Bab 2 – Dinginnya Hati, Hangatnya Langkah
Hari-hari pertama Sophie di Ward Corporation berlalu dengan cepat, namun tak sedikit pun ia merasa bisa menyesuaikan diri sepenuhnya. Setiap kali bertemu Adrian, sikap dinginnya yang penuh misteri terus mengguncang perasaan Sophie. Meskipun mereka hanya berbicara tentang pekerjaan, jadwal rapat, pengaturan dokumen, atau soal telepon yang perlu diurus—ada sebuah ketegangan yang tak terucapkan di antara mereka.
Pagi ini, Sophie masuk lebih awal dari biasanya. Ia ingin memastikan semuanya terorganisasi dengan baik sebelum Adrian tiba di kantor. Suara klakson mobil dan keramaian kota sudah mulai mengalun di luar gedung, sementara Sophie mempersiapkan secangkir kopi panas di pantry kecil dekat ruangannya. Ketika ia kembali ke mejanya, ia mendengar langkah kaki yang mendekat—langkah yang sudah sangat familiar.
Adrian Ward. Tentu saja, siapa lagi yang akan datang lebih awal selain dia?
Sophie menahan napas, mencoba tetap tenang, dan melanjutkan pekerjaannya di depan komputer. Ia tahu bahwa hari ini mungkin tidak berbeda dari sebelumnya, tetapi ada sesuatu yang membuatnya ingin mencoba berbicara lebih banyak dengan Adrian. Sesuatu yang mendalam, yang tak bisa dijelaskan hanya lewat rutinitas kerja.
Ketika Adrian masuk ke ruangannya, ia tidak langsung menyapa. Hanya ada anggukan singkat sebagai salam, lalu ia duduk di kursinya. Sophie menyadari bahwa hari ini mungkin sedikit berbeda. Ada ketegangan yang lebih terasa di udara, seakan-akan sesuatu sedang menghangat di antara mereka meski tak ada yang mengatakannya.
“Pak Adrian,” suara Sophie pecah, mencoba meresapi keberanian yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. “Ada hal lain yang bisa saya bantu hari ini selain jadwal rutin?”
Adrian menatapnya. Mata tajamnya seolah menilai apakah pertanyaan Sophie tulus atau hanya formalitas belaka. Namun, untuk pertama kalinya, ada sedikit kelembutan di wajahnya—sesuatu yang tidak biasa.
“Kamu bisa atur rapat dengan klien dari Jakarta. Mereka akan datang siang ini,” jawab Adrian singkat. Suaranya masih tetap datar, tapi tidak sekeras biasanya.
Sophie mengangguk, mencatat instruksi tersebut dengan cepat. Ada sesuatu yang berbeda kali ini. Sebuah ketulusan samar yang tak bisa diabaikan.
Namun, sebelum ia bisa menyelesaikan pekerjaannya, Adrian berbicara lagi. Kali ini suaranya sedikit lebih rendah, seolah sedang berusaha berbagi sesuatu yang jarang keluar dari bibirnya.
“Terima kasih, Sophie. Kamu cukup cekatan.”
Pujian yang terucap dari mulut Adrian membuat Sophie terkejut. Seperti tersambar petir, kata-kata itu mengalir lembut ke dalam hatinya. Sebuah pujian dari Adrian Ward—sang CEO yang selama ini terkenal tak pernah mengungkapkan kekaguman atau apresiasi kepada siapa pun.
“Terima kasih, Pak,” jawab Sophie dengan suara pelan, berusaha menyembunyikan rasa gugup yang mulai merayapi dirinya.
Pujian itu datang begitu mendalam, meskipun ia tahu itu hanya sebuah pengakuan kecil dari seorang bos terhadap bawahannya. Tapi bagi Sophie, itu lebih dari sekadar kata-kata biasa.
Hari itu berlalu begitu cepat. Sophie sibuk mengatur jadwal rapat, mempersiapkan dokumen, dan menerima telepon dari klien yang datang. Namun, di tengah semua itu, ada sebuah perasaan yang terus berputar di dalam hati Sophie—perasaan ingin tahu yang semakin besar terhadap Adrian. Apa yang sebenarnya tersembunyi di balik sikap dingin dan tak terjangkaunya itu?
Siang hari, saat rapat berlangsung, Sophie berdiri di sudut ruangan, mengamati Adrian yang duduk dengan tenang di hadapan klien. Ia melihat bagaimana pria itu dengan mudah mengendalikan percakapan, merespons pertanyaan dengan kepintaran yang tajam, namun tetap memancarkan aura yang tak terjangkau. Tidak ada yang bisa menembus tembok yang dibangun Adrian di sekeliling dirinya. Atau setidaknya, itulah yang ia pikirkan.
Namun, saat rapat berakhir dan para klien meninggalkan ruangannya, Adrian tiba-tiba berbalik dan menatap Sophie dengan serius.
“Apakah kamu punya waktu sebentar?” tanya Adrian, kali ini dengan nada yang lebih pribadi.
Sophie terkejut, tetapi ia mengangguk tanpa berpikir panjang. “Tentu, Pak Adrian. Ada yang bisa saya bantu?”
Adrian memandangnya sejenak sebelum berdiri dan berjalan menuju jendela besar yang menghadap ke kota. Dia tampak seolah sedang merenung, seolah berbicara pada dirinya sendiri. Sophie tetap berdiri di tempatnya, sedikit bingung.
“Sophie,” kata Adrian setelah beberapa detik keheningan, “ini tidak mudah bagi saya, tapi saya ingin kamu tahu... saya menghargai kerja kerasmu. Kamu bukan hanya sekadar sekretaris.”
Kata-kata itu, meskipun terucap dengan nada yang masih agak kaku, terdengar seperti sebuah pengakuan yang sangat berarti. Sophie merasa seolah dunia berhenti sejenak, menunggu reaksinya.
“Tak perlu berkata begitu, Pak Adrian. Saya hanya menjalankan tugas sebaik mungkin,” jawab Sophie dengan senyum kecil, meskipun hatinya berdebar-debar.
Adrian menatapnya dengan intens, lalu akhirnya mengangguk. Mungkin ia sedang menilai apakah kata-kata Sophie benar-benar tulus.
“Jaga dirimu,” katanya singkat, sebelum kembali duduk di kursinya.
Sophie berjalan keluar dari ruangannya dengan hati yang berdebar. Ada sesuatu yang berubah. Sesuatu yang lebih dari sekadar hubungan antara bos dan sekretaris.
Adrian Ward, yang selama ini dikenal sebagai sosok yang dingin dan tak terjangkau, mungkin mulai membuka sedikit pintu hatinya. Dan Sophie, meskipun ia tak tahu apa yang akan terjadi, merasa bahwa kisah mereka baru saja dimulai.
---
Di luar sana, dunia terus berputar. Tetapi di dalam kantor itu, langkah-langkah kecil yang penuh makna mulai mengarah pada sesuatu yang lebih besar—sesuatu yang tersembunyi di balik sikap dingin sang CEO yang tak pernah bisa benar-benar ia ungkapkan.