Pintu rumah terbuka, dan Mas Afnan melangkah masuk. Wajahnya masih menyimpan sisa tegang dari percakapan telepon tadi. Begitu matanya menangkap sosokku yang berdiri menunggunya di ruang tamu, aku buru-buru memaksakan senyum. Meski hatiku masih bergetar, aku mencoba menenangkan diriku. Aku melangkah mendekat, menunduk, lalu dengan takzim mencium punggung tangannya. Tangannya hangat, sedikit bergetar, dan genggaman balasnya begitu erat seolah dia sedang mencari sandaran.
Mas Afnan menatapku penuh sayang, meski di balik matanya aku tahu ada kegelisahan yang ia sembunyikan. “Mama sama Sarah masih belum ada kabar, Saf?”
“Belum, Mas. Sejak pagi nggak ada yang pulang, nggak ada juga yang nelpon atau ngabarin.”
Mas Afnan menghela nafas panjang dan meletakkan tas kerjanya di sofa. “Sebenarnya mereka ke mana ya? Kalau Papa sama Azzam ‘kan memang lagi ada pekerjaan di luar kota. Tapi Mama dan Sarah, tumben begini. Biasanya paling nggak M