“Sebenarnya apa yang ingin kau katakan?” tanya Pramono berusaha menutupi kemarahannya.
Laki-laki di hadapannya berdeham pelan. Detik berikutnya punggung dan menatap dingin ke arah Pramono. “Aku ingin mengatakan, mari kita bersaing secara sehat,” jawabnya tenang.
“Aku tahu, meski Anda begitu marah, jauh dalam lubuk hati Anda, Anda masih sangat mengharapkan Nadya—demi putri kalian. Dan mungkin, masih ada sedikit cinta untuk dia di dalam sana. Benar?
Kupastikan, aku akan mencintainya dengan baik. Jika Anda tidak yakin bisa memaafkannya dengan ikhlas, sebaiknya menyerah lah dari sekarang.”
‘Astaga ...’
Pramono meraup wajah lelah. Gigi geraham bergemeletuk. Menoleh ke kanan, diraihnya ponsel yang tergeletak di meja. Ibu jarinya bergulir menelusuri daftar kontak. Pada nama Annisa dia berhenti dan menekan tombol call.
“Ya, Mas?” sapa Annisa tepat setelah bunyi dengung di telinganya terputus.
“Sa, aku bisa minta tolong?”
“Ya. Minta tolong apa?”
***
Sepulang dari kantor Pramono, Edwin