Livia Everleigh adalah gadis polos dan kekanakan yang hidup dalam kemewahan tanpa mengetahui betapa gelapnya dunia di sekitarnya. Sebagai anak tunggal dari pasangan Richard Everleigh dan Eleanor, ia selalu dimanja dan tidak pernah menghadapi kesulitan. Livia memiliki kebiasaan unik ia sangat menyukai permen kapas dan cokelat panas. Bagi Livia, hidup adalah tentang menikmati hal-hal kecil yang manis dan menyenangkan. Ia sering membawa sekantong permen dalam tasnya dan tidak bisa tidur tanpa menyeruput cokelat panas sebelum tidur. Namun, dunia yang ia kenal hancur dalam sekejap. Ayahnya terbukti menggelapkan uang dalam jumlah besar dari perusahaan Vanderbilt Corp, yang dipimpin oleh Zayn Vanderbilt seorang CEO kejam dan berkuasa. Zayn tidak percaya pada belas kasihan. Baginya, pengkhianatan hanya bisa dibayar dengan nyawa. Ketika Richard Everleigh hampir kehilangan segalanya, Zayn memberikan satu pilihan: menyerahkan Livia sebagai jaminan, atau menghadapi konsekuensi yang lebih mematikan. Demi menyelamatkan keluarganya, Livia terpaksa masuk ke dalam dunia yang jauh berbeda dari kehidupannya yang nyaman. Di sisi Zayn, Livia menjadi seperti boneka dalam sangkar emas diperlakukan seperti tahanan, tetapi tetap dikelilingi kemewahan. Gadis polos itu tetap membawa sekantong permen di kantong bajunya, bahkan di bawah ancaman Zayn. Sementara Zayn melihatnya sebagai alat untuk membalas dendam, Livia justru berusaha memahami pria dingin yang menguasai hidupnya. Namun, apakah kepolosan dan keceriaan Livia cukup untuk meleburkan kebekuan hati Zayn? Atau ia justru akan hancur dalam permainan sang CEO kejam?
View MoreRuang rapat dipenuhi hawa mencekam. Di ujung meja panjang dari kayu mahoni, seorang pria duduk dengan ekspresi dingin. Matanya yang gelap dan tajam menatap pria tua di hadapannya Richard Everleigh, seorang pengusaha terhormat yang kini tak lebih dari seorang terdakwa di pengadilan pribadi milik Zayn Vanderbilt.
“Berani sekali kau menggelapkan uangku,” suara Zayn terdengar begitu pelan, namun penuh ancaman. Ia mengetuk ngetukkan jemarinya di atas meja, matanya menatap Richard seperti singa yang siap menerkam mangsanya. Richard menelan ludah, tubuhnya bergetar hebat. "A-aku... bisa menjelaskan, Tuan Vanderbilt... aku—" “Diam.” Satu kata itu cukup untuk membuat Richard membisu seketika. Keringat dingin membanjiri pelipisnya. Di sekitar ruangan, para pengawal berdiri dengan ekspresi tak terbaca. Mereka semua tahu, Zayn tidak pernah memberi kesempatan kedua kepada siapa pun yang mengkhianatinya. Zayn mengangkat tangan, dan layar besar di ruangan itu menyala. Sebuah siaran langsung dari kamera pengintai memperlihatkan seorang wanita paruh baya duduk di ruang tamu sebuah rumah mewah. “Istrimu,” kata Zayn santai. Richard terperanjat. “Jangan sakiti dia! Aku mohon” Zayn tidak menggubrisnya. Ia melirik layar lain yang kini menampilkan seorang gadis muda duduk di taman, mengenakan gaun kuning pastel dengan rambut dikepang longgar. Livia Everleigh. Gadis itu tidak sadar sedang menjadi objek perhatian di ruangan rapat penuh pria bersetelan mahal. Ia duduk di bangku taman, menggoyangkan kakinya dengan riang sambil memberikan sebatang cokelat kepada seekor kucing berbulu putih yang duduk di sebelahnya. Zayn mengangkat sebelah alis. Di saat ayahnya hampir kehilangan nyawa, gadis ini malah sibuk bermain dengan kucing dan cokelat? Zayn menyipitkan mata, memperhatikan ekspresi gadis itu dengan penuh minat. Bibirnya yang mungil melengkung dalam senyum kecil saat kucing itu menjilat cokelatnya. "Manis, kan? Aku juga suka cokelat ini!" Livia berbicara dengan suara lembut, seolah sedang berbincang dengan teman lamanya. Zayn menghela napas pendek. "Dia... polos sekali." Begitu polosnya hingga Zayn tak bisa memutuskan apakah itu hal yang menyenangkan atau menyebalkan. “Tuan Vanderbilt!” suara Richard menyadarkan Zayn dari lamunannya. “Aku akan mengembalikan uangnya! Beri aku waktu! Kumohon, jangan sakiti keluargaku!” Zayn menyeringai kecil. Ia kembali menatap layar di mana Livia masih sibuk memberi makan kucing dengan cokelat tanpa tahu bahwa hidupnya akan berubah dalam hitungan detik. Ia bersandar di kursinya, lalu menatap Richard dengan tatapan penuh arti. “Baiklah,” katanya akhirnya. Richard terperangah. “T-Tuan Vanderbilt... maksud Anda?” Zayn mengetuk meja sekali, lalu mencondongkan tubuhnya ke depan. “Aku akan membiarkan istrimu hidup.” Richard hampir menangis lega, tapi kemudian Zayn menyeringai. “Sebagai gantinya, aku ingin putrimu.” Ruangan itu jatuh dalam keheningan yang menegangkan. Richard membelalakkan mata. “A-apa?” “Livia Everleigh.” Zayn melirik layar sekali lagi. Gadis itu masih tersenyum bahagia, tidak menyadari bahwa nasibnya sedang dipertaruhkan oleh permainan kekuasaan yang tak ia pahami. “Aku ingin dia,” Zayn mengulang dengan suara lebih tegas. “Serahkan putrimu padaku, dan aku akan mengampuni nyawamu.” Richard menatapnya tak percaya. “T-Tidak mungkin! Livia masih anak-anak! Dia bahkan tidak tahu apa-apa soal urusan bisnis—” "Justru karena itu aku tertarik," potong Zayn cepat. "Gadis itu... terlalu polos untuk dunia ini." Zayn mengangkat bahu, lalu menatap Richard dengan ekspresi mengerikan. “Kau hanya punya dua pilihan, Richard,” katanya dengan nada santai, seolah sedang mendiskusikan cuaca. “Menyerahkan putrimu, atau aku membunuh seluruh keluargamu dalam waktu kurang dari lima menit.” Richard hampir jatuh pingsan di tempat. Zayn tersenyum tipis, lalu berdiri dari kursinya. Ia meraih jasnya, mengenakannya dengan santai, lalu berjalan menuju pintu. “Keputusan ada di tanganmu.” Zayn melangkah keluar, meninggalkan Richard yang masih terhuyung dengan wajah pucat. Saat pria itu pergi, matanya kembali melirik layar kamera pengintai. Livia sedang mencoba menari-nari kecil di sekitar kucing, tertawa sendiri karena kucing itu terus mengejar ujung gaunnya. Zayn tersenyum samar. Akan menarik melihat bagaimana reaksi gadis polos itu saat dunianya dihancurkan oleh tangannya sendiri. **********" Richard Everleigh pulang ke rumah dengan langkah berat. Hatinya seperti diremas ribuan tangan tak kasat mata, napasnya pendek-pendek, dan pikirannya berkecamuk dalam lautan penyesalan yang tak berujung. Bagaimana mungkin seorang ayah bisa menyerahkan putrinya sendiri? Gadis yang telah ia besarkan dengan penuh kasih sayang, yang selalu tersenyum cerah meski dunia di sekelilingnya penuh kebusukan Tetapi di hadapan Zayn Vanderbilt, Richard bukanlah siapa-siapa. Lelaki itu bukan sekadar pebisnis kejam. Dia adalah predator. Seorang raja dalam dunia bisnis yang tidak mengenal kata belas kasihan. Jika Richard mencoba melawan, hanya ada satu hasil kematian. Dan jika ia mati, siapa yang akan melindungi istrinya? Siapa yang akan memastikan Livia tetap hidup? Langkahnya terhenti di depan pintu rumah. Tangannya gemetar saat ia meraih gagang pintu, menarik napas panjang sebelum akhirnya mendorongnya perlahan. Ceklek.. Ruangan itu sunyi. Lalu, suara riang yang sudah dikenalnya selama dua puluh satu tahun menyambutnya dari ruang tengah. “Papa!” Livia berlari kecil menghampiri ayahnya dengan senyum cerah yang biasa ia tunjukkan. Rambut panjangnya yang kecokelatan dikepang dua, dan gaun tidur kuning pastel yang ia kenakan membuatnya tampak seperti gadis kecil yang baru bangun dari tidur siang. Namun, yang membuat Richard tercekat adalah cokelat leleh yang mengotori ujung bibir putrinya. Livia masih menggenggam sebatang cokelat, sementara di pangkuannya, seekor kucing berbulu putih mengeong pelan, menjilati sisa cokelat di tangannya. Ayahnya hanya bisa menatapnya tanpa suara. Sungguh ironis. Baru beberapa jam yang lalu, ia menyaksikan Zayn Vanderbilt menatap putrinya dengan mata elangnya yang tajam, penuh intensitas yang sulit diartikan. Dan sekarang, gadis itu ada di hadapannya begitu polos, begitu tak tahu apa-apa, begitu jauh dari kebengisan dunia yang akan segera menyeretnya ke dalam kegelapan. Livia memiringkan kepala, menyadari ekspresi ayahnya yang tampak... berbeda. “Papa?” Richard tersentak dari lamunannya. “Ah, iya. Maaf, Papa hanya lelah.” Livia mengernyit, lalu bergegas menarik tangan ayahnya ke sofa. “Kalau lelah, duduk dulu! Aku tadi baru saja nonton kartun, Papa mau nonton juga?” Dia masih bisa tertawa. Dia masih bisa tersenyum seakan dunia tidak sedang runtuh di hadapannya. Richard ingin menangis. Tetapi ia tidak boleh. “Livia...” suaranya serak, matanya menatap putrinya dalam-dalam. “Ada sesuatu yang harus Papa bicarakan denganmu.” Livia berkedip beberapa kali, lalu meletakkan cokelatnya di meja. “Hah? Kok serius banget? Apa ada masalah di kantor?” Richard terdiam sesaat. Ia tidak tahu bagaimana harus menjelaskan ini. Bagaimana mungkin ia bisa berkata, ‘Papa telah menyerahkanmu pada pria yang bahkan lebih kejam dari setan’? Namun, waktu tak akan menunggu. Dan sebelum semuanya menjadi lebih buruk, ia harus jujur. “Papa...” ia menarik napas dalam-dalam. “Papa telah melakukan kesalahan besar.” Livia mengerutkan kening. “Kesalahan?” Richard menatap mata putrinya mata indah yang selalu penuh cahaya. Ia menelan ludah, sebelum akhirnya melanjutkan, “Papa telah melakukan korupsi di perusahaan seseorang.” Gadis itu terdiam sejenak, seolah mencoba memproses ucapan ayahnya. “Korupsi?” ulangnya dengan suara pelan. “Kayak di berita-berita itu? Yang ambil uang kantor diam-diam? Richard mengangguk. Livia memiringkan kepala, lalu menatap ayahnya dengan polos. “Terus... kenapa Papa kasih tahu aku? Bukannya itu urusan kantor? Aku kan nggak ngerti soal itu.” Richard memejamkan mata. Ini jauh lebih sulit daripada yang ia bayangkan. Ia ingin sekali menjawab, ‘Karena akibatnya kau harus menyerahkan hidupmu kepada pria yang bahkan iblis pun takut padanya’, tapi ia tahu itu bukan cara yang tepat. Jadi, ia mengatur napas dan berkata, “Karena akibat dari kesalahan Papa... ada seseorang yang menginginkanmu sebagai jaminan.” Livia terdiam. Gadis itu mengedip beberapa kali, lalu tertawa kecil. “Hah? Jaminan? Maksudnya, kayak di drama-drama gitu? Ditukar buat bayar utang?” Richard tidak menjawab. Senyum di wajah Livia perlahan memudar saat menyadari bahwa tidak ada canda di wajah ayahnya. “P-Papa?” suaranya melemah. Richard menelan ludah, tangannya gemetar saat menggenggam tangan putrinya. “Livia... Papa tidak punya pilihan lain. Jika Papa menolak, kita semua akan mati.” Gadis itu membeku. Lalu, setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya, ia tersenyum—senyum kecil yang kaku dan dipaksakan. “Hahaha, Papa bercanda, kan?” Richard tidak tertawa. “Papa...?” suara Livia kini terdengar bergetar. Tiba-tiba, bunyi bel rumah memecah keheningan. Ting-tong! Richard tersentak. Darahnya seolah berhenti mengalir. Livia juga menoleh, lalu berlari kecil ke pintu. “Aku buk—” “LIVIA, JANGAN!” Tetapi sudah terlambat. Begitu pintu terbuka, angin malam menerpa wajah Livia, dan di baliknya, seorang pria berdiri dengan ekspresi dingin. Zayn Vanderbilt. Pria itu mengenakan setelan hitam, dengan mata tajamnya yang langsung mengunci pandangan ke arah gadis itu Livia mematung. Matanya bertemu dengan mata pria itu, dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasakan sesuatu yang aneh. Bukan ketakutan. Tapi perasaan asing yang membuat jantungnya berdetak sedikit lebih cepat. Dan di detik itu juga, Zayn menyadari satu hal. Gadis ini tidak tahu bahwa hidupnya akan berubah selamanya.Mobil hitam mewah itu akhirnya memasuki kawasan perumahan elit tempat tinggal Zayn. Setelah seharian menghabiskan waktu di pantai, senyap perlahan mengambil alih kabin mobil. Finnian yang semula ramai dan penuh celoteh kini tertidur pulas di pangkuan Serenity, dengan pipi merah merona karena terbakar matahari dan jemari mungilnya masih menggenggam ember kecil berisi kerang hasil tangkapannya.Livia duduk tenang di sebelah Zayn. Tidak banyak bicara, tapi dari raut wajahnya terpancar kepuasan dan ketenangan. Angin pantai masih terasa seolah membuntuti mereka, dan aroma laut entah mengapa masih menempel lembut di kulitnya.Zayn menoleh sekilas. Ia melihat Livia sedang menyandarkan kepala ke jendela, tersenyum kecil. “Kamu kelihatan puas banget,” gumamnya sambil menurunkan sedikit kaca jendela agar udara segar masuk.Livia menoleh, mengangguk pelan. “Hari ini kayak mimpi… kayak dunia itu cuma ada aku, kamu, Finnian, dan Serenity.”“Jangan lupa, Aisha juga sempat muncul seperti film horor,
Pagi merekah perlahan, menyusup masuk lewat celah tirai resort yang sedikit terbuka. Sinar matahari menyentuh lembut kulit Livia yang masih terlelap, membentuk pola cahaya hangat di pipinya yang merona. Di luar, ombak menyapa pasir pantai dengan suara tenang, seolah ikut menjaga tidur nyenyaknya.Zayn sudah lebih dulu bangun. Ia duduk bersandar di tepi ranjang, mengenakan jubah handuk yang menggantung santai di tubuhnya. Rambutnya masih sedikit basah, dan secangkir kopi hangat mengepul di tangan. Tatapannya tertuju pada Livia yang masih meringkuk seperti anak kucing dalam selimut, bibirnya sedikit terbuka, sesekali bergumam tak jelas dalam tidur.Senyum kecil mengembang di bibir Zayn. Entah sejak kapan gadis polos ini menjadi pusat gravitasi dalam hidupnya. Yang jelas, pagi itu terasa berbeda. Lebih ringan. Lebih hidup. Lebih... berarti.Perlahan, ia membungkuk dan menyibakkan sedikit anak rambut yang menutupi wajah Livia. “Bangun, sleepyhead,” bisiknya lembut di telinga gadis itu.Li
Malam menggulung langit dalam gelap yang pekat, hanya dihiasi bintang-bintang kecil yang bertaburan bagai serpihan kristal. Suara ombak masih terdengar dari kejauhan, namun kini terdengar lebih lembut seolah ikut meredakan badai di dada Livia dan Zayn. Mereka memasuki kamar resort yang hangat. Livia masih menggenggam tangan Zayn, namun langkahnya lambat, seolah masih ragu apakah suasana damai ini akan bertahan lama. Zayn tahu itu. Ia bisa merasakannya lewat sentuhan jari Livia yang gemetar halus, seolah masih menimbang apakah ia benar-benar aman bersandar padanya malam ini. Zayn menutup pintu perlahan, kemudian membimbing Livia duduk di tepi ranjang yang empuk. Lampu kamar redup, menciptakan bayangan lembut di dinding. Angin laut masih menyelinap masuk lewat jendela balkon yang sedikit terbuka, membawa aroma asin yang khas, bercampur dengan harum tubuh Livia yang baru mandi. “Aku mau kamu tidur nyenyak malam ini,” ucap Zayn, duduk di sebelah Livia dan menyentuh pelipis gadis itu
Senja di pantai telah berlalu. Langit mulai menggelap, dihiasi semburat jingga terakhir yang tergurat di cakrawala. Suara ombak terdengar lebih dalam, bergulung perlahan seolah bernyanyi pelan menyambut malam. Aroma garam dan pasir masih melekat di udara, menyatu dengan suara kicauan jangkrik yang mulai mengambil alih tugas burung-burung siang. duduk sendirian di balkon kamar resort yang menghadap langsung ke laut. Kakinya dilipat di kursi rotan panjang, dengan handuk yang masih tersampir di bahunya. Angin malam membelai rambutnya yang belum sepenuhnya kering, membuat helaian-helaian lembut itu berterbangan membingkai wajahnya yang murung.Pikirannya melayang entah ke mana. Tadi siang terlalu aneh. Kedatangan Aisha yang tiba-tiba, raut wajah Zayn yang terlihat tajam sesaat setelah itu, dan… pertengkaran kecil dengan Serenity di dapur barusan tentang kenapa Livia masih terus bersikap terlalu "baik" pada orang seperti Aisha.Tapi bukan itu yang paling menghantuinya.Yang membuat hatiny
Mentari pagi menyapa dengan sinar keemasan yang hangat, memantul lembut di sela tirai kamar Livia dan Zayn. Angin berembus pelan dari jendela yang sengaja dibuka setengah, membawa aroma laut yang samar-samar mulai terasa sejak malam sebelumnya. Hari ini bukan hari kerja, bukan pula hari kuliah. Hari ini adalah hari yang Livia tunggu-tunggu dengan hati berdebar dan wajah berseri—hari Minggu, hari libur yang telah dijanjikan oleh Zayn sejak pertengkaran terakhir mereka.Liburan kecil ini seperti penawar luka, cara Zayn menebus luka-luka kecil yang mungkin belum sembuh sepenuhnya di hati Livia. Dan gadis itu dengan pakaian pantai yang sudah ia siapkan sejak dua hari lalu, lengkap dengan topi bundar lebar dan sunblock yang dibelinya secara impulsif karena "biar mirip cewek-cewek drama Korea" bangun lebih pagi dari biasanya, penuh semangat dan… berisik, seperti biasa."Zayn! Bangun! Kita bisa kena macet kalau telat!" teriak Livia sambil mengguncang-guncang tubuh pria itu yang masih berseli
Cahaya lampu tidur yang temaram membuat bayangan wajah Zayn dan Livia membaur di dalam keheningan kamar. Livia menatap lelaki di hadapannya itu dengan sorot mata yang masih menyimpan luka, namun juga penuh keraguan dan harapan. Sementara Zayn, duduk di tepi ranjang seolah menahan jarak agar tak semakin menyakiti gadis yang telah diam-diam mencuri tempat dalam hidupnya."Aku gak ngerti, Zayn…" suara Livia pecah, pelan, nyaris seperti bisikan, namun penuh tekanan batin. "Kadang kamu manis banget, perhatian kayak yang benar-benar peduli… tapi tiba-tiba kamu bisa berubah jadi orang asing yang dingin banget. Aku gak ngerti harus gimana."Zayn terdiam, tak langsung menjawab. Ia menatap jemarinya sendiri, lalu dengan pelan mengusap wajahnya, seakan mencoba menghapus topeng keras yang biasa ia kenakan.“Aku… bukan orang baik, Liv,” katanya akhirnya. “Duniaku bukan tempat yang layak buat seseorang sepertimu. Bahkan kadang aku sendiri takut… takut kamu suatu hari sadar dan pergi…”Livia mendeng
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments