Gendhis tidak menolak, ia biarkan Rai memagut lembut bibirnya, menuntaskan rasa. Seakan seluruh beban di dadanya siap meledak saat itu juga, Gendhis berpasrah. Apalagi saat Rai dengan hati-hati membopong tubuhnya dan membaringkannya di ranjang. Mereka berpandangan sejenak, cinta itu masih menyala, tersimpan dalam sorot mata yang mengungkap segalanya meski tanpa terwakili kata.
"Aku cinta sama kamu, Ndhis," ungkap Rai gentle sekali. "Nggak peduli apapun kondisimu. Aku begini karena aku nggak mau nyesel untuk kedua kali," sebutnya yakin.
Gendhis membasahi bibirnya beberapa kali, ia pandangi lekat wajah tampan yang tubuhnya berbaring menindihnya ini. Dirabanya pipi dengan rahang tajam milik Rai, bagaimana ini? Bolehkah ia terlena oleh cinta lama yang masih membara sedemikian besarnya? Bisakah Gendhis menepis segala kekhawatiran akan dunia dan masa bodoh saja? Mampukah Gendhis melenyapkan segenap ketakutan yang selama ini ditanggungnya?
"Apa boleh aku juga bilang perasaanku, Rai?" tanya