Sahira berdiri di dapur, jari-jarinya dengan cekatan mengiris bawang di atas talenan kayu. Namun, pikirannya melayang jauh. Hinaan Evelyn masih terngiang di telinganya, dan tatapan tajam Sergio masih terasa menusuk meskipun pria itu sudah tidak ada di dekatnya.
Sahira menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri. Tapi perasaan sesak itu tetap ada.
Dia menggigit bibirnya, berusaha keras menahan air mata yang menggenang di pelupuk matanya.
'Aku harus kuat. Aku harus bertahan.' batinnya.
Namun, saat ia menunduk dan melihat bayangannya di permukaan panci yang berkilau, dadanya semakin terasa sesak. Ia mengangkat tangan, menyeka sudut matanya dengan cepat sebelum seseorang melihatnya.
Namun terlambat.
Sebuah tangan hangat tiba-tiba menyentuh pundaknya dengan lembut. Sahira tersentak, buru-buru menoleh.
Michael berdiri di sana, menatapnya dengan sorot mata sendu.
Sahira langsung menunduk, menyeka air matanya sekali lagi dengan punggung tangannya. Dia tersenyum kecil, berusaha terlihat tega