Livia Everleigh adalah gadis polos dan kekanakan yang hidup dalam kemewahan tanpa mengetahui betapa gelapnya dunia di sekitarnya. Sebagai anak tunggal dari pasangan Richard Everleigh dan Eleanor, ia selalu dimanja dan tidak pernah menghadapi kesulitan. Livia memiliki kebiasaan unik ia sangat menyukai permen kapas dan cokelat panas. Bagi Livia, hidup adalah tentang menikmati hal-hal kecil yang manis dan menyenangkan. Ia sering membawa sekantong permen dalam tasnya dan tidak bisa tidur tanpa menyeruput cokelat panas sebelum tidur. Namun, dunia yang ia kenal hancur dalam sekejap. Ayahnya terbukti menggelapkan uang dalam jumlah besar dari perusahaan Vanderbilt Corp, yang dipimpin oleh Zayn Vanderbilt seorang CEO kejam dan berkuasa. Zayn tidak percaya pada belas kasihan. Baginya, pengkhianatan hanya bisa dibayar dengan nyawa. Ketika Richard Everleigh hampir kehilangan segalanya, Zayn memberikan satu pilihan: menyerahkan Livia sebagai jaminan, atau menghadapi konsekuensi yang lebih mematikan. Demi menyelamatkan keluarganya, Livia terpaksa masuk ke dalam dunia yang jauh berbeda dari kehidupannya yang nyaman. Di sisi Zayn, Livia menjadi seperti boneka dalam sangkar emas diperlakukan seperti tahanan, tetapi tetap dikelilingi kemewahan. Gadis polos itu tetap membawa sekantong permen di kantong bajunya, bahkan di bawah ancaman Zayn. Sementara Zayn melihatnya sebagai alat untuk membalas dendam, Livia justru berusaha memahami pria dingin yang menguasai hidupnya. Namun, apakah kepolosan dan keceriaan Livia cukup untuk meleburkan kebekuan hati Zayn? Atau ia justru akan hancur dalam permainan sang CEO kejam?
view moreRuang rapat dipenuhi hawa mencekam. Di ujung meja panjang dari kayu mahoni, seorang pria duduk dengan ekspresi dingin. Matanya yang gelap dan tajam menatap pria tua di hadapannya Richard Everleigh, seorang pengusaha terhormat yang kini tak lebih dari seorang terdakwa di pengadilan pribadi milik Zayn Vanderbilt.
“Berani sekali kau menggelapkan uangku,” suara Zayn terdengar begitu pelan, namun penuh ancaman. Ia mengetuk ngetukkan jemarinya di atas meja, matanya menatap Richard seperti singa yang siap menerkam mangsanya. Richard menelan ludah, tubuhnya bergetar hebat. "A-aku... bisa menjelaskan, Tuan Vanderbilt... aku—" “Diam.” Satu kata itu cukup untuk membuat Richard membisu seketika. Keringat dingin membanjiri pelipisnya. Di sekitar ruangan, para pengawal berdiri dengan ekspresi tak terbaca. Mereka semua tahu, Zayn tidak pernah memberi kesempatan kedua kepada siapa pun yang mengkhianatinya. Zayn mengangkat tangan, dan layar besar di ruangan itu menyala. Sebuah siaran langsung dari kamera pengintai memperlihatkan seorang wanita paruh baya duduk di ruang tamu sebuah rumah mewah. “Istrimu,” kata Zayn santai. Richard terperanjat. “Jangan sakiti dia! Aku mohon” Zayn tidak menggubrisnya. Ia melirik layar lain yang kini menampilkan seorang gadis muda duduk di taman, mengenakan gaun kuning pastel dengan rambut dikepang longgar. Livia Everleigh. Gadis itu tidak sadar sedang menjadi objek perhatian di ruangan rapat penuh pria bersetelan mahal. Ia duduk di bangku taman, menggoyangkan kakinya dengan riang sambil memberikan sebatang cokelat kepada seekor kucing berbulu putih yang duduk di sebelahnya. Zayn mengangkat sebelah alis. Di saat ayahnya hampir kehilangan nyawa, gadis ini malah sibuk bermain dengan kucing dan cokelat? Zayn menyipitkan mata, memperhatikan ekspresi gadis itu dengan penuh minat. Bibirnya yang mungil melengkung dalam senyum kecil saat kucing itu menjilat cokelatnya. "Manis, kan? Aku juga suka cokelat ini!" Livia berbicara dengan suara lembut, seolah sedang berbincang dengan teman lamanya. Zayn menghela napas pendek. "Dia... polos sekali." Begitu polosnya hingga Zayn tak bisa memutuskan apakah itu hal yang menyenangkan atau menyebalkan. “Tuan Vanderbilt!” suara Richard menyadarkan Zayn dari lamunannya. “Aku akan mengembalikan uangnya! Beri aku waktu! Kumohon, jangan sakiti keluargaku!” Zayn menyeringai kecil. Ia kembali menatap layar di mana Livia masih sibuk memberi makan kucing dengan cokelat tanpa tahu bahwa hidupnya akan berubah dalam hitungan detik. Ia bersandar di kursinya, lalu menatap Richard dengan tatapan penuh arti. “Baiklah,” katanya akhirnya. Richard terperangah. “T-Tuan Vanderbilt... maksud Anda?” Zayn mengetuk meja sekali, lalu mencondongkan tubuhnya ke depan. “Aku akan membiarkan istrimu hidup.” Richard hampir menangis lega, tapi kemudian Zayn menyeringai. “Sebagai gantinya, aku ingin putrimu.” Ruangan itu jatuh dalam keheningan yang menegangkan. Richard membelalakkan mata. “A-apa?” “Livia Everleigh.” Zayn melirik layar sekali lagi. Gadis itu masih tersenyum bahagia, tidak menyadari bahwa nasibnya sedang dipertaruhkan oleh permainan kekuasaan yang tak ia pahami. “Aku ingin dia,” Zayn mengulang dengan suara lebih tegas. “Serahkan putrimu padaku, dan aku akan mengampuni nyawamu.” Richard menatapnya tak percaya. “T-Tidak mungkin! Livia masih anak-anak! Dia bahkan tidak tahu apa-apa soal urusan bisnis—” "Justru karena itu aku tertarik," potong Zayn cepat. "Gadis itu... terlalu polos untuk dunia ini." Zayn mengangkat bahu, lalu menatap Richard dengan ekspresi mengerikan. “Kau hanya punya dua pilihan, Richard,” katanya dengan nada santai, seolah sedang mendiskusikan cuaca. “Menyerahkan putrimu, atau aku membunuh seluruh keluargamu dalam waktu kurang dari lima menit.” Richard hampir jatuh pingsan di tempat. Zayn tersenyum tipis, lalu berdiri dari kursinya. Ia meraih jasnya, mengenakannya dengan santai, lalu berjalan menuju pintu. “Keputusan ada di tanganmu.” Zayn melangkah keluar, meninggalkan Richard yang masih terhuyung dengan wajah pucat. Saat pria itu pergi, matanya kembali melirik layar kamera pengintai. Livia sedang mencoba menari-nari kecil di sekitar kucing, tertawa sendiri karena kucing itu terus mengejar ujung gaunnya. Zayn tersenyum samar. Akan menarik melihat bagaimana reaksi gadis polos itu saat dunianya dihancurkan oleh tangannya sendiri. **********" Richard Everleigh pulang ke rumah dengan langkah berat. Hatinya seperti diremas ribuan tangan tak kasat mata, napasnya pendek-pendek, dan pikirannya berkecamuk dalam lautan penyesalan yang tak berujung. Bagaimana mungkin seorang ayah bisa menyerahkan putrinya sendiri? Gadis yang telah ia besarkan dengan penuh kasih sayang, yang selalu tersenyum cerah meski dunia di sekelilingnya penuh kebusukan Tetapi di hadapan Zayn Vanderbilt, Richard bukanlah siapa-siapa. Lelaki itu bukan sekadar pebisnis kejam. Dia adalah predator. Seorang raja dalam dunia bisnis yang tidak mengenal kata belas kasihan. Jika Richard mencoba melawan, hanya ada satu hasil kematian. Dan jika ia mati, siapa yang akan melindungi istrinya? Siapa yang akan memastikan Livia tetap hidup? Langkahnya terhenti di depan pintu rumah. Tangannya gemetar saat ia meraih gagang pintu, menarik napas panjang sebelum akhirnya mendorongnya perlahan. Ceklek.. Ruangan itu sunyi. Lalu, suara riang yang sudah dikenalnya selama dua puluh satu tahun menyambutnya dari ruang tengah. “Papa!” Livia berlari kecil menghampiri ayahnya dengan senyum cerah yang biasa ia tunjukkan. Rambut panjangnya yang kecokelatan dikepang dua, dan gaun tidur kuning pastel yang ia kenakan membuatnya tampak seperti gadis kecil yang baru bangun dari tidur siang. Namun, yang membuat Richard tercekat adalah cokelat leleh yang mengotori ujung bibir putrinya. Livia masih menggenggam sebatang cokelat, sementara di pangkuannya, seekor kucing berbulu putih mengeong pelan, menjilati sisa cokelat di tangannya. Ayahnya hanya bisa menatapnya tanpa suara. Sungguh ironis. Baru beberapa jam yang lalu, ia menyaksikan Zayn Vanderbilt menatap putrinya dengan mata elangnya yang tajam, penuh intensitas yang sulit diartikan. Dan sekarang, gadis itu ada di hadapannya begitu polos, begitu tak tahu apa-apa, begitu jauh dari kebengisan dunia yang akan segera menyeretnya ke dalam kegelapan. Livia memiringkan kepala, menyadari ekspresi ayahnya yang tampak... berbeda. “Papa?” Richard tersentak dari lamunannya. “Ah, iya. Maaf, Papa hanya lelah.” Livia mengernyit, lalu bergegas menarik tangan ayahnya ke sofa. “Kalau lelah, duduk dulu! Aku tadi baru saja nonton kartun, Papa mau nonton juga?” Dia masih bisa tertawa. Dia masih bisa tersenyum seakan dunia tidak sedang runtuh di hadapannya. Richard ingin menangis. Tetapi ia tidak boleh. “Livia...” suaranya serak, matanya menatap putrinya dalam-dalam. “Ada sesuatu yang harus Papa bicarakan denganmu.” Livia berkedip beberapa kali, lalu meletakkan cokelatnya di meja. “Hah? Kok serius banget? Apa ada masalah di kantor?” Richard terdiam sesaat. Ia tidak tahu bagaimana harus menjelaskan ini. Bagaimana mungkin ia bisa berkata, ‘Papa telah menyerahkanmu pada pria yang bahkan lebih kejam dari setan’? Namun, waktu tak akan menunggu. Dan sebelum semuanya menjadi lebih buruk, ia harus jujur. “Papa...” ia menarik napas dalam-dalam. “Papa telah melakukan kesalahan besar.” Livia mengerutkan kening. “Kesalahan?” Richard menatap mata putrinya mata indah yang selalu penuh cahaya. Ia menelan ludah, sebelum akhirnya melanjutkan, “Papa telah melakukan korupsi di perusahaan seseorang.” Gadis itu terdiam sejenak, seolah mencoba memproses ucapan ayahnya. “Korupsi?” ulangnya dengan suara pelan. “Kayak di berita-berita itu? Yang ambil uang kantor diam-diam? Richard mengangguk. Livia memiringkan kepala, lalu menatap ayahnya dengan polos. “Terus... kenapa Papa kasih tahu aku? Bukannya itu urusan kantor? Aku kan nggak ngerti soal itu.” Richard memejamkan mata. Ini jauh lebih sulit daripada yang ia bayangkan. Ia ingin sekali menjawab, ‘Karena akibatnya kau harus menyerahkan hidupmu kepada pria yang bahkan iblis pun takut padanya’, tapi ia tahu itu bukan cara yang tepat. Jadi, ia mengatur napas dan berkata, “Karena akibat dari kesalahan Papa... ada seseorang yang menginginkanmu sebagai jaminan.” Livia terdiam. Gadis itu mengedip beberapa kali, lalu tertawa kecil. “Hah? Jaminan? Maksudnya, kayak di drama-drama gitu? Ditukar buat bayar utang?” Richard tidak menjawab. Senyum di wajah Livia perlahan memudar saat menyadari bahwa tidak ada canda di wajah ayahnya. “P-Papa?” suaranya melemah. Richard menelan ludah, tangannya gemetar saat menggenggam tangan putrinya. “Livia... Papa tidak punya pilihan lain. Jika Papa menolak, kita semua akan mati.” Gadis itu membeku. Lalu, setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya, ia tersenyum—senyum kecil yang kaku dan dipaksakan. “Hahaha, Papa bercanda, kan?” Richard tidak tertawa. “Papa...?” suara Livia kini terdengar bergetar. Tiba-tiba, bunyi bel rumah memecah keheningan. Ting-tong! Richard tersentak. Darahnya seolah berhenti mengalir. Livia juga menoleh, lalu berlari kecil ke pintu. “Aku buk—” “LIVIA, JANGAN!” Tetapi sudah terlambat. Begitu pintu terbuka, angin malam menerpa wajah Livia, dan di baliknya, seorang pria berdiri dengan ekspresi dingin. Zayn Vanderbilt. Pria itu mengenakan setelan hitam, dengan mata tajamnya yang langsung mengunci pandangan ke arah gadis itu Livia mematung. Matanya bertemu dengan mata pria itu, dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasakan sesuatu yang aneh. Bukan ketakutan. Tapi perasaan asing yang membuat jantungnya berdetak sedikit lebih cepat. Dan di detik itu juga, Zayn menyadari satu hal. Gadis ini tidak tahu bahwa hidupnya akan berubah selamanya.Finnian duduk di kursi dengan kaki yang belum menyentuh lantai, sibuk memindahkan telur ke atas pancake dan menyebutnya "roket makanan ke bulan."Livia duduk di sebelahnya, tertawa kecil sambil membantu Finnian mengoleskan madu. Ia terlihat lebih segar pagi ini. Luka di lengannya sudah mulai mengering, dan semangatnya mulai kembali setelah beberapa hari rehat dari kampus.Serenity duduk di seberang Zayn sambil menyeruput kopi, lalu membuka suara, “Jadi, hari ini aku mau nganter Finnian ke sekolah Montessori yang kamu rekomendasikan itu. Semoga anak ini bisa duduk tenang lebih dari dua menit.”Finnian langsung protes, “Aku bisa duduk! Tapi kalau kursinya empuk!”Semua tertawa.Zayn yang sejak tadi diam, akhirnya bicara, “Aku sudah kirim berkasnya ke kepala sekolah. Mereka akan bantu proses pendaftaran hari ini.”Serenity mengangkat dua jempol. “Good. Aku nggak tahu mesti mulai dari mana. Banyak sekolah lihat aku sebelah mata. Ya, you know… single mom dengan sejarah drama.”Livia yang d
Zayn memasuki rumahnya dengan langkah tegap dan ekspresi kaku yang sudah menjadi ciri khasnya. Setelah seharian dikejar rapat dan laporan dari jaringan bawah tanah yang mencurigakan, ia hanya ingin memeriksa kondisi Livia, memastikan luka gadis itu tidak kambuh dan pikirannya tetap aman.Namun baru saja membuka pintu utama, alisnya langsung bertaut saat mendengar…“TEMBAK DINO KUNINGNYA, FINN! TEMBAKKK!!”Suara Livia.“BUNYI SIRINEEE!! DINONYA LEMES!! AAAAKK!”Dan... suara kakaknya?Zayn mendecak pelan dan mempercepat langkahnya. Sampai akhirnya ia berhenti di ambang ruang keluarga.Pemandangan yang ia lihat sukses membuatnya nyaris kehilangan kata.Di tengah ruangan mewah bergaya modern itu, Livia duduk bersila di lantai, memakai bando kelinci, sambil memegang joystick mainan game dinosaurus yang diproyeksikan ke layar besar. Di sebelahnya, Finnian berdiri di atas meja kopi, berteriak heboh sambil menggenggam boneka t-rex yang matanya menyala.Dan di ujung sofa, Serenity—kakaknya yan
Pagi hari itu, matahari bersinar malu-malu dari balik tirai kamar yang setengah terbuka. Udara masih segar, sedikit dingin, dan aroma harum dari diffuser lavender masih melayang di udara. Namun, alih-alih disambut dengan ceria seperti biasa, pagi ini Livia terbangun dengan nyut-nyutan di pergelangan tangannya yang masih dibebat perban.“Ugh… kenapa rasanya kayak habis tinju sama Iron Man…” gumamnya pelan, memeluk guling dengan ekspresi meringis.Sebenarnya, lukanya tidak terlalu parah—cuma sedikit memar dan tergores karena kecelakaan kecil di lab praktek kemarin. Tapi tentu saja, bagi seorang Zayn Vanderbilt, itu sudah sama saja seperti Livia baru saja selamat dari kecelakaan pesawat.Belum sempat Livia bangkit dari tempat tidur, pintu kamarnya terbuka pelan. Zayn masuk, membawa nampan sarapan dengan ekspresi datar—yang artinya dia sedang menahan marah dalam kadar medium. Seperti biasa, gaya CEO-nya tetap terpancar dari rambut sampai ujung kaki, padahal cuma pakai kaus lengan panjang
Keesokan HarinyaLivia kembali menjalani rutinitasnya di kampus. Kali ini dengan dua pengawal tambahan yang dikirim oleh Zayn. Meski awalnya sempat protes, akhirnya ia menyerah karena takut Zayn benar-benar memasang CCTV di tiap sudut kampus.Di kampus, Aisha kembali muncul. Luka di bahunya tertutup perban, dan senyumnya sedikit dipaksakan.“Akudenger cowok kamu ngamuk ya kemarin?” tanya Aisha ketus saat menyusul Livia ke taman belakang kampus tempat mereka biasa duduk saat istirahat.Livia menggigit roti sandwich-nya perlahan, cengengesan. “Hehe... iya, agak serem sih... tapi dia baik kok. Kamu nggak apa-apa kan? Bahumu gimana?”Aisha menyipitkan mata.“Lucu ya kamu... masih bisa nanyain aku padahal udah jelas-jelas aku bikin kamu luka waktu praktik.”Livia langsung menegakkan duduknya. “Itu nggak sengaja kan? Aku tahu kok. Nggak usah merasa bersalah... aku juga sering jatuh sendiri, saking cerobohnya.”Aisha hanya mendecih kecil, kemudian menghela napas.“Kadang aku bingung deh... k
Setelah kejadian itu, kampus seketika heboh. Kabar tentang CEO muda kaya raya yang datang mengamuk dan menjambak mahasiswi tersebar secepat angin. Beberapa mahasiswa sibuk mengunggah kejadian tadi ke media sosial, meski sebagian besar video hanya berhasil menangkap siluet Zayn yang tinggi dan berwibawa, sedang menyeret seseorang di taman. Tapi, bagi Livia, semua perhatian itu justru membuatnya makin ingin menghilang dari muka bumi.“Astaga... aku viral nggak ya? Gimana kalau dosenku lihat? Gimana kalau rektor juga lihat? Nanti aku dikeluarin karena pacarnya brutal,” gumam Livia panik sambil menggigit kuku.Di dalam mobil yang melaju pulang, Livia duduk bersila di kursi penumpang sambil terus merajuk. Tangannya sibuk memeluk tas ransel kecilnya, dan pipinya menggembung karena kesal.Sementara Zayn di sebelahnya hanya mengemudi dengan ekspresi datar, seolah tak terjadi apa-apa barusan.“Kamu tuh... seriusan deh, nyari ribut mulu,” omel Livia, mencoba mengintip wajah Zayn dari samping.“
Hari ini kantor Zayn begitu tenang. Cahaya matahari menembus kaca jendela besar ruangannya, memantul di atas meja kerja yang dipenuhi dokumen dan laptop terbuka. Suara ketikan keyboard terdengar ritmis, namun Zayn sama sekali tidak fokus. Sejak Livia pamit ke kampus pagi tadi, pikirannya seolah tertinggal bersama gadis itu.Tiba-tiba, suara ketukan cepat terdengar dari luar.“Masuk,” seru Zayn datar tanpa mengalihkan pandangan.Salah satu pengawal pribadi masuk tergesa. “Tuan Zayn. Ada laporan dari salah satu anggota kita yang berjaga di sekitar kampus...”Zayn menoleh dengan cepat, nada suaranya berubah dingin. “Laporan apa?”“Nyony—eh, Nona Livia mengalami kecelakaan kecil saat praktik di laboratorium. Dia terkena cairan kimia ringan di tangan. Tidak terlalu parah, tapi—”BRAK!Zayn meninju meja kerjanya dengan kekuatan yang mengejutkan. Beberapa dokumen beterbangan, dan pengawalnya mundur setengah langkah, waspada. Rahang Zayn mengeras, matanya menggelap.“Kenapa aku baru tahu seka
Gedung megah milik perusahaan Zayn tampak seperti biasa: elegan, sibuk, dan penuh dinamika. Namun di balik setiap langkah karyawan yang tergesa dan tumpukan berkas yang dibawa sekretaris, ada sisi gelap yang tak semua orang tahu sisi yang hanya diketahui oleh mereka yang cukup berani, atau cukup bodoh untuk terlibat.Zayn duduk di kursi kulit hitam kebanggaannya, kedua siku bertumpu di atas meja kerjanya yang rapi, satu tangan menopang dagu sementara matanya menatap tajam layar laptop. Di layar tersebut, tampak laporan keuangan perusahaan—tapi bukan itu yang membuat dahinya berkerut. Fokusnya tidak tertuju pada angka-angka yang berderet rapi, melainkan pada sebuah dokumen rahasia yang hanya diketahui oleh segelintir orang terpilih dalam organisasi gelapnya."Senjata dari pelabuhan timur terlambat dua hari. Ada yang mengendus gerakan kita," ucap Axel melalui speaker rapat virtual yang sengaja disambungkan ke sistem keamanan kantor pribadi Zayn.Zayn mengusap wajahnya. "Lacak siapa yang
Langit malam benar-benar tenang malam itu. Bahkan angin pun seperti enggan bertiup terlalu kencang. Kota masih terlelap dalam tidur, dan begitu pula Livia, yang sudah tertidur pulas di dada Zayn setelah percakapan manis dan hangat yang membuat jantungnya seperti dilapisi cokelat leleh. Wajahnya begitu damai, bibirnya mengerucut sedikit, dan tangannya menggenggam erat baju tidur Zayn, seolah takut ditinggal.Zayn sendiri sudah nyaris tertidur. Kelopak matanya berat, pikirannya tenang—hingga...“TRAK!!”Bunyi kaca pecah mendadak membuat Zayn seketika duduk tegak, terlonjak dari posisi tidurnya. Livia pun ikut tersentak, matanya membelalak panik.“A-Apa itu?!” pekik Livia, menempel pada tubuh Zayn seperti cicak di dinding.Zayn langsung turun dari ranjang, bergerak cepat ke arah jendela. Salah satu kaca kamar mereka retak parah, dan di bawahnya, tergeletak sebuah batu dengan secarik kertas menempel. Ia mengambilnya, membuka kertas itu dengan rahang yang mulai menegang.Tulisan di sana ha
Mobil kembali melaju di jalanan ibu kota yang mulai sepi menjelang malam. Livia duduk dengan posisi menyamping, menatap wajah Zayn dari samping sambil sesekali mengunyah permen karet yang baru ia beli dari minimarket kampus. Wajahnya santai, tapi pikirannya masih tertinggal di interaksi aneh antara Aisha dan Zayn tadi.“Zayn,” gumamnya pelan, menyerempet manja.“Hm?”“Kamu tahu nggak? Kayaknya Aisha itu bukan tipe orang yang gampang temenan. Tapi anehnya… dia baik ke aku. Padahal waktu pertama ketemu, dia jutek banget. Kayak... kayak satpam yang lagi dighosting,” ujarnya polos.Zayn tak bisa menahan senyumnya yang tipis. “Satpam yang dighosting?”“Iya! Serius! Tatapannya tuh kayak... ‘lo siapa? Jangan sok kenal’,” Livia menirukan wajah jutek Aisha, sambil melotot kocak, membuat Zayn ingin tertawa tapi memilih tetap menjaga gengsi.Namun di balik lelucon Livia, Zayn menyimpan kekhawatiran. Tatapan Aisha tadi bukan tatapan orang sembarangan. Ada kecermatan, ada kewaspadaan yang tak waja
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Mga Comments