Udara Jakarta pagi itu seolah berat. Awan menggantung rendah seperti mengintai sesuatu yang akan pecah—entah langit atau hati-hati manusia di bawahnya.
Di apartemen yang kini dijaga ketat oleh tim Indra, Maya sedang bersiap. Rambutnya dikuncir rapi ke belakang. Ia mengenakan blazer abu-abu muda dan celana bahan, pakaian yang tak biasa baginya. Tapi hari ini, ia akan menjadi saksi utama dalam operasi penangkapan jaringan gelap yang selama ini hanya berjalan dalam bisik-bisik.
Di sudut ruangan, Indra sedang berbicara lewat telepon dengan seseorang yang suaranya tak begitu keras tapi terdengar tegang.
“Target bergerak. Dino tampaknya menyadari pergerakan kita. Tapi kita masih punya waktu.”
Maya menarik napas panjang. “Kalau Dino tahu aku akan bersaksi, dia bisa menyerang siapa pun, kan?”
Indra menatapnya. “Kami sudah evakuasi titik-titik rawan. Termasuk rumah Nayla. Tapi…”
“Tapi dia keras kepala,” potong Maya. “Dia nggak akan mau pergi tanpa alasan jelas.”
**
Sementara itu, di sisi lain