekali melihat wajah itu cemberut seperti tadi.
Yudha sudah menaikkan tas itu ke punggungnya, ketika kemudian ponsel di dalam sakunya berdering. Ia segera merogoh saku kemejanya, menatap layar ponselnya yang menampilkan nomor dan nama itu.
Yudha menghela napas panjang, ibunya menelepon. Bukannya tidak suka ditelepon sang ibu, hanya saja pasti ujung-ujungnya Yudha dibuat sakit kepala dengan permintaan ibunya yang sejak beberapa tahun yang lalu tidak berubah dan semakin menjadi-jadi, yaitu minta dibawakan calon mantu.
Jujur Yudha belum ada pandangan wanita mana yang hendak dia nikahi. Dia belum berpikir sampai ke sana. Tapi tahu sendiri bukan, bagi warga benua Asia, terlebih Indonesia, di usia Yudha sekarang ini, dia ditekan untuk harus sudah berumah tangga? Padahal siapa sih yang mengharuskan? Buat apa juga buru-buru menikah?
Yudha menghirup udara banyak-banyak, mempersiapkan diri menghadapi sang ibu yang sudah bisa Yudha tebak kemana arahnya bicaranya.
“Assalamualaikum ... bagaimana, Bu?” Yudha melangkah keluar ruangan, malu jika di dengar rekan sejawat mengobrol masalah ini dengan sang ibu, ya walaupun mereka tidak bisa mendengar apa yang ibunya katakan, tapi keluar dari ruangan ini itu lebih baik.
“Yud, besok Iibu ke sana, kamu mau dibawain apa?”
Skakmat!
Jika mendapat telepon dari ibunya saja sudah seperti mimpi buruk bagi Yudha, maka dikunjungi ibunya kerumah itu lebih buruk dan menyeramkan lagi. Yudha bakalan kenyang diceramahi dari pagi sampai malam perihal jodoh dan keinginan sang ibu agar dia segera menikah.
Tapi kalau melarang sang ibu kesini, itu sama saja kurang ajar! Durhaka, anak tidak tahu diuntung dan entah apa lagi sebutannya.
Yudha memijit pelipisnya perlahan, ia hendak buka suara, namun suara itu lebih dulu menyapanya.
“Yud, kamu nggak tiba-tiba tuli, kan, Yud?”
"Si Joni kemarin istrinya lahiran loh, Yud!"Yudha sontak lemas. Benar, kan? Di hari kedua ibunya di sini, pasti itu yang bakalan dia bahas! Sudah Yudha tebak!"Ya baguslah, Bu. Nambah personil, nambah rejeki." Begitu, kan, kata orang tua zaman dulu? Semboyan yang membuat satu KK sampai punya belasan anggota keluarga, banyak anak banyak rejeki!"Ya makanya itu ... Kamu kapan nikah, Yud?"Skakmat!Kepala Yudha langsung berputar, rasanya ia ingin melesat masuk ke dalam kamar, tapi meninggalkan ibunya seorang diri di depan TV seperti ini? Itu mencari ribut namanya!"Nanti lah, kerjaan Yudha lagi padet, Bu." Jawab Yudha berharap ibunya tidak lagi membahas hal itu. Namun agaknya Yudha salah, karena sedetik kemudian, Ningsih langsung membelalak dan nampak tidak kesal dengan jawaban yang keluar dari mulut sang anak."Nanti terus! Dari kamu lulus jadi dokter sampai sekarang sudah spesialis tiap ditanya kapan nika
"Mimpi apa sih aku semalam, Hen?" Desah Karina sambil menyusut air mata.Heni menghela nafas panjang, ia menyodorkan tissu pada Karina. "Sudahlah, kamu sepuluh menit lagi sidang dan malah nangis sesegukan kayak gini? Kan file presentasi kamu udah ketemu, Rin."Karina menghentakkan kakinya ke lantai, tampak terlihat dia begitu frustasi."Ketemu sih, cuma aku bayarnya harus pakai masa depan, Hen!" Kembali Karina terisak, sungguh simalakama sekali. Tidak ketemu flashdisk itu sama saja dia harus menunda wisuda S1-nya, dan sekarang ketemu, dia harus menukarnya dengan masa depan cemerlang yang sudah Karina rancang sejak lama, tidak adakah pilihan lain?"Kamu sih!" Heni menggebuk punggung Karina dengan gemas, "Siapa suruh asal njeplak ngomong tadi? Pakai bawa-bawa nama Tuhan lagi, rasain sekarang!"Tangis Karina makin kencang, membuat Heni kembali menggebuk punggung itu dengan kesal."Aku lagi kena sial kenapa kamu malah nyalahin
Karina menatap gelisah pintu ruangan itu. Beberapa mahasiswa menatapnya sambil berbisik-bisik. Tentu tanpa perlu mendengarkan apa yang tengah mereka bisikkan, Karina sudah tahu mereka tengah membicarakan dirinya perihal nasib sial yang harus dia terima akibat sembarangan mengucap sumpah beberapa jam yang lalu.Ia sudah selesai sidang skripsi, dan sesuai yang sudah tadi sosok itu bicarakan, Karina hendak membicarakan hal itu. Membicarakan sumpahnya, ah tidak ... Lebih tepatnya hendak memohon sosok itu agar tidak menganggap semua tadi serius.Karina hendak melangkah masuk ketika suara langkah kaki itu memaksanya menoleh. Sosok itu -dokter Yudha- tampak melangkah dengan penuh percaya diri dan begitu gagah. Membuat Karina tertegun sesaat karena baru menyadari bahwa sosok itu luar biasa mempesona."Cari saya?" Tanya sosok itu sambil tersenyum.'Iya lah cari kamu, memang siapa lagi?' Karina mengumpat dalam hati, hanya berani di dalam
"Bismillah dulu sebelum buka amplopnya."Pandangan Karina yang semula tertuju pada amplop di tangannya sontak beralih pada sosok berjilbab itu. Dokter Rasya tersenyum begitu manis, membuat jantung Karina makin kencang berdegub. Di dalam amplop itu ada secarik kertas yang menentukan hidupnya setelah ini. Ah ... maksudnya menentukan nasib perjalanan pre-kliniknya yang sudah tiga setengah tahun dia lalui."Bismillah, ya Allah," desis Karina lirih lalu membuka amplop itu.Ia mengambil kertas yang terlipat di dalamnya, membukanya perlahan-lahan dengan jantung yang berdisko ria. Harus lulus! Kalau tidak bisa habis Karina nanti. Mana dia harus izin nikah lagi, ah! Kenapa malah mikirin nikah sih? Karina memaki dirinya sendiri, semoga...Karina tertegun, surat itu sudah dia buka dan tak selang lama terdengar suara teriakan riuh teman-teman yang berjuang sidang bersamanya hari ini. Karina LULUS! Dia sudah lulus dan berhak menyandang gelar Sarjana Kedokt
Yudha meletakkan ponselnya, sedetik kemudian senyum Yudha merekah sempurna. Wajah cantik yang nampak manyun tadi kembali terngiang di dalam benak Yudha. Dia harus menekan sosok itu agar membujuk sang ayah merestui lamaran Yudha. Kalau tidak, bisa dipastikan lamaran Yudha bakal ditolak mengingat Karina masih cukup belia dan baru saja lulus S1 kedokteran. Dan jangan lupa, usia Karina dan Yudha terpaut cukup jauh! Tiga belas tahun! Dan kalau lamaran Yudha ditolak, tahu kan apa yang akan terjadi pada Yudha ini? Dia akan dipaksa sang ibu menikahi Tere! Dan Yudha tidak mau itu terjadi. "Mau tidak mau, kita harus menikah, Rin! Dan kamu harus pastikan papamu setuju!" desis Yudha lirih. Dan malam nanti, dia harus bicara banyak hal pada Karina. Sebelum nanti Yudha datang ke rumah gadis itu dan memintanya langsung kepada sang ayah. Perlu dicatat, Yudha tidak mau pulang dengan tangan kosong dari sana. Tidak! Dia harus bawa Karina ikut pulang bersamanya, menjadi istrinya
"Dokter mau ngajar?" komentar Karina asal ketika sudah masuk ke dalam Pajero Dakar berwarna putih itu. Pasalnya penampilan Yudha begitu rapi malam ini, seperti ketika sedang mengajar di kelas.Celana bahan dan kemeja itu terus terang menampilkan kharisma yang begitu kuat, hanya saja di mata Karina, penampilan Yudha bapak-bapak sekali! Ah! Agaknya Karina lupa bahwa dia dan laki-laki ini beda generasi.Tampak sosok itu mendengus kesal, menoleh ke arahnya dan langsung mengomel."Ngajar katamu! Memang saya nggak boleh istirahat apa?" gerutunya dengan bibir manyun. "Saya mau ajak kamu makan malam, sekalian mau bahas masa depan."Karina tertegun sejenak, bahas masa depan? Bahas masa depan yang seperti apa? Kenapa dosen jutek dan menyebalkan ini jadi begitu bernafsu ingin menikahi dirinya? Jangan-jangan ..."Rin, tolong pakai sabuk pengamanmu!" titah Yudha membuyarkan lamunan Karina.Karina sontak nyengir, menarik seat
"Butuh yang bagaimana, Dok?"Tentu Karina terperanjat mendengar alasan Yudha ketika Karina tanya kenapa dia begitu bernafsu hendak menikahi dirinya."Saya butuh kamu untuk saya nikahi, untuk menyelamatkan masa depan saya, Rin."Kembali Karina terperanjat, dia syok dan terkejut luar biasa dengan kalimat demi kalimat yang keluar dari mulut laki-laki itu. Ini maksudnya gimana?"Pardon?" alis Karina berkerut, laki-laki ini benar-benar lain!Yudha nampak menghela napas panjang, sementara Karina masih menatap sosok itu dengan saksama. Sebenarnya ada apa sih? Kenapa jadi Karina dihubungkan dengan misi penyelamatan masa depan sosok dokter bedah umum itu? Memang ada apa dengan masa depan laki-laki jutek dan menyebalkan macam Yudha?"Jadi begini," Yudha menatap lurus ke dalam manik mata Karina, "Kamu tahu, kan, umur saya ini berapa?" tanya Yudha serius."Lah mana saya tahu, Dok? Memang umur Dokter berapa?" jawab Karina balik b
Yudha menepikan mobilnya, menghentikan mobil itu di trotoar yang cukup sepi dan agak gelap. Membuat Karina sontak merinding dan sedikit ketakutan."Dok, mau ngapain?" kontan Karina panik, mau apa lagi sih dosen absurb-nya ini? Kenapa juga dia tidak ada panggilan cito mendadak? Jadi Karina tidak bisa kabur melarikan diri."Membicarakan jalan keluar untuk masalah kita." Yudha menoleh, menatap Karina yang memucat itu dengan tatapan serius.Karina menelan ludahnya dengan susah payah, jalan keluar yang seperti apa sih? Memang dokter menyebalkan satu itu punya rencana gila apa lagi selain tiba-tiba mengajaknya menikah?"Ja-jadi jalan keluar yang seperti apa, Dok? Dokter hendak membatalkan rencana kita menikah?" tentu itu harapan Karina, bukan? Namun sepertinya tidak semudah itu.Yudha mengayunkan tangannya, mencubit pipi Karina sampai gadis itu terkejut dan berteriak kesakitan."A-aduh ... aduh! Sakit, Dok!" teriak Ka