“Kau mau membeli putriku untuk semalam?” ucap pria setengah baya pada temannya di halte bus. “Berapa?” “30 juta.” “Kau gila! Mahal sekali.” pekiknya. Pria itu terkekeh. “Ah, kau tidak tau saja. Dia ini istimewa.” “Apa istimewanya?” “Masih perawan,“ bisiknya. Dijual oleh Ayah angkat, diratukan oleh CEO mesum--Michael, membuat Sahira tak bisa lari kemanapun, sebab Michael tak akan pernah melepaskannya. Bagaimana nasib Sahira ditangan Michael yang mesum sekaligus kejam?
View More"Setahun ini rektornya semedi doang, ya? Percuma bayar UKT mahal-mahal." Omel Serena sambil memutar bola mata malas.
Ia kesal karena ternyata fasilitas lift masih belum tersedia untuk para mahasiswa sedangkan kelas pertamanya hari ini ada di lantai lima. Padahal selama mengambil cuti ia terus membayar ukt penuh.
Ingin sekali rasanya Serena menyumpahi para motivator yang mengatakan bahwa kuliah itu tidak penting. Karena berbekal anggapan para motivator tersebut serta satu dan lain hal, Serena memutuskan untuk cuti setahun lalu. Sekarang beginilah akibatnya, ia tertinggal cukup jauh dengan teman-teman seangkatannya. Yang lain sudah mulai garap skripsi sebagai syarat kelulusan, Serena masih harus berebut dosen dengan adik tingkat. Percuma ia sudah mempunyai banyak ide-ide untuk skripsinya sejak semester awal.
Sayonara cumlaude.
Melirik arlojinya yang sudah hampir tepat pukul delapan gadis itu mempercepat langkah kakinya. Hingga tiba di belokan koridor, Serena terjatuh kebelakang karena menabrak sesuatu atau lebih tepatnya seseorang.
"Oh, shit!" Pekiknya ketika isi gelas amerikano di tangannya nyaris keluar. Untung isinya tinggal setengah.
Serena mendongak untuk melihat laki-laki yang baru saja ia tabrak. Ia mengulurkan tangannya yang tidak sedang memegang gelas kopi, bermaksud untuk meminta bantuan berdiri. Tapi tak ada sambutan. Daffin hanya bergeming melihatnya tanpa ekspresi.
"Bantu gue berdiri."
Cowok berkacamata itu mengangkat kedua alisnya tinggi. "Kenapa gue harus bantu lo?" Tanyanya balik tak merasa bersalah.
"Duh, ya karena gue jatoh. Lo sudah pakai kacamata masih enggak bisa melihat dengan jelas?"
"Lo yang nabrak gue, kalau-kalau kepala lo kena benturan lalu hilang ingatan." Terang Daffin datar.
Ia sedang berusaha mengingat siapa gadis dengan rambut seperti ayam warna-warni di pasar ini. Setahunya gedung jurusan ini bukan termasuk dalam fakultas seni.
Serena tertawa sarkas. "Apa sesusah itu untuk mengulurkan tangan?"
"Apa sesusah itu untuk berdiri sendiri? Lo cacat? Enggak kan?" Balas Daffin sambil mendengus.
"You little piece of moron!" Umpat Serena akhirnya berusaha bangun sendiri.
Makhluk menyebalkan darimana pula ini? Seingat Serena setahun lalu ia masih menjadi salah satu idola kampus paling diincar. Gadis itu membuang napas menahan tangannya untuk tidak menyiramkan laki-laki ini dengan amerikano-nya.
Serena menatap Daffin dengan seksama, mencatat dengan jelas figur wajahnya. "Lo angkatan tahun berapa?"
Daffin yang telah sadar siapa gadis di depannya ini jadi menarik senyum separuh. "Orang yang paling anti sama senioritas sekarang mau semena-mena karena dia senior? Lucu banget."
Benar, Serena sangat amat membenci senioritas bagaimana pun bentuknya. Laki-laki itu ingat dengan jelas bagaimana Serena mengkonfrontasi para senior-nya yang semena-mena ketika Daffin masih menyandang status mahasiswa baru dulu.
Mata Serena menyipit. “Lo tahu gue? Jangan-jangan fans, ya? Oh gue tahu, lo pasti kesal karena gue udah lama enggak datang ke kampus. Nih, sekarang lo bisa lihat gue lagi sepuasnya.”
Daffin melemparkan tatapan aneh-nya agak sedikit tak pecaya dengan kalimat yang ia dengar. “Dalam mimpi sekalipun gue enggak minat untuk jadi fans lo.” Ucapnya datar lalu pergi melewati Serena begitu saja.
Serena mendidih. Seumur hidupnya belum pernah sama sekali pun Serena dilewati begitu saja oleh seorang laki-laki. Ia jadi tertawa tak percaya. Laki-laki lain harusnya merasa beruntung, tapi apa katanya tadi? Serena pun menyusul dengan langkah lebar. Wah, apa cowok itu ingin menantangnya?
"Seriously? Enggak apa-apa, jujur aja. Wajar salah tingkah karena gue terlalu cantik." Kata Serena percaya diri sambil berusaha menyamai langkah dengan Daffin.
Daffin menoleh. "Mau lo apa, sih?"
"Apologyze, dude. The one who got the injury was me. So, say I am sorry. Case closed."
"Injury apanya, lo fraktura juga enggak. Siapa suruh lari-lari di koridor."
"Gue enggak lari!" Tekan Serena kurang terima.
Daffin memutar matanya malas. "Apa itu mengubah fakta kalau lo yang nabrak gue?"
Serena nyaris kehilangan kata. "Can’t you just say ‘sorry my bad’?"
"Sorry thats not my bad." Jawab Daffin dengan menekankan kata per kata.
Serena yang sudah siap meluncurkan berbagai umpatan harus rela menelannya kembali ketika melihat ada seorang dosen yang keluar begitu saja dari salah satu ruangan di dekat mereka. Dosen muda idola semua kalangan mahasiswi hingga ke gedung fakultas sebelah. Galendra Wijaya yang juga diketahui sebagai anak sulung pemilik yayasan kampus mereka ini.
Serena jadi teringat dengan semboyan menjijikan yang dulu sering ia dengar. Sudahi mencari yang sempurna, cukup nikahi anak sulung pewaris tahta. Pak Galendra contohnya. Gadis itu bergidik seketika. Sedangkan di sisi lain, Daffin mengangguk pelan bermaksud menyapa dengan sopan.
"Daffin Pradipta?"
Daffin hanya menarik senyum diplomatis bingung juga ingin membalas apa. Meski mereka saling kenal secara pribadi, namun di area sekitar kampus Ia hanya pernah beberapa kali berurusan dengan dosen ini kala mengurus beberapa proposal.
Sedangkan Serena langsung mengalihkan wajah ketika pandangannya tidak sengaja saling bertabrakan dengan Galendra. Secara formal Serena belum pernah sama sekali diajar oleh dosen satu ini. Lebih tepatnya sengaja menghindari nama Galendra Wijaya sebagai dosen pengampu saat mengisi Kartu Rencana Studi. Tapi untuk semester kali ini, Serena tidak punya pilihan lain. Salah satu mata kuliah wajib 3 sks nya diampu oleh Galendra.
"Serena—"
"Iya, saya pak. Kenapa, pak?" Potong Serena cepat.
Galendra hampir tertawa mendengar respon cepat perempuan itu. Hanya hampir.
"Kalian berdua, sampai bertemu di dalam kelas." Pesannya sebelum melanjutkan langkah.
"Baik, pak." Jawab Daffin sopan.
Serena hanya menahan semua kata-kata yang ingin disampaikan nya dalam tenggorokan. Menatap datar punggung sang dosen hingga hilang di ujung koridor.
"Oh, ternyata lo termasuk cewek-cewek pemuja pak Galen juga." Daffin tak tahan untuk tidak menyeletuk jengah.
Serena kembali pada kenyataan, ia melirik sekilas pada Daffin. "Bukan."
"Sikap lo mengatakan iya."
"Gue bilang, bukan."
Daffin mengangkat kedua tangannya, pura-pura terkejut. "Oh, wow. Lalu apa gue harus memberi lo sebuah penghargaan?"
Serena mendengus keras. "Dengar, siapa nama lo tadi— Kevin? Muffin? Ravi? Dimas? Whatever—"
"Daffin!" Potong laki-laki itu tak terima.
“Okay, Daffin, listen. Tenang aja, sebagai fans lo enggak perlu cemburu karena gue benar-benar bukan bagian dari ciwi-ciwi aneh penggemar dosen itu.” Serena menjelaskan dengan ekspresi lebih serius dari pada seorang pemimpin upacara.
Daffin jadi melengos merasa menyesal telah benar-benar memasang telinganya dengan seksama tadi.
"Gue serius." Kata Serena berusaha meyakinkan.
“Then I don't give a shit.” Seloroh Daffin mulai jengkel.
“I would prefer for your taste than your shit though.” Sahut Serena sambil tersenyum manis.
Daffin menyeringai tipis. “Sorry, but my taste is just not you.”
Serena mengulum bibirnya berusaha untuk tidak merasa tertohok.
“Nama gue Serena.” Ucapnya asal kemudian.
Daffin meninggikan alis melemparkan tatapan skeptisnya. Tentu saja ia tahu nama perempuan di hadapannya ini. Cowok berkacamata tebal itu bahkan tahu dengan jelas siapa Serena dan Daffin yakin gadis itu juga sadar dengan eksistensinya yang sudah cukup terkenal di kampus ini. Serena malah tertawa melihat ekspresi Daffin. Menurutnya cowok itu terlihat menggemaskan.
“Apa gue harus bilang nice to meet you?” Tanya Daffin sarkas kemudian.
“Well, gue lebih sering mendengar ajakan Neflix and chill, sih.”
“Too much information.”
Serena hanya tertawa lebih keras kemudian membiarkan Daffin melangkahkan kaki lebih dulu meninggalkannya. Gadis itu bergeming memperhatikan Daffin dengan tatapan tertarik. Tidak, bukan hanya tatapan. Tapi sepertinya Serena benar-benar tertarik dan sebuah niat untuk bermain pun mulai muncul. Serena menarik seringainya, Let’s play ball, Daffin!
Sejak kehadiran seseorang, Serena hanya menganggap laki-laki sebagai mainan yang bisa menghilangkan suntuk sejenak, seperti sebuah bola bagi seekor kucing. Tapi bagaimana jika Serena tak berhasil menganggap kalau seorang Daffin hanyalah bola mainan baginya?
Michael tidur di pangkuan Sahira, kepalanya terasa berat, seakan seluruh dunia bertumpu di bahunya. Tangannya menggenggam ujung gaun Sahira, erat, seperti anak kecil yang ketakutan kehilangan rumahnya. Sementara itu, jari-jemari Sahira membelai lembut rambutnya, berusaha menenangkan badai yang jelas terlihat di mata pria itu.“Kenapa aku?” gumam Michael lirih, matanya menatap kosong ke arah langit-langit kamar yang temaram. “Kenapa hidupku dipenuhi musuh? Kenapa aku tidak pernah boleh merasa bahagia … walau hanya sejenak?”Sahira menghentikan usapan sejenak, lalu menatap wajah suaminya yang terlihat begitu rapuh malam ini. “Sabar, Michael,” katanya pelan. “Kau kuat. Kau sudah melewati begitu banyak hal.”“Tapi kadang aku lelah,” lanjut Michael, suaranya retak. “Aku ingin hidup biasa saja, Sahira. Bukan sebagai pewaris keluarga Nathaniel. Bukan sebagai pria yang harus terus curiga pada semua orang. Aku ingin bangun pagi tanpa takut ditembak. Aku ingin tertawa tanpa dihantui ketakutan b
Michael berdiri di tengah halaman depan mansionnya yang megah. Langit jingga menyapu sebagian atap bangunan, menciptakan siluet indah yang seharusnya menenangkan. Namun kali ini, keindahan senja tidak membawa ketenangan. Angin bertiup pelan, membawa serta aroma tanah dan debu dari rerumputan kering yang menghampar. Daun-daun kuning kecokelatan berjatuhan, berputar-putar di udara sebelum mendarat di pelataran. Suasana yang biasanya damai itu kini dipenuhi ketegangan. Michael berdiri tegap di hadapan barisan anak buahnya yang telah berkumpul dengan cepat begitu alarm keamanan dibunyikan. Mereka semua mengenakan seragam hitam lengkap, dengan rompi pelindung dan senjata yang siap digunakan kapan saja. Cahaya senja menyinari wajah-wajah mereka—wajah-wajah yang sudah lama bekerja di bawah perintah keluarga Nathaniel, wajah-wajah yang sudah melalui banyak pertempuran, tetapi tetap waspada setiap kali ancaman baru muncul.Wajah Michael dingin dan keras. Sorot matanya tajam, menyapu satu per
Langit senja mulai menguning keemasan di atas vila megah milik Michael yang berdiri anggun di pulau pribadinya. Ombak lembut memecah di bibir pantai, dan angin membawa aroma laut yang menenangkan. Dari balkon lantai dua, pemandangan itu tampak seperti lukisan hidup—sunyi, damai, dan sempurna. Tapi tidak bagi Michael.Ia berdiri dengan ponsel di tangan, tubuhnya kaku, pandangan tajam menatap layar yang berulang kali menunjukkan satu hal yang sama: “Nomor yang Anda tuju tidak dapat dihubungi.”Sudah tujuh kali ia menekan tombol panggil, dan tujuh kali pula usahanya berujung kegagalan. Ia menekan rahangnya, jari-jarinya menggenggam ponsel lebih erat. Keringat dingin membasahi pelipisnya meski udara sore tak begitu panas. Hatinya berdesir tak nyaman. Ini bukan sekadar firasat—ini lebih dari itu.David tidak mungkin mematikan ponsel tanpa alasan. Terlebih, dalam situasi perusahaan yang masih belum sepenuhnya stabil pasca insiden dengan Lucas, David seharusnya melapor setiap hari.Dari dala
David melangkah menyusuri lorong marmer kantor pusat Horison Steel, sepatu kulitnya memantulkan suara berat yang menggema di antara dinding kaca dan lampu gantung kristal. Wajahnya tampak datar, tetapi jika diperhatikan lebih saksama, bibirnya sedikit tertarik ke samping—senyum miring khas seseorang yang baru saja menyaksikan sesuatu yang tak bisa ia cerna dengan logika.Dia menghentikan langkahnya di depan sebuah ruangan luas yang dikhususkan untuk Evelyn Nathaniel. Wanita paruh baya itu duduk anggun di atas sofa berlapis beludru hijau zamrud, mengenakan setelan formal warna krem, rambutnya disanggul rapi, dan di tangannya tergenggam majalah mode kelas atas yang tampak belum sepenuhnya dibaca.“Permisi, Nyonya,” sapa David sopan.Evelyn melirik sekilas lalu menutup majalahnya dengan elegan. “David. Masuklah.”David mendekat dan berdiri tegak. Ia menatap Evelyn beberapa detik sebelum akhirnya berkata pelan, “Sepertinya Bos kita sedang benar-benar … menikmati hidupnya.”Evelyn menaikka
Sahira mencebik, tapi kali ini ada senyum tipis yang terselip di sudut bibirnya. “Iya, aku memang sudah tidak perawan,” ucapnya dengan nada menggoda. “Dan itu karena kamu, si brengsek yang tidak tahu aturan.”Michael terkekeh, lalu mulai menggoyang pelan pinggulnya. “Kau masih menyimpan dendam?”“Enggh ... sedikit,” jawab Sahira, menaikkan satu alis. “Tapi rasanya terlalu enak untuk disesali.”Michael tertawa pelan. “Nah, itu baru lucu, sayang.”Sahira mengerucutkan bibir, pura-pura cemberut. “Tapi jangan pikir aku akan mudah jatuh lagi.”Michael menarik pinggangnya, mendekapnya erat. “Terlambat. Kau sudah jatuh terlalu dalam.”Belum sempat Sahira membalas, bibir Michael sudah menciumnya. Ciuman itu panas, dalam, membuat jantungnya berdebar liar. Sahira awalnya masih pura-pura malas, tapi begitu lidah mereka saling bertemu, tubuhnya melemas. Napas mereka mulai memburu lagi.Michael mengangkat kedua kaki Sahira ke atas pundaknya, memompa lebih cepat pinggulnya. Sahira mendesah hebat, s
Malam hari. Angin berhembus lembut, membawa aroma asin laut dan dedaunan tropis. Di balkon vila yang menghadap pantai, Michael duduk menyandarkan tubuhnya di kursi malas, satu tangan menggenggam gelas anggur merah yang mengilap di bawah cahaya bulan, sementara ponselnya menempel di telinga.Suara lembut Evelyn terdengar di seberang. Meskipun jauh, kekhawatiran dalam nada bicaranya terasa nyata."Bagaimana keadaan kalian di sana? Aman? Nyaman? Tidak ada yang mencurigakan, kan?"Michael menyunggingkan senyum kecil. Tatapannya menyapu gelapnya laut, tenang dan kelam. Deburan ombak mengiringi malam seperti irama tenang dalam pikirannya. "Semuanya baik-baik saja, Mom. Vila ini benar-benar tersembunyi. Tak ada satu pun orang luar yang bisa menemukan kami. Kau tak perlu khawatir."Evelyn menarik napas lega, lalu tertawa pelan, "Bagus. Tapi tetap waspada. Dan jangan lupa, cepat beri aku cucu."Michael terkekeh, nada tawanya ringan namun dalam. "Kami sedang bekerja keras untuk itu."Setelah m
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments