Bab 2 – Dinginnya Hati, Hangatnya LangkahHari-hari pertama Sophie di Ward Corporation berlalu dengan cepat, namun tak sedikit pun ia merasa bisa menyesuaikan diri sepenuhnya. Setiap kali bertemu Adrian, sikap dinginnya yang penuh misteri terus mengguncang perasaan Sophie. Meskipun mereka hanya berbicara tentang pekerjaan, jadwal rapat, pengaturan dokumen, atau soal telepon yang perlu diurus—ada sebuah ketegangan yang tak terucapkan di antara mereka.Pagi ini, Sophie masuk lebih awal dari biasanya. Ia ingin memastikan semuanya terorganisasi dengan baik sebelum Adrian tiba di kantor. Suara klakson mobil dan keramaian kota sudah mulai mengalun di luar gedung, sementara Sophie mempersiapkan secangkir kopi panas di pantry kecil dekat ruangannya. Ketika ia kembali ke mejanya, ia mendengar langkah kaki yang mendekat—langkah yang sudah sangat familiar.Adrian Ward. Tentu saja, siapa lagi yang akan datang lebih awal selain dia?Sophie menahan napas, mencoba tetap tenang, dan melanjutkan peker
Bab 3: Di Antara Rahasia dan PerasaanBeberapa minggu berlalu sejak hari pertama Sophie bekerja di Ward Corporation. Meskipun ia merasa mulai terbiasa dengan rutinitasnya, ada satu hal yang terus menghantuinya—perasaan yang semakin kuat terhadap Adrian Ward. Semakin sering mereka bertemu, semakin banyak pula ia menemukan sisi-sisi kecil dari sang CEO yang jarang terungkap pada orang lain.Meskipun tetap dingin dan tertutup, Adrian seolah memiliki cara untuk membuat Sophie merasa spesial, walaupun tak pernah diucapkan secara terang-terangan.Pagi ini, seperti biasa, Sophie tiba lebih awal dari yang lain. Ia tahu bahwa Adrian akan datang tepat waktu, dan ia ingin memastikan segalanya siap. Namun, hari ini ada yang berbeda. Pada rapat yang dijadwalkan siang nanti, Adrian sudah meminta Sophie untuk mempersiapkan presentasi penting—sesuatu yang cukup jarang terjadi. Biasanya, ia hanya diberi tugas administratif, tetapi kali ini ada sesuatu yang mengarah pada tanggung jawab yang lebih besar
Bab 4: Getaran yang Tak Bisa DijelaskanSuasana kantor mulai lengang saat jam menunjukkan pukul lima sore. Beberapa karyawan mulai berkemas, ada yang masih duduk menyelesaikan pekerjaan, tetapi kebanyakan sudah menghela napas lega, bersiap menyambut kebebasan usai jam kerja.Sophie masih duduk di balik mejanya, jemarinya menari di atas keyboard laptop, menyelesaikan laporan keuangan mingguan yang harus masuk malam ini. Namun, bukan angka-angka yang memenuhi pikirannya. Sejak pagi, pikirannya sudah tidak sinkron dengan tubuhnya. Semua bermula dari ucapan Adrian kemarin sore di ruangannya.“Lebih dari sekadar sekretaris.”Kalimat itu berulang kali terngiang di kepalanya, seperti gema yang menolak reda. Ia berusaha menepisnya, menyibukkan diri dengan pekerjaan, bahkan mengganti playlist Spotify-nya ke lagu-lagu rock agar tidak terlalu larut dalam pikiran, tetapi tetap saja bayangan Adrian datang seperti siluet yang enggan pergi.Apalagi pagi tadi, pria itu muncul dengan memegang kopi han
Bab 5: Rahasia di Balik Tatapan DinginHari-hari setelah pertemuan di rooftop berubah menjadi teka-teki baru bagi Sophie. Tatapan Adrian kini berbeda. Tak lagi sekadar menilai atau memberi perintah—ada kelembutan tersembunyi di sana, seolah ia berbicara tanpa suara. Namun, kedekatan mereka tak sepenuhnya bebas. Mereka masih berada dalam ruang lingkup profesional, terikat etika kantor, dan kerumitan perasaan yang masih samar.Pagi itu, Sophie tiba di kantor lebih awal dari biasanya. Ia ingin menyelesaikan laporan presentasi untuk dewan direksi, tapi juga ada rasa tak sabar untuk sekadar melihat Adrian lagi—meski hanya sekilas, dari balik kaca ruangannya.Namun, suasana kantor hari ini tampak berbeda. Ada bisik-bisik di antara karyawan, dan suasana terasa agak tegang. Beberapa staf terlihat membicarakan sesuatu dengan ekspresi serius.Sophie melirik ke arah ruang rapat kecil di ujung koridor. Terdapat dua orang pria berjas yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Mereka membawa berkas teb
Bab 6: Di Antara Sorotan dan RahasiaSuasana kantor berubah drastis dalam waktu kurang dari tiga hari. Media mulai mencium aroma skandal yang menguar dari balik dinding kaca gedung megah tempat Adrian memimpin. Sebuah artikel anonim muncul di salah satu portal berita finansial, menyebutkan "seorang CEO muda dari perusahaan teknologi ternama" yang menyembunyikan masa lalu kelam di Eropa. Meski nama Adrian tidak disebutkan langsung, deskripsi dalam artikel itu terlalu rinci untuk dianggap kebetulan.Sophie membacanya di ruang pantry, jantungnya berdetak dua kali lebih cepat. Kata demi kata seperti pisau yang mengiris bayangan sempurna yang selama ini berusaha Adrian bangun."Kalau berita ini benar, bisa jadi perusahaan kita bakal jatuh," gumam Rina, salah satu staf keuangan."Gila ya... masa lalu kayak gitu bisa keangkat lagi," sahut Leo, staf marketing.Sophie menutup peramban di ponselnya, berusaha menenangkan diri. Ia tahu ini bukan saatnya panik. Namun, dalam hatinya, ada kecemasan
Bab 7 - Paris, Rahasia, dan Sebuah PelukanSophie menatap boarding pass di tangannya dengan detak jantung tak menentu. Paris. Kota yang hanya pernah ia lihat dari layar laptop dan mimpi-mimpinya yang paling liar. Tapi sekarang, ia akan terbang ke sana—bukan sebagai turis, melainkan sebagai satu-satunya orang yang dipercaya Adrian untuk menemani perjalanan menghadapi masa lalu.Bandara Soekarno-Hatta malam itu terasa lebih sibuk dari biasanya. Adrian muncul dengan setelan kasual serba hitam, tanpa pengawalan. Ia terlihat berbeda—lebih tenang, tapi juga lebih rapuh. Ia menatap Sophie dari kejauhan, lalu mengangguk pelan. Sophie membalas dengan langkah mantap, walau dalam hatinya ada gejolak yang tak bisa ia redam."Siap?" tanya Adrian singkat."Siap," jawab Sophie, meski kakinya terasa gemetar.Mereka duduk berdampingan di business class, tetapi tak banyak bicara. Hanya sesekali saling menatap, saling memahami bahwa tak semua rasa perlu dijelaskan dengan kata-kata.---Paris menyambut m
Bab 8: Cinta di Antara Rahasia Pagi itu, suasana kantor terasa lebih berisik daripada biasanya. Bukan karena tumpukan pekerjaan yang mendadak membanjir atau tenggat waktu yang mepet, melainkan karena satu topik hangat yang beredar dari satu meja ke meja lain, seperti kabut tipis yang perlahan menyelimuti seluruh ruangan. Sophie pura-pura sibuk di depan laptopnya, mengetik laporan bulanan yang sebenarnya sudah rampung sejak semalam. Jari-jarinya menari di atas keyboard, tetapi pikirannya melayang entah ke mana. Setiap bisikan kecil yang terdengar dari sekelilingnya, setiap lirikan yang sekilas diarahkan kepadanya, membuat jantungnya berdegup lebih cepat daripada biasanya. "Eh, kamu lihat enggak? Pak Adrian tadi ngelirik Mbak Sophie," bisik salah satu staf di dekat mesin fotokopi, suaranya tertahan-tahan, seolah sedang membocorkan rahasia negara. "Halah, biasa saja. Kan bos sama sekretaris, ya wajar ngobrol," sahut staf lain, meskipun nada suaranya lebih heboh daripada argumennya. S
Bab 9: Rahasia di Balik Perjalanan Sophie menarik napas panjang ketika pesawat perlahan mendarat di landasan Bandara Ngurah Rai. Dari jendela kecil di samping tempat duduknya, ia bisa melihat langit Bali yang mulai memerah, seolah-olah senja menuangkan lukisan ke seluruh cakrawala. Adrian di sampingnya tampak santai, seolah-olah ini hanyalah perjalanan biasa, sementara Sophie masih berusaha menenangkan debaran di dadanya yang sedari pagi tak kunjung reda. "Aman?" tanya Adrian tanpa menoleh, suaranya lembut tetapi terdengar jelas di tengah suara pramugari yang mulai mengumumkan prosedur kedatangan. Sophie mengangguk cepat. "Aman, Pak," jawabnya, walau hatinya terasa sebaliknya. Adrian hanya tersenyum kecil, lalu berdiri saat lampu sabuk pengaman mati. Dengan gerakan alami, ia mengambilkan tas Sophie dari kabin atas, tanpa banyak bicara, tanpa banyak gestur berlebihan—tetapi bagi Sophie, perhatian kecil itu lebih membekas daripada seribu kata. --- Perjalanan dari bandara menuju ho
Bab 18 – Di Bawah Bayang-Bayang CintaHari-hari setelah percakapan yang mengubah semuanya terasa berbeda bagi Sophie dan Adrian. Mereka berdua memutuskan untuk menghadapi gosip dan pandangan orang lain dengan kepala tegak, memilih untuk menjalani hubungan ini dengan lebih terbuka. Namun, meskipun mereka sudah berusaha sebaik mungkin untuk tidak terpengaruh oleh dunia luar, kenyataan tidak selalu semudah itu.Sophie merasa cemas setiap kali memasuki kantor, terutama saat berpapasan dengan rekan-rekan kerjanya yang mulai menunjukkan pandangan aneh. Kadang-kadang, percakapan di ruang makan siang terasa berbeda, lebih dingin, dan penuh dengan bisik-bisik yang sulit untuk dihindari. Namun, di sisi lain, ada juga rasa kebanggaan yang mulai tumbuh dalam dirinya. Mereka sudah membuat keputusan, dan itu adalah keputusan yang tepat, meskipun jalan yang harus mereka tempuh tidak selalu mudah.***Setelah seminggu penuh dengan ketegan
Bab 17 – Menembus Bayang-bayangPagi itu, Sophie melangkah ke kantor dengan langkah sedikit terburu-buru. Namun, meskipun cuaca Jakarta cerah dan udara terasa segar, ada perasaan yang tidak bisa ia hilangkan. Sesuatu yang mengganjal di dalam hatinya, entah itu rasa cemas atau keraguan yang seakan-akan membebaninya sejak kejadian semalam. Gosip yang sempat ia baca beberapa hari yang lalu masih menggantung di kepalanya, meskipun Adrian sudah membantahnya. Namun, hatinya tetap merasa tidak tenang.Setelah memasuki ruang kerjanya, Sophie duduk di kursi dengan pikiran yang melayang. Layar komputer di depannya menampilkan deretan email yang belum terbaca, laporan yang harus diselesaikan, serta tugas-tugas lainnya yang menunggu. Namun, matanya tidak fokus pada pekerjaan. Pikirannya kembali ke apa yang terjadi antara dia dan Adrian. Rasa cemas itu datang lagi.Sophie menyadari bahwa pekerjaan ini bukanlah satu-satunya yang harus ia hadapi.
Malam itu mereka tertidur di sofa, dengan televisi masih menyala menampilkan acara dokumenter yang tidak satupun dari mereka perhatikan. Sophie menyandarkan kepalanya di bahu Adrian, sementara tangan pria itu masih memeluknya erat, seolah takut jika ia lepas, dunia akan kembali kacau.Pagi harinya, Sophie terbangun lebih dulu.Ia tidak langsung bangkit. Sebaliknya, ia mengamati wajah Adrian yang masih tertidur. Ada kantung mata di bawah matanya, garis-garis tipis lelah di dahi, dan sesekali napasnya terdengar berat.Namun, di balik semua itu, ada ketulusan yang membuat Sophie tetap bertahan.Ia meraih selimut dan menyelimuti tubuh Adrian yang mulai kedinginan karena AC yang terlalu dingin, lalu bangkit pelan-pelan menuju dapur kecil di sudut apartemennya.Tak lama kemudian, aroma kopi dan roti panggang memenuhi ruangan.Adrian menggeliat dan membuka mata perlahan.“Wah... ini surga ya?”
Bab 15 – Riak Kecil, Ujian KecilPagi itu, Jakarta diguyur hujan gerimis.Sophie duduk di sudut kafe favorit mereka, memainkan sendok kecil di dalam cangkir kopinya. Sudah setengah jam berlalu, dan Adrian belum juga datang.Ia melirik ponselnya. Tidak ada pesan baru.Sophie menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. Mungkin dia macet. Atau masih rapat. Atau...Pintu kafe berdering. Sophie menoleh dengan harap, tetapi ternyata bukan Adrian.Hatinya mulai gelisah.Ini pertama kalinya Adrian terlambat tanpa kabar.Biasanya, walau sibuk, pria itu selalu menyempatkan satu dua kata untuk memberi tahu.Sophie menggigit bibir bawahnya, perasaan tak menentu bergolak di dada. Di satu sisi, ia ingin percaya. Di sisi lain, ada ketakutan kecil yang mulai membisikkan hal-hal buruk.Apa aku terlalu berharap? Apa aku terlalu yakin?Sebelu
Sophie masih merasakan getaran hangat di tangannya saat Adrian menggenggamnya erat.Waktu terasa berhenti, seolah hanya mereka berdua yang ada di dunia malam itu.Mereka duduk bersisian, berbagi es krim yang mulai meleleh, tertawa kecil di sela-sela keheningan nyaman.“Besok kita udah harus balik ke Jakarta, ya…” gumam Sophie, setengah sedih.Adrian mengangguk perlahan. “Iya. Tapi... aku nggak mau ini selesai di sini.”Sophie menoleh. “Maksudnya?”“Maksudku…” Adrian berhenti sebentar, mencari kata yang tepat. “Aku mau tetap ada di hidup kamu. Bukan cuma di Bali. Bukan cuma pas kerja.”Sophie terdiam. Ada desir lembut di dadanya, membuat senyum kecil terbit tanpa sadar.Ia menggigit bibir bawahnya, lalu bercanda, “Wah, serius nih, Pak Adrian? Ini bukan efek kelamaan kena angin laut, kan?”Adrian tertawa pelan. “Kalau efek angin laut bisa bikin aku makin yakin sama
Sinar matahari Bali membias lembut lewat tirai jendela. Sophie bangun dengan perasaan ringan sampai ia melihat ponselnya.07.45.Ia membelalak."Astaga! Kita ada breakfast meeting jam 8!" serunya sambil melompat dari tempat tidur.Dengan rambut acak-acakan dan wajah setengah panik, Sophie berlari-lari kecil mencari outfit yang rapi tapi tidak terlalu overdressed. Akhirnya ia memilih gaun semi formal warna biru pastel dan tentu saja, waktu sudah menunjuk pukul 07.55 saat ia selesai berdandan."Ya Tuhan... telat lima menit itu dosa berat di dunia korporat," gerutunya sambil berlari kecil menuju lobi hotel.Sesampainya di lobi, Sophie mendapati Adrian sudah menunggu di dekat sofa, duduk santai sambil membaca ponsel. Ia mengenakan kemeja putih sederhana, tapi entah kenapa, Sophie merasa denyut jantungnya meningkat lagi.Saat melihat Sophie datang tergopoh-gopoh, Adrian hanya mengangkat satu
Bab 12 Ombak Kecil, Badai KecilPagi itu, udara Bali terasa sedikit lebih panas dari biasanya. Sophie berjalan berdampingan dengan Adrian di sepanjang koridor hotel, masing-masing membawa tas kecil berisi dokumen presentasi.Mereka akan bertemu dengan klien penting di sebuah resort mewah di daerah Nusa Dua. Ini adalah kesempatan besar dan juga tekanan besar. Apalagi, presentasi hari ini bisa menentukan kelanjutan proyek yang sudah mereka garap berbulan-bulan."Deg-degan nggak?" tanya Adrian, melirik Sophie.Sophie tertawa gugup. "Banget, Pak. Kalau aku tiba-tiba pingsan di depan klien, tolong pura-pura aja kayak itu bagian dari presentasi, ya."Adrian tertawa pelan, suaranya hangat. "Kalau kamu pingsan, aku yang bakal panik duluan."Sophie tersenyum, dadanya terasa ringan. Tapi di dalam hati, ada kegugupan yang sulit ditepis.Mereka tiba di lobby resort, di mana dua orang tamu sudah men
Bab 11 Jejak di Pasir, Janji di SenjaSophie mengikutkan langkah Adrian yang mulai berjalan lagi, tapi kali ini ada sesuatu yang berbeda. Seperti ada benang tak kasat mata yang menghubungkan mereka, membuat jarak sekecil apapun terasa... berarti.Mereka menyusuri jalan setapak yang perlahan berubah menjadi pasir halus. Tanpa sadar, langkah mereka membawa mereka ke tepi pantai, di mana ombak kecil membasahi ujung-ujung jari kaki mereka.Sophie mencuri pandang ke samping. Adrian melepas sepatu dan menggulung celana panjangnya hingga betis, membiarkan dirinya lebih dekat dengan laut yang ia cintai. Sophie pun melakukan hal yang sama, tertawa kecil saat air dingin menyentuh kulitnya."Kenapa kayak anak kecil banget, ya," gumamnya, menahan geli.Adrian mendengarnya dan tersenyum. "Karena kadang... kita butuh lupa sebentar jadi orang dewasa."Sophie menoleh, memandangnya dalam-dalam. "Aku suka kamu yang ka
Bab 10: Ombak, Rahasia, dan Detak Jantung Sophie masih merasakan semilir angin laut menerpa pipinya saat mereka melangkah turun dari perahu. Kakinya terasa sedikit gemetar, bukan hanya karena perjalanan snorkeling yang baru saja ia lalui, tetapi karena sesuatu yang lebih dalam. Sesuatu yang tak bisa ia definisikan dengan kata-kata sederhana. Adrian berjalan santai di sebelahnya, sesekali melirik Sophie dengan senyum kecil yang membuat udara sekitar terasa beberapa derajat lebih panas. "Kamu hebat tadi," kata Adrian, menepuk ringan punggung Sophie, membuatnya nyaris tersentak. Sophie terkekeh gugup. "Ah, itu karena ada bodyguard pribadi." Adrian menaikkan sebelah alis. "Bodyguard plus pemandu wisata, seharusnya bayar lebih mahal." Sophie berpura-pura berpikir keras. "Hmm... kalau bayar pakai nasi goreng, mau, nggak?" Adrian tertawa. Tawa rendah yang entah kenapa selalu berhasil membuat perut Sophie berdebar aneh. "Deal. Tapi harus buatan sendiri." "Siap, Pak!" Sophie memberi hor