"Kalian mau ngapain sih, Mas? Aku boleh ikut enggak? Perasaanku enggak enak kalau kalian ketemuan berdua gitu."
Sambil sarapan, aku mengutarakan isi hatiku pada Mas Jaya. Lelaki gagah yang tampak rapi itu mengulas senyuman. Sambil mengunyah, dia membalas, "Kamu tenang aja, Dek. Mas juga tau siapa dia. Mas enggak akan tanggapi dia."
Tak lama, ponsel di dalam saku Mas Jaya bergetar. Dia menatap layar ponselnya seraya mengernyit. "Baru juga diomongin, dia udah telpon."
"Siapa? Mbak Julia?" Aku langsung paham.
"Iya."
Mas Jaya langsung mengangkat. "Assalamualaikum? Ada apa, Mbak?"
Awalnya aku acuh, tak mau dengar karena kesal duluan. Namun, setelah melihat ekspresi Mas Jaya yang kaget dengan raut tegang.
"Iya, Mbak. Aku ke sana sekarang." Setelah itu dia menutup panggilan. Dia menatapku lalu berkata, "Dek, kamu mau ikut enggak?"
"Ke mana?" Pura-pura tidak tahu saja lah aku.
"Mas Fandi meninggal. Mbak Julia bingung dan minta aku untuk ikut urus pemakaman."
"Innalillahi. Serius, Mas?" Ak