Sebentar lagi akad akan dimulai, tapi calon suamiku mendadak menghilang. Sampai aku tak tenang dan akhirnya mencari keberadaan dia sendirian. Namun, setelah aku mendengar suara aneh di balik dinding dalam gedung ini, aku malah mendapati dia sedang bermesraan dengan .....
Lihat lebih banyak"Jangan, Mas! Nanti ketahuan sama calon istri kamu," lirih seorang wanita yang tak lain adalah sahabatku sendiri. Dia mendorong sedikit dada bidang lelaki yang harusnya kini duduk di depan penghulu bersamaku.
"Dia tidak akan tau. Sudahlah, ikuti saja apa yang kumau! Lagi pula, dia tidak akan ke sini. Bahkan, dia tidak akan berani membantah setiap ucapanku," balas seorang pria berjas hitam lengkap dengan bunga mawar di bagian sakunya. Dadaku perih melihat dua orang yang tengah bersembunyi di balik dinding dalam gedung ini. Teganya mereka bermain api di belakangku, di saat akad sebentar lagi akan berlangsung. Air mata sudah menganak sungai, gaun pengantin menjuntai ingin segera kulepas dan pergi saja dari sini. Namun, sayangnya aku teringat dengan kedua orang tuaku yang sudah pasti panik di dalam sana karena aku tak kunjung kembali. "Jadi, kamu akan tetap menikahi dia?" tanya April, gadis itu membelai wajah Mas Revan, lelaki yang tadi alasan ingin ke toilet. Tapi, kenyataannya malah menemui wanita itu. Aku sekarang tidak akan pernah percaya lagi arti sebuah persahabatan. Kuhapus air mata yang menghiasi wajah ini, lalu berniat menghampiri mereka. Tak peduli pernikahan ini bakal kacau sekalipun. "Aku akan menikahi dia. Tapi, aku akan tetap menikahimu, Sayang. Sebelum tujuanku terlaksana, aku masih akan menjadi lelaki baik-baik di mata Nisa," balas Mas Revan dengan yakinnya. Aku tak tahan lagi melihat kemesraan mereka berdua. Gaun panjang yang membuatku kesusahan melangkah, hampir saja terjatuh, lantas kuangkat agar bisa jalan. Setelah sampai di dekat mereka, aku langsung melayangkan tanganku dan mengenai pipi lelaki itu. Satu t4mparan keras pun membuat kulit wajahnya memerah. "Nisa! Apa-apaan kamu?" bentak lelaki itu. Matanya melotot ke arahku. Aku hanya menyeringai puas karena sudah menamparnya. "Ternyata kalian seperti ini di belakangku?" "Nisa, ini tidak seperti yang kamu kira," lanjut Mas Revan. Dan aku, sudah mu4k dengan ucapan-ucapan manis yang keluar dari mulut lelaki berkumis tipis itu. "Iya, Nisa, ini tidak seperti yang kamu bayangkan. Aku dan Revan cuman ...." Ingin sekali aku menampar wajah April juga. Namun, aku masih bisa menahannya karena berbelas kasih pada gadis yang sudah lama menjadi teman curhatku itu. "Nisa, aku bisa jelaskan ini. Kita sebentar lagi akan menikah. Ayo, kita kembali!" Revan menarik tanganku. Tapi, aku langsung menghempaskannya. "Jangan harap aku akan menikah denganmu!" balasku dengan lantang. Lalu memutar badan dan segera pergi meninggalkan dua orang yang membuat hatiku hancur di hari pernikahanku ini. Aku berlari dengan air mata yang tak bisa berhenti mengalir. Sampai di belokan, malah terjatuh dan rasanya kakiku terkilir. Aku meringis karena kesakitan sambil memijat bagian yang sakit. Sudah berusaha berdiri, tetapi tetap saja kesusahan. Pada akhirnya, aku menyerah lalu menyandarkan badan pada dinding bercat putih ini. "Kamu enggak apa-apa?" Sebuah pertanyaan datang dari sampingku duduk. "Loh, Nisa? Kamu ngapain di sini?" Salah satu pintu kamar dalam gedung ini terbuka, muncul seorang lelaki dengan kedua alis terangkat menatapku. Karena mendengar suara teriakan Mas Revan, aku pun langsung meminta lelaki itu untuk membantuku berdiri. "Bang, tolong aku, Bang! Bantu aku berdiri!" pintaku dengan kedua tangan memohon padanya. "Ya udah aku bantu," balasnya lalu menarik kedua tanganku. Namun, kedua mata lelaki itu malah makin melebar tatkala aku meminta masuk ke dalam kamar lelaki berseragam pilot itu dengan paksa. Dia seperti tak percaya saat aku langsung menutup pintu kamarnya dengan napas tersengal-sengal. Kami sama-sama mendengar suara teriakan Mas Revan di luar memanggil namaku. Kuminta lelaki di hadapanku itu untuk menutup mulutnya. Setelah kurasa keadaan aman, aku pun baru menjelaskan apa yang sudah terjadi. Mulai dari melihat calon suami dan sahabatku berkhianat, lalu meminta pertolongan sembunyi di kamar lelaki ini. "Ya udah, sekarang kamu duduk aja di sana! Aku periksa kaki kamu dulu," ucap lelaki yang merupakan tetanggaku itu. Dia membantuku duduk di tepi r4njang. Lalu dia memeriksa kakiku yang sudah berada di atas tempat tidurnya. "Kaki kamu ...." Belum sempat dia melanjutkan ucapannya, tiba-tiba pintu kamar didobrak dari luar. Ada banyak orang melihatku dan Bang Juna di atas r4njang yang sama. Padahal, keadaan tidak seperti yang mereka tuduhkan. Papa, mama, keluarga besar melihat ini semua. Dan sudah pasti, mereka pasti akan salah paham. "Juna! Kamu apakan anakku?" teriak papa dan langsung melayangkan tinjunya pada wajah Bang Juned. "Bukan, Pak!" Lelaki bertubuh tinggi tegap itu tidak melawan. Dia hanya mundur dan terus mencoba menghindar setiap pukulan tangan papa. Kedua tangannya mencoba menangkis tapi, tetap saja kena. "Papa! Jangan! Bang Juned cuman nolongin Nisa," teriakku agar papa menghentikan amarahnya. Akan tetapi, semua itu tampak percuma saja. Papa terus terbak4r emosi dan menyerang Bang Juned. "Halah! Aku liat sendiri kamu bersama laki-laki itu masuk ke kamar. Kalian ada apa-apa, kan? Sebelum aku menikahimu, kamu mau kasih dia jatah, kan?" tuding Mas Revan. Lelaki itu malah memperkeruh suasana di dalam kamar hotel ini. Sontak mataku pun terbelalak. "Enggak, Pah, Mah. Mas Revan itu bohong! Dia sebenarnya yang main api di belakang Nisa. Dia yang sudah ...." Papa menahan emosi sambil memegangi dadanya. Lalu mama memegangi papa yang hendak terjatuh. Sementara aku, tidak bisa apa-apa selain duduk saja menatap mereka semua karena kakiku tidak bisa digerakkan. "Papa kecewa sama kamu, Nisa. Pernikahan kamu tinggal beberapa menit lagi. Tapi kamu malah ...." Papa terlihat sangat sedih. Bahkan kopiah hitam yang tadi menutupi kepalanya pun kini ia banting di depan kami semua. Mama pun juga terlihat sedih. Sanak saudara terlihat membicarakanku. Mereka saling berbisik karena memergokiku dengan Bang Juna di kamar hotel. Kulihat Bang Juna sibuk mengusap sudut bibirnya yang berdarah. "Papa enggak mau tau, Nisa. Demi menutupi aib ini, kebih baik kamu nikahnya sama Juna saja! Jangan-jangan kamu juga sudah hamil!" Papa mengusap wajahnya yang basah oleh air mata. Aku mendelik mendengar ucapan papa. "Pah! Nisa enggak pernah melakukan apa pun sama Bang Juned! Iya kan, Bang?" Aku beralih pada lelaki yang kini berada di sudut ruangan itu. "Benar, Pak. Saya dan Nisa tidak ...." "Sudah! Saya kecewa sama kamu, Juna! Saya kira kamu tetangga yang baik. Ternyata malah merusak anak gadis saya. Sudah! Nikahi Nisa sekarang!" Kenapa malah jadi begini? Kutatap penuh kebencian pada Mas Revan. Kupastikan lelaki itu tidak akan pernah hidup tenang setelah ini. Dia sudah menghancurkan masa depanku! *** Karena hanya beberapa orang yang melihat adegan di kamar tadi, akhirnya mempelai laki-laki digantikan oleh seorang pilot berpangkat bar 4. Akad pun dimulai dan aku menerima sejumlah uang yang tak seberapa nilainya dari mahar yang Mas Revan akan berikan tadinya. "Saya terima nikah dan kawinnya Annisa Humaira binti Dimas Irawan dengan mas kawin dua ratus ribu rupiah, dibayar tunai," ucap Bang Juned sambil meringis, menahan sakit wajahnya yang tampak membiru. "Bagaimana para saksi, sah?" tanya penghulu. "Sah." "Sah." "Alhamdulillah," ucap mereka serentak. Hari yang seharusnya menjadi hari bahagia, kini berubah menjadi hari sekaligus mimpi buruk bagiku. Dengan kakunya, aku menerima uluran tangan Bang Juna. Lalu menciumnya. "Nisa, Papa sama mama sudah tidak mau tau lagi. Acara nikahan ini akan segera bubar. Ikut kamu sama suamimu itu! Jangan pernah pulang lagi ke rumah tanpa izin dari dia!" ucap papa dengan nada menyesakkan batin. "Pah, tapi Nisa enggak seperti itu. Dengarkan penjelasan Nisa dulu," balasku saat papa dan mama hendak pergi. "Sudahlah, Nisa! Ikuti apa kata papa kamu! Tinggallah bersama suami kamu, Nak! Biarkan papa istirahat dulu," imbuh mama sambil memegangi lengan papa. Setelah mereka pergi, kini datang Mas Revan bersama April. Mereka tersenyum miring. "Maaf, Nisa, aku tidak bisa menikahi gadis yang sudah menyerahkan kesuciannya pada lelaki lain." Lalu mereka langsung pergi. Ingin sekali kubungkam mulut mereka dengan heels yang kupakai. Namun, Bang Juned mencegah. Dia menahan langkahku. "Bang, biarkan aku memberi mereka pelajaran!" "Sudahlah, Nisa! Sekarang kamu harus ikut aku!" balasnya dan seketika membuat mataku terbelalak."Aku enggak nyangka, masa anak baru umur berapa bulan, udah positif lagi." Humaira mengeluh. "Hem, gimana lagi, Sayang. Udah terlanjur juga. Kamu gimana? Masih kuat, kan? Masih muda juga." Aku tertawa saat Humaira mencubit perutku. Kami duduk di kursi ayunan samping rumah sambil menimang balita kecil itu. "Mas Jaya," panggil kekasihku itu. Aku sangat mencintainya. "Ada apa, Sayang?" Kubelai rambutnya yang tergerai panjang. Kebetulan area sini masih private, tak ada yang boleh masuk setelah kukunci pintu samping. Tukang kebun yang ingin merawat tanaman pun kuminta nanti saja. Sampai istriku puas menikmati waktu berdua denganku dan anak kami. "Mas. Mas sayang enggak sama aku?""Kamu beneran nanya ini sama aku? Kenapa, Sayang? Apa kamu masih ragu?" Aku kaget dia tanya seperti itu. Padahal, aku sangat mencintainya."Aku dengar, perempuan kalau sudah melahirkan, sudah enggak cantik lagi. Suaminya pasti udah enggak berselera lagi.""Eh, kata siapa? Aku enggak gitu. Kamu percaya
Pagi ini aku sangat sibuk dengan kerjaan kantor. Bolak-balik meninggalkan Humaira yang perutnya sudah membesar, rasanya hatiku tak tenang. Dia adalah belahan jiwaku yang di mana, rasa sakit atau apa pun yang menimpanya, aku pasti juga merasakannya. Seperti sekarang ini. Tiba-tiba perutku tak enak saat sedang meeting jam dua siang. Tiba-tiba pula aku ingat perkataanku saat itu kalau andai aku bisa ikut mengurasi rasa sakit melahirkan istriku, aku siap. Tapi, beberapa hari ini rasa sakit aneh ini mulai merajai. Keringat dingin keluar melalui pori-pori saat aku sedang presentasi di depan klien dan atasan. Sampai aku dibilang gerogi juga. Padahal sedang menahan mulas. "Kamu enggak apa-apa, Jay?" tanya atasanku saat kami selesai pertemuan di sebuah gedung. "Enggak, Pak. Aman." Sebisa mungkin aku mengulas senyuman. "Pucet banget mukamu. Sakit? Atau masih ada efek gerogi? Tumben banget kamu," lanjut pria paruh baya dengan setelan jas hitam itu. "Enggak apa-apa, Pak. Saya cuman khawatir
"Enak makanannya?" tanyaku saat Humaira menikmati setiap suapan. Dia hanya mengangguk, tapi terus melahap setiap sendok makanan ke mulutnya. Malam itu, tepatnya setelah dua bulan kami tak melihat Mbak Julia datang ke rumah lagi. Hidup kami serasa di dalam surga dunia. Setiap waktu sangat berharga bagiku. Apalagi, dia sangat ingin dimanja setiap saat. "Habis ini jalan ke mana, Dek?" "Aku udah kenyang. Tapi, baiknya jangan langsung pulang," balasnya sangat menohok. Pasti ada udang di balik batu. "Uhuk." Aku hampir saja menyembur karena tersedak. "Pelan-pelan, Mas!" Dia meraih tisu, lalu mengusap bibirku. "Habisnya, kamu lucu. Masih mau jalan? Mau nyari apa?""Enggak. Cuman kan habis makan, jangan duduk aja. Jalan-jalan lagi, kata orang."Aku menahan tawa. "Pengen apa, sih? Bilang aja! Mas jabaning, kok.""Beneran?" Kedua matanya berbinar-binar. "Tuh, kan, pasti pengen sesuatu. Mau apa?" "Aku mau ... ngasih Mas ini." Dia menyodorkan kotak persegi yang ukurannya sebesar kotak nasi
Aku memeluk raga yang dingin malam itu. Dia memunggungiku karena curiga. Tak masalah dia curiga, dan memang pantas dia seperti itu karena selama ini, aku belum bisa sepenuhnya jujur. Aku tidak tega dengan Mbak Julia, karena dia yang selama ini merawat kakak kandungku yang kelakuannya seperti itu. Ingin mengabaikan, tapi selalu merasa bersalah. Takut memutuskan silaturahmi. Tadi dia menelponku karena ingin tinggal di sini. Memaksa agar aku mengizinkan dia satu atap denganku dan Mai. Tapi, aku menolaknya. Tidak masalah kalau setiap bulan aku kirim uang padanya. Asalkan di tidak meminta tinggal di sini. Namun, yang ada malah Mai yang curiga. Dia pasti mikir yang enggak-enggak. Lagipula, ini memang tugasku juga meyakinkan dia kalau aku hanya mencintai dia. "Dek ....""Hem." Dia masih menjawab meskipun dingin. "Mas minta maaf, ya.""Bukan hari lebaran."Aku ingin tertawa rasanya. "Mas tadi ditelpon Mbak Julia. Mas jujur, loh. Jangan marah dulu.""Males.""Dengerin, Dek. Mas nolak dia,
"Kalian mau ngapain sih, Mas? Aku boleh ikut enggak? Perasaanku enggak enak kalau kalian ketemuan berdua gitu."Sambil sarapan, aku mengutarakan isi hatiku pada Mas Jaya. Lelaki gagah yang tampak rapi itu mengulas senyuman. Sambil mengunyah, dia membalas, "Kamu tenang aja, Dek. Mas juga tau siapa dia. Mas enggak akan tanggapi dia."Tak lama, ponsel di dalam saku Mas Jaya bergetar. Dia menatap layar ponselnya seraya mengernyit. "Baru juga diomongin, dia udah telpon.""Siapa? Mbak Julia?" Aku langsung paham. "Iya." Mas Jaya langsung mengangkat. "Assalamualaikum? Ada apa, Mbak?"Awalnya aku acuh, tak mau dengar karena kesal duluan. Namun, setelah melihat ekspresi Mas Jaya yang kaget dengan raut tegang. "Iya, Mbak. Aku ke sana sekarang." Setelah itu dia menutup panggilan. Dia menatapku lalu berkata, "Dek, kamu mau ikut enggak?""Ke mana?" Pura-pura tidak tahu saja lah aku. "Mas Fandi meninggal. Mbak Julia bingung dan minta aku untuk ikut urus pemakaman.""Innalillahi. Serius, Mas?" Ak
"Maaf ya, Mas." Aku membuka pintu dengan wajah menunduk. Mas Jaya tersenyum membalasnya. "Enggak apa-apa. Lagian, masih banyak waktu juga. Oh ya, kita istirahat aja, ya. Aku tau, kamu pasti capek."Lelaki itu menarik tanganku dan mengajaknya ke atas tempat tidur. Dia mengangkat kakiku lalu menutupinya dengan selimut. Pintu dia kunci, lalu lampu utama dia matikan. Seperti tidak ada apa-apa. Dadaku masih berdebar-debar saat dia mulai naik ke atas tempat tidur. Aroma wangi dari parfumnya membuatku gugup. "Dek."Aku mendelik sambil menelan ludah. "Iya, Mas?""Kamu enggak mau peluk aku?" Dia mengulas senyuman. Tatapannya masih ke atas, pada langit-langit kamar setelan merebahkan diri. "Aku ... aku ...." Kenapa harus tanya, sih. Udah pasti mau lah. Tapi aku malu kalau diminta duluan. Masa laki-laki tidak paham begituan. Ya harusnya dia lah yang mulai. "Kalau enggak mau, juga enggak apa-apa. Aku tidak memaksa." Lah, malah ngambek dia. "Bukan itu." Aku bingung jadinya. Apa dia tidak paha
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen