Pagi hari.
Cahaya matahari yang menerobos dari celah jendela memenuhi kamar dengan sinar hangat, namun Sahira justru merasa dingin. Dia duduk di tepi ranjang, menatap kosong ke lantai, pikirannya melayang jauh ke kejadian semalam.
Pistol itu terasa begitu berat di tangannya. Suara letusan yang memekakkan telinga masih menggema di kepalanya.
Sergio ...
Sahira menggigit bibirnya, merasakan rasa bersalah yang menyesakkan dada. Dia tidak tahu apakah Sergio masih hidup atau sudah mati. Tapi tatapan lelaki itu sebelum jatuh, senyum getirnya saat darah mengalir dari dadanya, membuat Sahira merasakan sesuatu yang tak bisa dia pahami.
Apakah dia benar-benar telah membunuhnya?
Sahira menggeleng cepat. Tidak, tidak mungkin. Jonathan bilang mereka harus segera pergi. Tidak ada waktu untuk memastikan.
Tapi ... bagaimana kalau benar?
Dia tidak bisa terus seperti ini. Dia harus tahu.
Dengan langkah cepat, Sahira keluar dari kamar. Dia tidak tahu akan mencari siapa, tapi di luar, suara para anak buah