Pintu ruangan terbuka perlahan, dan sosok Bianca muncul dengan langkah percaya diri. Gaun satin berwarna merah tua membalut tubuhnya, dengan belahan dada yang terlalu rendah untuk diabaikan. Aroma parfum mewahnya segera memenuhi udara, meninggalkan jejak yang tajam namun menggoda. Bibirnya yang merah menyala membentuk senyuman yang dipaksakan, namun tatapan matanya jelas—ia memiliki tujuan yang tersembunyi.
Kael, yang sedang sibuk menata dokumen di meja kerjanya, hanya melirik sekilas sebelum kembali memfokuskan perhatiannya pada tumpukan kertas di hadapannya. Tidak ada ketertarikan, tidak ada kekaguman, hanya tatapan dingin yang seolah mampu menembus niat di balik setiap gerakan Bianca. "Kael…" panggil Bianca dengan suara yang lembut, hampir mendesah, seakan namanya adalah mantra yang hanya bisa ia ucapkan dengan bisikan. Tanpa mengangkat wajahnya, Kael menjawab datar, "Duduklah." Bianca tersenyum kecil, lalu melangkah anggun menuju kursi di seberang Kael. Dengan gerakan yang disengaja, ia menjatuhkan dirinya perlahan di atas kursi, mencoba menarik perhatian pria di hadapannya. "Terima kasih sudah mengizinkanku bertemu denganmu," ucap Bianca dengan nada yang dibuat-buat ramah. Kael hanya menggumam pendek. "Hmm." Bianca menatapnya lekat-lekat, mencoba membaca ekspresi di wajah Kael yang tak menunjukkan celah sedikit pun. "Kamu begitu unik, yah. Itulah yang membuatku tertarik." Tanpa sedikit pun mengangkat pandangan, Kael menjawab dingin, "Aku tidak membutuhkanmu untuk tertarik padaku." Bianca terkekeh pelan, meskipun sorot matanya memancarkan kekecewaan yang samar. "Haha… Jangan seperti itu, Kael. Aku hanya bercanda." Kael akhirnya mengangkat wajahnya, matanya tajam menatap Bianca. "Apa tujuanmu bertemu denganku? Jika hanya untuk basa-basi, lebih baik kamu pergi sekarang." Bianca terlihat sedikit gelagapan, namun ia dengan cepat menyembunyikan kegelisahannya di balik senyum kecil. "Mm… itu…" Kael mengetuk permukaan meja dengan jarinya, nadanya semakin tegas. "Kuharap kamu mengetahui sesuatu tentang Arlena maka dari itu aku mengijinkanmu masuk.Jika kamu ingin bicara tentang Arlena, katakan sekarang. Jika bukan tentang itu, jangan buang waktuku." Bianca menegakkan punggungnya, lalu menundukkan kepala sedikit. "Ah, tentu saja, Kael. Aku… tahu sesuatu sebelum Arlena kehilangan nyawanya." Mata Kael menyipit, fokusnya sepenuhnya beralih pada Bianca. "Bagus. Kalau begitu cepat ceritakan padaku!" Namun Bianca hanya tersenyum tipis, matanya menatap ke sekitar ruangan. "Tidak semudah itu, Kael. Aku sengaja datang kemari karena ingin bicara berdua saja, di tempat yang lebih aman. Aku khawatir ada yang menguping atau mencari celah untuk memutarbalikkan ucapanku." Kael menatapnya dalam-dalam, seakan menilai setiap kata yang diucapkannya. Setelah beberapa saat hening, ia akhirnya bersuara, "Baiklah. Tapi ada satu syarat jika kita akan bertemu lagi." Bianca memiringkan kepalanya, penasaran. "Syarat? Apa itu?" Kael menunjuk ke arah gaun yang dikenakan Bianca, nadanya tegas dan tak bisa dibantah. "Pakaianmu. Gunakan pakaian yang sopan. Jangan seperti sekarang yang membuatku merasa tidak nyaman." Bianca menunduk sedikit, menatap dadanya yang terbuka lebar, lalu tertawa kecil. "Kael… tidak apa jika kamu tergoda. Aku tahu kamu pria normal, jadi jangan berpura-pura tidak tertarik." Dengan langkah ringan, Bianca berdiri dan mendekati Kael, tangannya terulur, berusaha menyentuh wajahnya. Namun sebelum jarinya sempat menyentuh kulit Kael, pria itu dengan cepat menepis tangan Bianca. "Bukankah sudah kubilang, jangan menyentuhku!" seru Kael dengan nada rendah namun penuh ancaman. Matanya memancarkan kemarahan yang tertahan. Bianca terkejut, tangannya menggantung di udara sejenak sebelum ia menariknya kembali. "Maaf, Kael. Aku hanya… merindukan suamiku. Dan aku merasa…" Kael menyela cepat, nadanya tajam bak pisau. "Kalau kamu merindukan suamimu, pergilah ke makamnya. Bukan datang ke sini dan mencoba merayuku. Itu tidak masuk akal." Bianca menggigit bibirnya, sorot matanya berubah sendu. Namun, di balik itu, masih ada kilatan manipulasi yang tidak bisa disembunyikan. "Aku… aku hanya merasa tidak tahan melihatmu seperti ini. Kamu begitu menawan, Kael. Aku pikir… mungkin aku bisa menghiburmu." Kael menghela napas panjang, kepalanya sedikit tertunduk sebelum kembali menatap Bianca. "Aku tidak butuh penghiburan darimu. Ini masalahku, dan aku akan menyelesaikannya sendiri." Keduanya terdiam dalam ketegangan yang terasa begitu pekat di udara. Bianca akhirnya mundur selangkah, kedua tangannya mengepal di sisi tubuhnya. "Baiklah, Kael. Aku akan memenuhi syaratmu. Jika itu yang membuatmu mau mendengarkanku." Kael hanya mengangguk kecil, pandangannya kembali jatuh pada dokumen di mejanya. "Keluar dari ruangan ini, Bianca. Kita akan bertemu lagi, tapi pastikan kamu datang dengan niat yang jelas dan pakaian yang pantas." Bianca menatapnya sejenak, lalu berbalik dan berjalan menuju pintu dengan langkah yang jauh lebih kaku daripada saat ia datang. Sebelum keluar, ia berhenti di ambang pintu dan menoleh sekali lagi. "Sampai bertemu lagi, Kael." Disamping itu Selena hendak memasuki ruangan dengan membawa nampan berisi kopi seperti yang diperintahkan oleh Kael. Matanya masih terlihat sedikit mengantuk, namun ia berusaha keras untuk tetap fokus. Dengan langkah hati-hati, ia mencoba berjalan menuju Kael. Namun, di saat yang bersamaan, Bianca berbalik hendak keluar dari ruangan. Gerakan cepat Bianca yang penuh percaya diri membuatnya bertabrakan dengan Selena di ambang pintu. "Astaga!" pekik Bianca ketika cangkir kopi dari nampan Selena terguncang dan sebagian isinya tumpah mengenai gaun merah elegannya. "Maaf, saya tidak sengaja…" ucap Selena panik, matanya melebar melihat noda kopi yang sekarang merusak kain mahal di tubuh Bianca. Bianca menatap Selena dengan tajam, wajahnya memerah oleh amarah. "Bodoh! Apa kamu tidak punya mata?! Ini gaun mahal, kamu tahu?!" serunya dengan suara tajam yang menusuk telinga Selena. Kael, yang sejak tadi mengamati dari mejanya, berdiri dengan tatapan tajam ke arah keduanya. "Selena, apa yang kamu lakukan?!" tanyanya dengan nada keras namun tetap terkendali. Selena menggigit bibir bawahnya, merasa bersalah namun juga sedikit terguncang. Namun, ketika matanya bertemu dengan Bianca, ekspresi Selena berubah. Wajah wanita di hadapannya itu seketika membangkitkan kenangan yang sudah lama terkubur. "Bianca…?" gumam Selena pelan, suaranya nyaris bergetar. Bianca yang tengah sibuk membersihkan bajunya dengan sapu tangan mendongak, menatap Selena dengan sorot mata tajam. "Apa?! Kamu masih ingat denganku?" tanyanya dengan nada penuh ejekan. Selena menatap Bianca lekat-lekat, napasnya mulai terasa berat. Wajah itu, senyum sinis itu… semuanya mengingatkannya pada kejadian tragis di masa lalu. "Kamu… kamu… pembunuh…" bisik Selena dengan suara hampir tak terdengar, namun cukup jelas untuk Bianca menangkap maksudnya. Tatapan Bianca mengeras, lalu dia melangkah cepat mendekati Selena, berdiri hanya beberapa inci darinya. "Apa yang baru saja kamu katakan?" suaranya rendah namun penuh ancaman. Selena mundur selangkah, namun keberanian muncul di balik rasa takutnya. "Aku tahu siapa kamu sebenarnya. Kamu bukan wanita baik-baik seperti yang kamu tunjukkan di depan Tuan Kael. Kamu… bertanggung jawab atas kematian suamimu."