Beberapa luka tidak bisa disembuhkan.
Beberapa luka cuma bisa ditanggung.
Dan sisanya... berubah jadi bara.
Aku termasuk yang ketiga.
Hari itu, Jakarta mendung. Di kampus, semua orang sibuk. Tapi dunia terasa lambat di kepalaku.
Aku duduk di pojokan kafe kampus dengan hoodie kebesaran. Wajahku polos. Bukan karena cuek. Tapi karena aku sudah lelah peduli.
Dua minggu sejak terakhir ketemu Reza.
Tapi rasanya dia masih ada di mana-mana.
Di setiap suara cowok yang nadanya mirip. Di setiap grup kerja yang nyebut namanya. Di setiap malam, yang selalu gelap lebih dari biasanya.
“Lo ngelamun lagi.”
Suara itu datang dari seseorang yang duduk di depanku tanpa izin.
Dimas.
Cowok semester 7 jurusan DKV. Hoodie hitam, rambut gondrong digelung asal, mata yang tajam tapi malas. Kadang kayak penjual stiker pinggir jalan, kadang kayak orang yang bawa luka yang gak pernah dia ceritain.
Kami kenal di forum diskusi kampus. Waktu itu aku baca tulisan tentang kekerasan emosional. Sete