"Jeanna ... Jeanna!" teriak Jovan memanggil namaku.
Aku segera turun ke bawah, kini aku dan Jovan bertemu dan terpaku saling tatap. Aku ingin sekali memeluk Jovan, tetapi aku masih merasa kesal, marah dan benci padanya, sebab sudah berbulan-bulan Jovan tidak mpulang, bahkan belum sempat menggendong bayi kami.
"Kau masih ingat pulang, Jo?" tanyaku lirih.
"Sudah jangan banyak bicara, ayo kita pergi dari sini. Susun bajumu dan baju anak kita, cepat!"
"Anak kita? Kau masih ingat kalau kau punya anak?" ucapku kesal.
"Sudah jangan banyak bicara, itu nanti aja kita bahas, aku tidak punya banyak waktu," sahut Jovan.
Aku melihat Jovan berjalan menuju kamar Bibi. Sementara aku masih bingung dengan situasi aneh ini.
Tidak lama kemudian Jovan menghampiri aku di kamar.
"Sudah, jangan terlalu banyak bawa baju. Ayo kita pergi!" ucap Jovan sambil menarik tanganku.
Aku hentakkan tangang Jovan, "Tunggu Jo, kita mau kemana malam-m