Setelah pintu utama tertutup dengan cukup keras, menandakan kepergian Zayn, Livia masih berdiri di ruang tengah dengan tangan terlipat di dada. Bibirnya mengerucut, menatap pintu yang kini tak lagi terbuka untuknya mengejar pria itu dan mengomel lebih panjang.
"Apa-apaan dia! Pergi begitu saja tanpa minta maaf!" gerutunya kesal.
Dengan langkah gontai, Livia menyeret kakinya menuju sofa dan menjatuhkan tubuhnya di sana. Dia mendekap Caca, boneka kelinci kesayangannya, lalu menghela napas panjang.
"Seharusnya aku marah lebih lama tadi," gumamnya, "atau setidaknya aku mengancamnya dengan sesuatu!"
Tapi ancaman macam apa yang bisa menakuti seorang pria seperti Zayn Vanderbilt? Livia berpikir keras. Pria itu tidak peduli jika dia marah. Dia tidak takut dengan omelan atau rengekannya. Bahkan, Zayn sepertinya menikmati melihat Livia kesal.
Livia mendesah panjang. Dia mengusap wajahnya dan menatap langit-langit. "Apa aku akan terus seperti ini?"
Seketika, pikiran itu muncul begitu saja.