“Kamu mengancam saya?” Erik benar menghampiri Rinjani.
Seulas senyum dari wanita berambut keriting gantung itu benar-benar membuat Erik sedikit terpesona. Rinjani memang terlihat cantik natural, walau ia hanya memakai bedak tipis dan tidak mau menggunakan makeup.
“Om curang, tadi memperkenalkan saya sebagai pujaan hati pada Tante itu. Masa iya, Om nggak mau bantu saya. Saya sudah bantu, loh.” Rinjani terpaksa meminta Erik untuk berpura-pura.
“Kamu gila, apa kata orang tua kamu. Nanti aku dikira pedofil, pacaran sama anak SMA.”
“What?” Rinjani terkesiap saat Erik mengira dirinya masih bersekolah. Padahal dirinya sudah berusia dua puluh empat tahun dan kini mengajar di sebuah sekolah swasta menengah ke atas.
“Tolong, ya, Om. Saya itu berumur dua puluh empat. Bukan anak kemarin sore. Jadi tolong, jangan bicara tentang saya yang masih di bawah umur.”
“Serius, kamu lagi nggak bercanda?”
Rinjani tak sabar dengan pria di hadapannya. Ia menarik lengan Erik menghampiri pelaminan sang kakak. Dengan percaya diri ia langsung memperkenalkan pria di sampingnya pada kedua orang tuanya.
“Ma, Pa. Perkenalan, ini—“ Rinjani lupa jika belum tahu siapa pria di sampingnya itu.
“Erik,” ucap Erik langsung menjabat tangan Anjas—ayah Rinjani.
Anjas saling pandang dengan sang istri. Mereka tidak percaya dengan apa yang diutarakan sang anak. Apalagi usia Erik terlihat jauh di atas Rinjani.
Rinjani melihat mimik wajah kedua orang tuanya. Ia pun yakin mereka pasti tidak percaya dan mungkin tidak setuju. Namun, Rinjani membiarkan saja hal itu terjadi karena dirinya pun hanya memperkenalkan Erik untuk hari itu saja.
“Jadi ini pacar baru kamu? Atau pelampiasan kamu?”
Rinjani menoleh dan sudah menduga suara itu berasal dari mulut pengantin wanita. Namun, wajah Ratna yang sejak tadi semringah menjadi tegang saat melihat Erik berada di hadapannya.
Rinjani pun bisa melihat dari sorot matanya jika Ratna bergeming setelah dirinya memperkenalkan Erik pada kedua orang tuanya. Namun, Rinjani tak peduli bagaimana bentuk wajah sang kakak. Atau mungkin ia sedang berpikir bagaimana merebut pria di sampingnya seperti ia merebut Tama.
“Aku bukan Kakak yang suka banyak pria. Tapi, aku dan Erik serius,” ujar Rinjani.
Bola mata Erik hampir saja keluar mendengar apa yang baru saja di katakan oleh Rinjani. Apalagi saat itu ada mantan istri Erik yang sengaja mendekat untuk mengetahui apa yang sedang terjadi.
Erik tak bisa banyak berkata karena ia pun butuh Rinjani untuk membuktikan pada Shinta jika dirinya sudah tidak memikirkan dirinya.
“Kamu gila, Jan, dia lebih pantas menjadi Om kamu, bukan calon atau suami kamu,” ujar Tama.
“Nggak penting hal itu, aku hanya ingin yang benar-benar setia dengan aku. Bukan seperti kamu.”
Erik melihat ada yang aneh di antara Rinjani dan kedua pengantin itu. Ia sepertinya tidak suka dengan suami Ratna.
“Selamat, ya, Ratna.” Erik menjabat tangan Ratna.
“Te—terima kasih, Pak Erik.”
Kini berbalik Rinjani dan kedua orang tuanya menatap tak percaya. Apalagi Jani yang tidak tahu apa-apa. Setelah mengucapkan selamat pada Ratna, Erik pamit pada kedua orang tua Rinjani.
Rinjani pun mengikuti Erik yang ternyata adalah kenalan Ratna. Namun, ia tidak tahu jika pria itu adalah bos di kantor sang kakak.
“Om, terima kasih. Tapi, kok Kak Ratna begitu canggung sama Om?” tanya Rinjani.
Erik malas menjawab pertanyaan Rinjani. Wajahnya masam karena baru kali ini dirinya dibuat mengikuti apa kemauan wanita yang baru saja ia kenal. Apalagi berperan sebagai sepasang kekasih.
“Tanya saja dia. Saya mau pulang.”
Gegas Erik meninggalkan Rinjani yang masih menatap kepergian pria dewasa itu. Ia tak menyangka jika Erik bak pahlawan di siang hari. Ia berhasil membuat kedua pasangan itu terkesiap apalagi Ratna sang kakak.
***
Ratna semakin gelisah saat sang adik membawa orang paling penting di kantornya. Ia memang mengundang atasannya, tetapi ia pun tak menyangka jika pria yang terkenal sulit berdekatan dengan wanita itu malah datang dengan kejutan.
“Jani,” panggil Ratna.
Rinjani malas menoleh, tetapi sepertinya Ratna akan bertanya tentang pria tadi. Ia pun mendekati sang kakak yang masih duduk di pelaminan. Sementara, Tama sedang pamit ke toilet.
“Kamu kenal dengan Pak Erik sejak kapan?” tanya Ratna penuh selidik.
“Bukan urusan Kakak.” Jani menjawab santai.
Ratna merasa geram mendengar ucapan sang adik. Ia tidak terima jika Rinjani lebih segalanya di atas dirinya. Ia sudah merasa menang mendapatkan Tama, tetapi malah Rinjani membuatnya kembali merasa ingin memiliki apa yang tidak ia miliki.
“Kalian kenapa?” Tama bertanya saat datang dari toilet.
Rinjani muak melihat wajah Tama. Ia berpaling dan meninggalkan kedua pasangan itu. Hidupnya hancur bersama semua kenangan yang membuatnya hampir gila. Ia mengambil makanan yang terasa sulit ia makan.
“Jani.”
Lagi, ia menoleh ke sumber suara. Seorang wanita tua yang cantik dengan kebaya yang melekat di tubuhnya. Senyum itu khas wanita solo dengan lembut langsung menyambut pelukan Rinjani.
“Bu.” Jani terisak di pelukan Ibunya Tama.
“Maafkan Tama, ya, Nduk. Semoga kamu mendapatkan pria yang jauh lebih baik.” Lembut suara wanita tua itu membuat Rinjani tenang.
Swasti—Ibunya Tama mengajaknya duduk sembari mengelus lembut punggung tangan Rinjani. Wanita itu pun menyesal dengan apa yang terjadi dengan kisah cinta Rinjani dan Tama. Saat tahu Ratna hamil dan meminta pertanggungjawaban Tama, ia pun sempat murka dan menolak keras.
Namun, apa daya jika takdir sudah berkata lain. Swasti sangat menyayangi Rinjani, tetapi sang anak malah berselingkuh dan yang menyakitkan adalah wanita itu adalah kakaknya Rinjani.
“Jani ikhlas, tapi semua serasa tidak adil bagiku. Aku yang berjuang dari nol bersama Tama, tetapi Ka Ratna yang menikmatinya. Ingat, kan, Bu, saat kami masih sekolah dulu. Dia bilang mau menjadi pengusaha muda. Berjuang demi ibu dan adik-adiknya, pokoknya semua dukungan aku berikan. Tapi, apa yang aku dapat.” Manik mata itu kembali berembun membuat wajah Rinjani semakin memerah.
“Ibu minta maaf, Nduk.” Swasti pun ikut menangisi nasib mantan calon menantunya itu.
“Bu, sudah jangan menangis terus. Memang jodohnya Mas Tama sama Mbak Ratna. Nggak usah lebai juga, sih, Mbak Jani,” ujar Tami—adik bontot Tama.
Entah mengapa gadis berusia 17 tahun itu lebih menyukai Ratna dari pada Rinjani. Seolah-olah mendukung kakaknya, ia pun siap pasang badan demi Ratna.
“Kamu bilang aku lebai? Kamu anak kemarin sore yang nggak ngerti apa-apa. Jadi, stop berkomentar,” ujar Rinjani.
Gadis itu hanya memonyongkan bibirnya melihat Rinjani yang mulai mengomentarinya.
“Untung saja aku bukan wali kelas kamu, kalau ia, kubuat nilaimu jelek semua!” Rinjani tertawa lepas saat mengingat Tami adalah salah satu murid di tempat ia mengajar.
“Ka Rinjani mengancam? Apa Kakak mau aku sebar kalau Kakak itu abis di tinggal nikah?”
“Tami!”
Sebuah teriakan membuat mereka semua menoleh ke sumber suara.
***
Tama berdiri di belakang Rinjani. Ia mendengar apa yang dikatakan sang adik. Melihat Rinjani, ia kembali merasa bersalah. Jika ia khilaf, maka ia masih merajut cinta dan menyebut namanya dalam ijab kabul. Namun, semua berantakan akibat kecerobohannya.“Tami, jangan nggak sopan sama Rinjani. Dia lebih tua dari kamu, lagi pula dia guru di sekolah kamu, kan?” Tama membela Rinjani.Tami memasang wajah tidak suka dengan teguran sang kakak. Dia memilih pergi meninggalkan mereka. Rinjani pun memalingkan wajah, bukan berarti ia dibela, dirinya bisa berdamai dengan pria itu.“Jan, maafkan Tami. Dia masih kecil, belum mengerti apa-apa.” Tama mencoba menenangkan Rinjani yang sejak tadi mulai tersulut emosi.“Usianya sudah 17 tahun, sudah dewasa,” ujar Rinjani.Tidak salah apa yang di katakan Rinjani. Walau masih labil, setidaknya Tami bisa lebih sopan dengan mantan calon kakak iparnya.“Bu, Jani permisi dulu, ya.”Rinjani pamit pada mantan ibu mertuanya. Ia tak mau berlama-lama di depan mantan k
Ratna menghampiri Rinjani yang sibuk dengan makanan di tangan. Dia tak terima karena sang adik mengenal Erik. Ratna berpikir bagaimana bisa dia menarik hati bos di kantornya, sedangkan sejak lama ia pun mengincar tak dapat balasan apa pun.“Kamu kenal di mana sama Pak Erik?” tanya Ratna.“Hmm, kasih tahu enggak, ya? Jangan ah, takut di rebut lagi. Aku tahu kalau Kakak itu enggak akan puas dengan apa yang sudah di rebut kakak,” ujar Rinjani.Ratna mengepalkan tangan, ia begitu kesal dengan apa yang di katakan sang adik. Ia berjalan menghampiri Rinjani dan mencengkeram lengannya.“Lepas!”Rinjani melepaskan cengkeramannya, ia pun tak kalah sengit menatap wanita yang merebut kekasihnya.“Kenapa kakak selalu ingin tahu apa yang aku punya, aku sudah ikhlas dengan apa yang telah kakak ambil, buat apa bertanya tentang Erik, hah? Mau tuker tambah, mengembalikan Tama dan meminta Erik?”Ratna hampir saja menampar Rinjani jika sang ayah tak menahan tangannya. Bu Irma pun merelai keduanya. Apalag
Pukul 15.30, Erik terus saja memperhatikan jam di tangan. Begitu pun netranya tak henti menatap layar ponsel. Pria dengan kaus Hitam dan celana jin itu masih terlihat muda di umur yang sudah memasuki 35 tahun. Ia duduk di sebuah restoran sembari menunggu sang anak. Namun, sejak tadi ia mencoba menghubungi dan mengirim pesan pada Bian sang anak, belum juga ada balasan.Erik kembali melihat pesan yang ia kirim pada Bian—sang anak.[Boy, sebagai permintaan maaf, Papa tunggu jam 16.00 di mal Ambas, kita nonton film yang kamu bilang waktu itu. Papa otw langsung dari kantor, jadi ketemuan saja di mal.]Namun, sejak pesan itu terkirim pukul 11.00, sampai detik itu pun Erik belum menerima balasannya. Ia kembali mencoba meneleponnya, tetapi tak ada jawaban. Akhirnya pria itu mencoba menelepon sang adik. Ternyata sang anak ada acara di sekolah.Erik langsung menutup teleponnya. Ia malah berpikir jika sang anak masih marah dan sengaja tidak mau mengangkat atau membalas pesannya. Pada akhirnya ia
Selama di perjalanan mereka tak banyak bicara, apalagi saat percakapan tentang cinta. Rinjani pun tak mau membahas masalah itu dengan Erik. Ratna semakin uring-uringan saat Rinjani datang bersama Erik. Begitu halnya dengan Tama yang sudah sejak awal merasa cemburu dengan kedekatan Rinjani dengan pria baru. Pengantin baru itu masih tinggal di rumah kedua orang tuanya. “Kamu kenapa, sih?” tanya Ratna pada sang suami yang sejak tadi tak tenang. Ratna mulai curiga dengan kehadiran Rinjani bersama Erik. Ia mengendus kecemburuan yang membuat sang suami terus seperti orang galau. “Tama, kamu kenapa kok cuek sama aku?” “Aku lagi malas bicara.” Tama hanya menjawab singkat, selanjutnya ia kembali mengambil ponsel dan memainkannya sembari tiduran tanpa menghiraukan kehadiran Ratna. Sang istri merasa tidak suka saat dirinya diabaikan. “Kamu cemburu sama Rinjani?” Ratna langsung mencecarnya. Tama masih bergeming. Ia tahu jika dirinya menjawab akan sama saja, Ratna tetap saja emosi dalam me
Bel sekolah sudah berbunyi, Rinjani kembali dalam aktivitas mengajarnya. Sebagai guru Akuntansi di sebuah sekolah menengah atas, membuat ia harus terus fokus dalam pekerjaannya. Walau beberapa bulan ia dalam keadaan tidak baik, apalagi saat menghadiri pernikahan mantan kekasihnya.Jam mengajar masih cukup lama, pukul 10.30 ia baru masuk ke kelas XI IPS II. Rinjani masih sibuk mengoreksi nilai anak didiknya. Beberapa kali ia memijit pelipisnya saat melihat sebuah nilai yang kurang memuaskan baginya.“Astaga, anak ini. Sengaja apa memang bodoh?” Rinjani bergumam sendiri sembari mencoreti lembaran tugas.“Bu Jani, ada kelas jam berapa?” tanya Pak Albert—guri olah raga.“Sebentar lagi, Pak.” Rinjani tersenyum sembari memamerkan giginya.Pak Albert masih saja memperhatikan Rinjani. Pria dengan wajah Baby face itu terkenal sebagai guru olah raga paling kece di sekolah itu. Usianya tidak tua juga tidak muda, pedomannya mampu membuat beberapa siswa meleleh saat ia menebarkan senyum.Namun, ba
Setelah menolak ajakan Pak Albert, Rinjani merasa tidak enak. Namun, ia masih trauma dengan sebuah hubungan. Apalagi, mungkin Pak Albert memang menjurus ke arah hubungan lebih lanjut. Rinjani hanya mencoba untuk tidak memberikan harapan palsu. Ia melangkah memasuki ruang kelas XI IPS II. Suara keributan pun kemudian hening.Sudah setengah bulan ini ia menjadi guru tambahan di sebuah sekolah swasta karena bantuan sang dosen di kampus. Nilai baik Rinjani membuat nilai plus dirinya untuk mencari pengalaman sebagai guru sekolah dasar. Walau sebenarnya ia ingin bekerja di kantoran, tetapi tawaran sang dosen untuk menggantikan salah satu guru yang sedang cuti pun ia sanggupi.Melihat kegaduhan ruang kelas setiap hari pun ia merasa geram. Namun, ia berhasil membuat beberapa siswa tenang. Fabian masih sibuk dengan ponsel miliknya walau sejak tadi Rinjani sudah duduk manis di kursi guru.“Anak itu lagi, heran, nggak pernah berubah. Model apa sih orang tuanya, setiap datang, pasti Tantenya atau
Senyum semringah masih terpancar di wajah pria itu dengan sempurna. Memasuki rumah sang ibu, ia lalu mencari anaknya. Sepertinya ia harus berterima kasih karena sang anak tak datang tadi. Dengan kejadian itu, ia bisa kembali bertemu dengan Rinjani.“Duren senyum-senyum lagi kenapa, tuh, Ma?” Meli menyenggol sang ibu yang sibuk mengecek pemasukan dagang online miliknya.“Tanya aja sendiri. Mungkin ketemu jodoh,” jawab sang ibu asal.Erik hanya tersenyum karena tebakan sang ibu benar. Akan tetapi, ia memilih diam dan akan memberitahu jika memang benar mereka berjodoh nanti. Ia memacu langkah menghampiri Bian di kamarnya.Pintu kamar anak laki-laki itu memang tidak pernah di kunci. Erik bisa langsung masuk tanpa harus mengetuk lebih dahulu. Dahinya mengernyit melihat sang anak yang sibuk membaca buku. Tidak seperti biasanya yang setiap saat bermain ponsel.“Lagi ulangan?” tanya Erik.“Nggak, Pa. Lagi bosan aja nggak ada ponsel.” Bian menjawab tanpa menoleh pada sang ayah.“Ponselmu ke ma
Pak Albert menunggu Rinjani yang baru saja datang. Pria itu masih saja terus mencari celah untuk mendekatinya walau sudah jelas Rinjani seperti menghindar. Bu Ani—guru Biologi sering mengingatkan untuk tidak terlalu memaksa karena wanita tidak suka di kejar.“Bu Rinjani,” sapa Pak Albert saat Rinjani datang.“Iya, ada apa, Pak?”“Bu Rinjani, Papa saya datang untuk mengambil ponsel saya. Dia tidak bisa lama, mau bicara di mana?”Bian datang dengan tergesa-gesa karena sang ayah sudah menunggu di mobil. Rinjani sampai terkesiap dengan kedatangan Bian yang menyelak pembicaraan dirinya dan Pak Albert. Seolah-olah tidak terima, Pak Albert meminta Bian untuk kembali nanti.“Bian, saya sedang ada urusan dengan Bu Rinjani. Bisa nanti bicaranya?”“Pak, orang tua saya datang untuk mengambil ponsel. Dia sibuk, masih untung mau datang, Bu, bagaimana?” tanya Bian.“Pak, saya bicara dulu dengan orang tua Bian. Setelah itu saya akan bicara dengan Bapak,” ujar Rinjani.“Bian, ikut saya. Saya tunggu di