Rinjani kembali meremas ujung kebayanya saat sebuah ijab kabul terdengar dari mulut Pratama Putra—kekasihnya yang menikah dengan kakak kandungnya. Hatinya bagai teriris pisau saat impiannya hancur berkeping-keping.
Harusnya pria berbaju pengantin itu menyebut namanya dalam sebuah ijab kabul. Akan tetapi, peristiwa dua bulan lalu membuat mimpi menjadi istri sah Tama harus kandas begitu saja karena ia memergoki sang kakak dan kekasihnya sedang memadu cinta. Rinjani kembali memejamkan mata, ia kembali teringat kejadian malam itu.
Rinjani yang baru pulang dari luar kota mendadak tak tenang saat melihat mobil kekasihnya terparkir di halaman rumah. Ia mengerutkan dahi, mengingat dirinya saja baru pulang dan di rumah hanya ada sang kakak. Kedua orang tuanya pun sedang berada di luar kota.
Dengan hati begitu kacau, gegas ia masuk ke rumah. Untung saja ia memiliki kunci duplikat hingga memudahkan ia masuk. Seperti biasa ruang tamu gelap karena memang sudah terbiasa. Namun, ia mendengar suara dari kamar sang kakak.
Seketika jantungnya berdetak begitu kencang. Suara desahan menggelikan terdengar semakin kencang saat langkahnya mulai mendekati kamar sang kakak.
“Ah ... enak, Sayang. Lagi.” Suara manja sang kakak terdengar sangat jelas.
Tangan Rinjani bergetar saat mulai memutar kenop pintu kamar sang kakak.
“Astagfirullah, apa yang kalian lakukan!” pekik Rinjani sembari menutup wajahnya karena malu melihat kedua pasang tubuh tanpa sehelai benang. Yang membuatnya kembali meringis pilu adalah saat posisi sang kekasih berada di atas kakaknya.
Kedua pasangan itu menghentikan aktivitas mereka. Tama gegas memakai baju dan mencoba mengejar Rinjani yang berlari ke arah kamarnya.
“Jani, dengarkan aku!” Tama menarik lengannya dengan kasar.
“Cukup! Jangan pernah sentuh aku, aku toh jijik sama kalian.” Rinjani mengambil jarak antara dirinya dan Tama.
“Aku bisa jelaskan,” ucap Tama.
“Menjelaskan jika kalian ada hubungan? Apa yang aku lihat itu, sudah cukup membuktikan kalian itu pasangan selingkuh yang menjijikkan.” Rinjani menarik napas dalam, dalam hidupnya ia tak pernah membayangkan jika akan memergoki kekasihnya memadu cinta dengan kakak kandungnya sendiri.
“Jani, dengarkan aku.” Tama kembali mencoba menjelaskan pada Jani.
“Lepas, sejak saat ini kita sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi. Dan, itu kan yang kamu mau, apa yang kamu dapat dari Ka Ratna, apa yang nggak pernah aku kasih. Aku bisa mengerti, tapi setidaknya jangan sama kakak aku!” pekik Rinjani.
“Ratna yang merayu aku, Jani.”
Sebuah tamparan keras mengenai pipi Tama. Tangan mungil Rinjani sudah tak tahan untuk menghajar pria di depannya. Setelah ia mencicipi cawan indah dari sang kakak, bisa-bisanya ia mengatakan jika sang kakak yang merayu dirinya.
“Satu hal yang kamu harus ingat, nggak akan ada asap jika tidak ada api.”
Rinjani terkesiap saat seseorang menepuk lembut pundaknya. Bayangan menyedihkan itu pun buyar seketika. Ia mengusap embun di mata yang hampir saja tumpah.
“Sabar, ya, Sayang.” Suara lembut sang ibu membuatnya tenang kembali.
“Apalagi yang bisa aku lakukan selain sabar? Aku berada di sini pun dengan perasaan yang tak karuan. Bahkan, Mama dan Papa meminta aku tetap tenang melihat pernikahan ini.” Rinjani pun tak mau hadir, tetapi ia harus membuktikan pada sang kakak jika dirinya sudah move on.
“Maafkan Kakakmu, Jan,” ucap wanita berkebaya pink itu.
“Harusnya dia yang meminta maaf padaku. Bukan Mama,” balas Rinjani.
“Mama tahu.”
Rinjani beranjak dari tempat duduk. Ia memilih meninggalkan tempat itu dan mencari ketenangan di luar sana. Ia tak pernah menduga jika akan terjadi hal yang begitu menyedihkan dalam hidupnya.
Menyaksikannya sang kekasih menyebut nama kakaknya dalam ijab kabul. Dia harus kuat dalam cobaan ini. Harusnya ia datang bersama pasangan yang ia selalu katakan pada sang kakak. Namun, setelah menelepon sahabat lamanya, ternyata pria itu tak bisa menolongnya. Dalam kegundahan hatinya, ia tak sengaja menabrak seseorang.
“Jalan pakai mata dong, Mbak,” omel pria dengan jas Navy.
Rinjani terkesiap menatap pria dengan wajah tampan di hadapannya. Walau usianya terlihat tak muda lagi, tetapi pria itu berhasil membuat Rinjani tak berkedip. Rinjani terkesiap saat pria itu menjentikkan jarinya di depan wajahnya.
“Mbak, enak saja Anda memanggil saya Mbak. Apa saya kelihatan tua seperti Anda?”
Kini giliran pria itu yang terkesiap saat mendengar protes Rinjani hanya karena dirinya memanggil dengan sebutan Mbak.
“Lalu saya harus memanggil apa? Tante, Bude, apa Bule?” Kembali lesung pipi pria itu membuat ia semakin memesona saat tersenyum melihat tingkah Rinjani.
“Ih, aku masih muda. Memangnya Anda, tua.”
“Loh, harusnya kamu minta maaf sama saya. Jalan nggak lihat-lihat, lagi patah hati apa?”
Pertanyaan pria itu sangat tepat membuat dirinya menyunggingkan bibir. Hatinya kembali sesak mengingat jika dirinya sedang patah hati. Dalam kegalauannya, ia dikejutkan dengan tingkah pria di hadapannya yang tiba-tiba menggandeng tangannya.
Netra Rinjani membulat dan hampir saja menendang pria itu jika saja tak mendengar seorang wanita menyapanya.
“Kamu ada di sini?” Seorang wanita dengan gaun merah begitu elegan menyapa Rinjani dan pria di sampingnya.
Rinjani awalnya tidak mengerti mengapa pria itu tiba-tiba menggandeng tangannya. Namun, saat melihat wanita di depannya ia sadar jika ada hal yang membuat pria itu terpaksa mendekati dirinya.
“Iya, menemani pujaan hati.” Pria itu menoleh ke arah Rinjani dan tersenyum manis.
Rinjani mengerjapkan mata, ia pun paham jika dirinya di perkenalkan sebagai kekasih pria di sampingnya.
“Yang benar saja kamu, Rik, wanita ini terlalu muda untuk kamu,” ucap wanita bergaun merah.
“Umur tidak masalah, kan, Sayang. Yang penting, setia dan bisa mengurus aku. Benarkan, Sayang?”
“I—iya.” Rinjani terpaksa mengatakan hal itu karena pria itu mengencangkan genggaman tangannya hingga membuat Rinjani kesakitan.
Wanita itu terlihat tidak suka, “Semoga kalian langgeng.”
Setelah mengatakan hal itu, wanita itu langsung melangkah bersama pria yang baru saja menghampirinya.
“Aw ....”
Erik Parajadinata memekik kesakitan saat Rinjani menginjak kaki pria itu. Langsung saja Rinjani melepas genggaman pria itu dan menjauh.
“Maksud kamu apa bilang aku pujaan hati kamu. Astaga, aku nggak mungkin punya selera Om-om seperti Anda.”
Erik menatap heran wanita di hadapannya. Ia pun refleks saat melihat Andini—mantan istrinya yang datang bersama dengan kekasih barunya. Pria itu hanya ingin memberitahu jika dirinya sudah move on dari wanita itu. Seketika ia menemukan ide saat Rinjani berada di sampingnya. Ia pikir juga wanita di sampingnya tidak jelek untuk diakui sebagai kekasih.
“Jangan kepedean kamu. Aku hanya refleks saja. Kamu juga bukan selera saya.”
Rinjani mengerucutkan bibir. Namun, ia kembali mengulas senyum saat sebuah ide muncul di kepalanya.
“Om harus bantu saya juga. Berhubung Om bilang saya kekasih Om, sekalian saja saya minta tolong sama Om buat pura-pura jadi pacar saya.”
“Saya, jadi pacar kamu?”
“Pura-pura, Om.”
“Nggak, saya nggak mau.”
“Sebentar saja, cuma memperkenalkan sama kedua orang tua sama kakak saya. Setelah itu anggap aja kita sudah putus.”
“Saya bilang, no.”
Pria itu melangkah meninggalkan Rinjani.
“Om, Tante itu masih ada loh, apa mau aku bilang ke dia kalau Om sebenarnya nggak kenal sama saya. Om Cuma mengaku-ngaku!”
Teriakan Rinjani membuat Erik membulatkan mata dan kembali berbalik badan. Dengan senyum penuh kemenangan, Rinjani yakin pria itu akan kembali menghampirinya.
***
“Kamu mengancam saya?” Erik benar menghampiri Rinjani.Seulas senyum dari wanita berambut keriting gantung itu benar-benar membuat Erik sedikit terpesona. Rinjani memang terlihat cantik natural, walau ia hanya memakai bedak tipis dan tidak mau menggunakan makeup.“Om curang, tadi memperkenalkan saya sebagai pujaan hati pada Tante itu. Masa iya, Om nggak mau bantu saya. Saya sudah bantu, loh.” Rinjani terpaksa meminta Erik untuk berpura-pura.“Kamu gila, apa kata orang tua kamu. Nanti aku dikira pedofil, pacaran sama anak SMA.”“What?” Rinjani terkesiap saat Erik mengira dirinya masih bersekolah. Padahal dirinya sudah berusia dua puluh empat tahun dan kini mengajar di sebuah sekolah swasta menengah ke atas.“Tolong, ya, Om. Saya itu berumur dua puluh empat. Bukan anak kemarin sore. Jadi tolong, jangan bicara tentang saya yang masih di bawah umur.”“Serius, kamu lagi nggak bercanda?”Rinjani tak sabar dengan pria di hadapannya. Ia menarik lengan Erik menghampiri pelaminan sang kakak. De
Tama berdiri di belakang Rinjani. Ia mendengar apa yang dikatakan sang adik. Melihat Rinjani, ia kembali merasa bersalah. Jika ia khilaf, maka ia masih merajut cinta dan menyebut namanya dalam ijab kabul. Namun, semua berantakan akibat kecerobohannya.“Tami, jangan nggak sopan sama Rinjani. Dia lebih tua dari kamu, lagi pula dia guru di sekolah kamu, kan?” Tama membela Rinjani.Tami memasang wajah tidak suka dengan teguran sang kakak. Dia memilih pergi meninggalkan mereka. Rinjani pun memalingkan wajah, bukan berarti ia dibela, dirinya bisa berdamai dengan pria itu.“Jan, maafkan Tami. Dia masih kecil, belum mengerti apa-apa.” Tama mencoba menenangkan Rinjani yang sejak tadi mulai tersulut emosi.“Usianya sudah 17 tahun, sudah dewasa,” ujar Rinjani.Tidak salah apa yang di katakan Rinjani. Walau masih labil, setidaknya Tami bisa lebih sopan dengan mantan calon kakak iparnya.“Bu, Jani permisi dulu, ya.”Rinjani pamit pada mantan ibu mertuanya. Ia tak mau berlama-lama di depan mantan k
Ratna menghampiri Rinjani yang sibuk dengan makanan di tangan. Dia tak terima karena sang adik mengenal Erik. Ratna berpikir bagaimana bisa dia menarik hati bos di kantornya, sedangkan sejak lama ia pun mengincar tak dapat balasan apa pun.“Kamu kenal di mana sama Pak Erik?” tanya Ratna.“Hmm, kasih tahu enggak, ya? Jangan ah, takut di rebut lagi. Aku tahu kalau Kakak itu enggak akan puas dengan apa yang sudah di rebut kakak,” ujar Rinjani.Ratna mengepalkan tangan, ia begitu kesal dengan apa yang di katakan sang adik. Ia berjalan menghampiri Rinjani dan mencengkeram lengannya.“Lepas!”Rinjani melepaskan cengkeramannya, ia pun tak kalah sengit menatap wanita yang merebut kekasihnya.“Kenapa kakak selalu ingin tahu apa yang aku punya, aku sudah ikhlas dengan apa yang telah kakak ambil, buat apa bertanya tentang Erik, hah? Mau tuker tambah, mengembalikan Tama dan meminta Erik?”Ratna hampir saja menampar Rinjani jika sang ayah tak menahan tangannya. Bu Irma pun merelai keduanya. Apalag
Pukul 15.30, Erik terus saja memperhatikan jam di tangan. Begitu pun netranya tak henti menatap layar ponsel. Pria dengan kaus Hitam dan celana jin itu masih terlihat muda di umur yang sudah memasuki 35 tahun. Ia duduk di sebuah restoran sembari menunggu sang anak. Namun, sejak tadi ia mencoba menghubungi dan mengirim pesan pada Bian sang anak, belum juga ada balasan.Erik kembali melihat pesan yang ia kirim pada Bian—sang anak.[Boy, sebagai permintaan maaf, Papa tunggu jam 16.00 di mal Ambas, kita nonton film yang kamu bilang waktu itu. Papa otw langsung dari kantor, jadi ketemuan saja di mal.]Namun, sejak pesan itu terkirim pukul 11.00, sampai detik itu pun Erik belum menerima balasannya. Ia kembali mencoba meneleponnya, tetapi tak ada jawaban. Akhirnya pria itu mencoba menelepon sang adik. Ternyata sang anak ada acara di sekolah.Erik langsung menutup teleponnya. Ia malah berpikir jika sang anak masih marah dan sengaja tidak mau mengangkat atau membalas pesannya. Pada akhirnya ia
Selama di perjalanan mereka tak banyak bicara, apalagi saat percakapan tentang cinta. Rinjani pun tak mau membahas masalah itu dengan Erik. Ratna semakin uring-uringan saat Rinjani datang bersama Erik. Begitu halnya dengan Tama yang sudah sejak awal merasa cemburu dengan kedekatan Rinjani dengan pria baru. Pengantin baru itu masih tinggal di rumah kedua orang tuanya. “Kamu kenapa, sih?” tanya Ratna pada sang suami yang sejak tadi tak tenang. Ratna mulai curiga dengan kehadiran Rinjani bersama Erik. Ia mengendus kecemburuan yang membuat sang suami terus seperti orang galau. “Tama, kamu kenapa kok cuek sama aku?” “Aku lagi malas bicara.” Tama hanya menjawab singkat, selanjutnya ia kembali mengambil ponsel dan memainkannya sembari tiduran tanpa menghiraukan kehadiran Ratna. Sang istri merasa tidak suka saat dirinya diabaikan. “Kamu cemburu sama Rinjani?” Ratna langsung mencecarnya. Tama masih bergeming. Ia tahu jika dirinya menjawab akan sama saja, Ratna tetap saja emosi dalam me
Bel sekolah sudah berbunyi, Rinjani kembali dalam aktivitas mengajarnya. Sebagai guru Akuntansi di sebuah sekolah menengah atas, membuat ia harus terus fokus dalam pekerjaannya. Walau beberapa bulan ia dalam keadaan tidak baik, apalagi saat menghadiri pernikahan mantan kekasihnya.Jam mengajar masih cukup lama, pukul 10.30 ia baru masuk ke kelas XI IPS II. Rinjani masih sibuk mengoreksi nilai anak didiknya. Beberapa kali ia memijit pelipisnya saat melihat sebuah nilai yang kurang memuaskan baginya.“Astaga, anak ini. Sengaja apa memang bodoh?” Rinjani bergumam sendiri sembari mencoreti lembaran tugas.“Bu Jani, ada kelas jam berapa?” tanya Pak Albert—guri olah raga.“Sebentar lagi, Pak.” Rinjani tersenyum sembari memamerkan giginya.Pak Albert masih saja memperhatikan Rinjani. Pria dengan wajah Baby face itu terkenal sebagai guru olah raga paling kece di sekolah itu. Usianya tidak tua juga tidak muda, pedomannya mampu membuat beberapa siswa meleleh saat ia menebarkan senyum.Namun, ba
Setelah menolak ajakan Pak Albert, Rinjani merasa tidak enak. Namun, ia masih trauma dengan sebuah hubungan. Apalagi, mungkin Pak Albert memang menjurus ke arah hubungan lebih lanjut. Rinjani hanya mencoba untuk tidak memberikan harapan palsu. Ia melangkah memasuki ruang kelas XI IPS II. Suara keributan pun kemudian hening.Sudah setengah bulan ini ia menjadi guru tambahan di sebuah sekolah swasta karena bantuan sang dosen di kampus. Nilai baik Rinjani membuat nilai plus dirinya untuk mencari pengalaman sebagai guru sekolah dasar. Walau sebenarnya ia ingin bekerja di kantoran, tetapi tawaran sang dosen untuk menggantikan salah satu guru yang sedang cuti pun ia sanggupi.Melihat kegaduhan ruang kelas setiap hari pun ia merasa geram. Namun, ia berhasil membuat beberapa siswa tenang. Fabian masih sibuk dengan ponsel miliknya walau sejak tadi Rinjani sudah duduk manis di kursi guru.“Anak itu lagi, heran, nggak pernah berubah. Model apa sih orang tuanya, setiap datang, pasti Tantenya atau
Senyum semringah masih terpancar di wajah pria itu dengan sempurna. Memasuki rumah sang ibu, ia lalu mencari anaknya. Sepertinya ia harus berterima kasih karena sang anak tak datang tadi. Dengan kejadian itu, ia bisa kembali bertemu dengan Rinjani.“Duren senyum-senyum lagi kenapa, tuh, Ma?” Meli menyenggol sang ibu yang sibuk mengecek pemasukan dagang online miliknya.“Tanya aja sendiri. Mungkin ketemu jodoh,” jawab sang ibu asal.Erik hanya tersenyum karena tebakan sang ibu benar. Akan tetapi, ia memilih diam dan akan memberitahu jika memang benar mereka berjodoh nanti. Ia memacu langkah menghampiri Bian di kamarnya.Pintu kamar anak laki-laki itu memang tidak pernah di kunci. Erik bisa langsung masuk tanpa harus mengetuk lebih dahulu. Dahinya mengernyit melihat sang anak yang sibuk membaca buku. Tidak seperti biasanya yang setiap saat bermain ponsel.“Lagi ulangan?” tanya Erik.“Nggak, Pa. Lagi bosan aja nggak ada ponsel.” Bian menjawab tanpa menoleh pada sang ayah.“Ponselmu ke ma