Cari
Pustaka
Beranda / Young Adult / Cinta Tersembunyi CEO Dingin / Bab 5

Bab 5

Penulis: Aall
2025-04-20 15:01:49

Bab 5: Rahasia di Balik Tatapan Dingin

Hari-hari setelah pertemuan di rooftop berubah menjadi teka-teki baru bagi Sophie. Tatapan Adrian kini berbeda. Tak lagi sekadar menilai atau memberi perintah—ada kelembutan tersembunyi di sana, seolah ia berbicara tanpa suara. Namun, kedekatan mereka tak sepenuhnya bebas. Mereka masih berada dalam ruang lingkup profesional, terikat etika kantor, dan kerumitan perasaan yang masih samar.

Pagi itu, Sophie tiba di kantor lebih awal dari biasanya. Ia ingin menyelesaikan laporan presentasi untuk dewan direksi, tapi juga ada rasa tak sabar untuk sekadar melihat Adrian lagi—meski hanya sekilas, dari balik kaca ruangannya.

Namun, suasana kantor hari ini tampak berbeda. Ada bisik-bisik di antara karyawan, dan suasana terasa agak tegang. Beberapa staf terlihat membicarakan sesuatu dengan ekspresi serius.

Sophie melirik ke arah ruang rapat kecil di ujung koridor. Terdapat dua orang pria berjas yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Mereka membawa berkas tebal dan berbicara dengan suara rendah namun intens.

"Sophie," panggil Julia, staf HRD yang cukup dekat dengannya. "Kamu sudah dengar?"

"Dengar apa?"

"Katanya ada audit internal mendadak. Dan rumor paling gila—investor utama perusahaan kita mulai mencurigai sesuatu dari masa lalu Pak Adrian."

Sophie mengernyit. "Masa lalu?"

Julia mengangguk pelan, lalu membisik, "Ada kabar kalau beliau pernah tersangkut masalah di perusahaan keluarganya di Eropa. Tapi beliau menutupinya rapat-rapat. Sekarang mereka ingin menggali lebih dalam."

Sophie terdiam. Ini baru. Selama ini, ia hanya mengenal Adrian sebagai sosok dingin, disiplin, dan nyaris sempurna. Tapi masa lalu? Masalah keluarga? Kenapa tak pernah terdengar sebelumnya?

Ketika kembali ke mejanya, Sophie menemukan sebuah catatan kecil di atas laptopnya.

> "Temui saya di ruang kerja sebelum jam makan siang. –A"

---

Sophie mengetuk pelan pintu ruang CEO dan masuk dengan hati yang tak karuan. Adrian sedang berdiri di depan jendela besar, menatap kota dengan punggung tegap. Sejenak, ia tampak seperti patung—diam, tenang, tapi menyimpan badai.

"Masuklah," ucapnya tanpa menoleh.

Sophie menutup pintu dan berdiri dengan sopan. "Bapak memanggil saya?"

Adrian akhirnya berbalik. Wajahnya tetap tenang, tapi ada gurat lelah di sana. "Kamu pasti sudah dengar. Tentang audit dan... rumor."

Sophie mengangguk pelan. "Beberapa staf membicarakannya."

"Dan kamu ingin tahu apakah semua itu benar?"

Sophie ragu sejenak. "Saya ingin tahu apakah Anda baik-baik saja."

Tatapan Adrian melembut. Ia berjalan ke meja, lalu duduk dan menatap Sophie dalam.

"Aku tidak pernah membicarakan masa lalu karena... tidak mudah. Ayahku memiliki perusahaan multinasional di Prancis. Ketika aku berusia dua puluh dua tahun, terjadi skandal besar—penggelapan dana oleh salah satu direktur. Aku... dituduh terlibat. Meski akhirnya namaku dibersihkan, reputasiku hancur."

Sophie menahan napas.

"Aku memilih pergi. Meninggalkan segalanya. Memulai dari nol di sini. Aku membangun perusahaanku sendiri, dengan aturan yang lebih ketat, lebih disiplin, dan... mungkin juga lebih dingin."

"Karena takut dikhianati lagi?" tanya Sophie pelan.

Adrian menatapnya, lama. "Iya."

Diam tercipta di antara mereka. Sophie bisa merasakan betapa luka lama itu masih membekas, meski disembunyikan di balik kemeja rapi dan suara tenangnya.

"Tapi kenapa Anda memberitahu saya semua ini?"

"Karena aku tahu kamu bisa dipercaya. Dan karena aku... ingin kamu mengenal aku, bukan hanya sebagai CEO, tapi sebagai Adrian. Pria yang tak sempurna, yang sedang belajar mempercayai lagi."

Sophie melangkah mendekat. "Saya tidak tahu harus berkata apa... tapi saya akan tetap di sini. Mendengarkan. Kalau itu bisa sedikit meringankan."

Adrian mengangguk, lalu berdiri. Ia mengambil sesuatu dari laci meja—sebuah foto kecil yang ia berikan pada Sophie.

Itu adalah foto masa kecil Adrian bersama kedua orang tuanya. Mereka tersenyum di depan taman bunga. Wajah kecil Adrian di foto itu terlihat begitu polos, jauh dari pria dingin yang kini berdiri di hadapannya.

"Jangan beri tahu siapa pun tentang ini," bisiknya.

Sophie menatap foto itu sejenak, lalu mengangguk. "Ini akan jadi rahasia kita."

---

Sore itu, Sophie kembali ke meja dengan pikiran penuh. Di luar, dunia kantor berjalan seperti biasa. Tapi di dalam hatinya, ada ruang baru yang terbuka—ruang yang menyimpan sisi rapuh dari seorang pria yang selama ini tampak kuat dan tak tergoyahkan.

Malam harinya, Sophie tak bisa tidur. Ia berjalan mondar-mandir di dalam apartemennya yang kecil. Bayangan Adrian, cerita masa lalunya, dan tatapan matanya terus berputar dalam kepala.

Ia memutar lagu lembut dari daftar putar favoritnya, berharap musik bisa menenangkan pikirannya. Tapi justru, lirik lagu itu seakan menggambarkan perasaan yang mulai tumbuh tanpa ia sadari—sebuah rasa yang selama ini ia tahan, tapi kini makin sulit untuk dipungkiri.

Keesokan harinya, saat Sophie masuk kantor, suasana makin tegang. Sebuah email dari bagian legal membuat semua staf berhenti bekerja sejenak. Ada instruksi untuk menyimpan semua data proyek dalam server perusahaan, dan tidak ada yang diperbolehkan membawa dokumen ke luar tanpa izin.

"Ini gila," gumam Dito, salah satu staf TI. "Kayak ada penyelidikan besar."

Sophie mencoba tetap fokus. Tapi ia tahu, sesuatu besar sedang mendekat. Dan entah kenapa, ia merasa dirinya juga akan ikut terseret ke dalam badai itu.

Sore harinya, Adrian mengirim pesan singkat:

> "Bisa temani saya ke lokasi proyek sore ini? Saya butuh bantuan presentasi." —A

---

Mereka akhirnya berangkat bersama dalam mobil hitam milik perusahaan. Dalam perjalanan, mereka jarang bicara. Tapi keheningan di antara mereka bukan keheningan yang asing. Ada rasa nyaman yang aneh—seperti dua orang yang diam-diam tahu apa yang dirasakan satu sama lain.

Di lokasi proyek, Sophie melihat sisi lain Adrian yang belum pernah ia lihat. Ia tak hanya CEO di balik meja dan jas mahal. Ia turun langsung ke lapangan, berbicara dengan para kontraktor, memeriksa material, mencatat detail. Ada dedikasi tulus di sana.

Sophie ikut mencatat beberapa hal, dan tak sengaja menatap Adrian saat pria itu mengusap peluh di dahinya. Ada senyum kecil yang terbit di wajahnya. Dan untuk sesaat, waktu seperti berhenti.

"Kamu kenapa senyum begitu?" tanya Adrian tiba-tiba.

Sophie tersentak. "Enggak... cuma kagum saja."

"Kagum?"

"Dengan cara Anda bekerja. Dengan ketulusan itu... meski banyak orang berpikir Anda terlalu dingin."

Adrian tertawa kecil. Tawa yang sangat langka.

"Kalau kamu terus bilang hal kayak gitu, aku bisa-bisa mulai percaya kalau aku orang baik," katanya sambil berjalan ke arah mobil.

Dalam perjalanan pulang, mereka berhenti sejenak di kafe kecil pinggir jalan. Hujan mulai turun, dan suasana jadi syahdu. Sophie memesan teh hangat, dan Adrian hanya duduk menatap jendela.

"Kadang aku lupa gimana rasanya hidup santai," katanya pelan.

Sophie menoleh. "Kenapa?"

"Karena aku terlalu sibuk bertahan."

Kalimat itu membuat dada Sophie sesak. Ia ingin sekali menggenggam tangan Adrian saat itu juga. Tapi ia tahu, belum saatnya. Belum.

Malam itu, saat Sophie sampai di apartemen dan membuka pintu, ia menemukan sebuah paket di depan pintu. Tanpa nama pengirim, hanya satu kalimat di dalamnya:

> "Terima kasih sudah percaya."

Isinya adalah buku jurnal kulit, dengan halaman kosong.

Sophie tersenyum. Ia tahu siapa pengirimnya.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi