Sahira berdiri di dapur, jari-jarinya dengan cekatan mengiris bawang di atas talenan kayu. Namun, pikirannya melayang jauh. Hinaan Evelyn masih terngiang di telinganya, dan tatapan tajam Sergio masih terasa menusuk meskipun pria itu sudah tidak ada di dekatnya.Sahira menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri. Tapi perasaan sesak itu tetap ada.Dia menggigit bibirnya, berusaha keras menahan air mata yang menggenang di pelupuk matanya.'Aku harus kuat. Aku harus bertahan.' batinnya.Namun, saat ia menunduk dan melihat bayangannya di permukaan panci yang berkilau, dadanya semakin terasa sesak. Ia mengangkat tangan, menyeka sudut matanya dengan cepat sebelum seseorang melihatnya.Namun terlambat.Sebuah tangan hangat tiba-tiba menyentuh pundaknya dengan lembut. Sahira tersentak, buru-buru menoleh.Michael berdiri di sana, menatapnya dengan sorot mata sendu.Sahira langsung menunduk, menyeka air matanya sekali lagi dengan punggung tangannya. Dia tersenyum kecil, berusaha terlihat tega
“Jangan berbohong.”Ia tidak bodoh. Ada sesuatu yang terjadi.Tubuh Sahira sedikit gemetar, napasnya masih belum teratur, dan sorot matanya menyiratkan ketegangan yang tidak bisa disembunyikan.“A-aku tidak berbohong.”Tanpa menunggu lebih lama, Michael melangkah mendekat, “Adikku mengganggumu?”Sahira tersentak kecil. Matanya membesar sejenak sebelum dengan cepat menggeleng. “T-tidak, Tuan. Tidak ada yang terjadi.”Michael menatapnya lebih lama, mencoba membaca kebohongan yang begitu jelas di mata wanita itu.Ia menghela napas panjang, jemarinya mengepal di sisi tubuhnya, mencoba menahan emosi yang mulai menggelegak dalam dadanya.Sergio benar-benar mencari masalah.Namun, melihat Sahira yang tampak begitu tegang, Michael memutuskan untuk tidak mendesaknya sekarang.“Sudah cukup untuk malam ini. Pergilah istirahat,” ucapnya dengan nada lebih lembut.Sahira langsung menggeleng cepat. “Aku belum selesai mencuci piring.”Michael mendesah, mengamati wanita di hadapannya. Mata itu begitu
Michael duduk di ruang kerjanya, rahangnya mengeras, matanya tajam menatap layar monitor di depannya.Rekaman CCTV di mansionnya terus berulang di layar, menampilkan perbuatan menjijikkan Sergio terhadap Sahira.Tangannya mengepal.Darahnya mendidih.Napasnya memburu, dadanya naik turun dalam amarah yang hampir tak terbendung.Brak!Gelas di tangannya pecah berkeping-keping di lantai, suara nyaringnya menggema di seluruh ruangan.Michael tak peduli.Tatapannya gelap.Dengan langkah cepat, ia keluar dari ruangannya, tubuhnya dipenuhi aura mengerikan.“Sergio!!!” Teriakannya mengguncang seluruh mansion.Hening.Tidak ada jawaban.Para pelayan yang kebetulan melintas langsung merunduk ketakutan, tak berani mendekat saat melihat ekspresi Michael yang sedang marah.Hening semakin panjang tapi akhirnya David muncul, dengan tergesa-gesa."Tuan, Sergio sudah keluar," lapornya cepat.Mata Michael menyala penuh kebencian.Tanpa berpikir dua kali, ia bergegas menuju garasi.Setibanya di sana, Mi
Sahira menggigil saat melihat Sergio yang berdiri di ambang pintu.Laki-laki itu sempoyongan, bau alkohol menyengat dari tubuhnya. Matanya sayu, tetapi sorotnya berkilat aneh, gelap, liar, dan mesum“Sahira … aku datang,” gumamnya dengan suara serak, bibirnya melengkung membentuk senyum miring yang membuat bulu kuduk Sahira berdiri.Jantung Sahira berdegup kencang.“Sergio, keluar dari kamarku!” serunya, suaranya bergetar antara marah dan takut.Sergio tertawa kecil. Lalu menutup pintu di belakangnya, membuat ruangan itu semakin terasa sempit dan pengap.“Kau manis sekali … tubuhmu seksi, ah ....” bisiknya, berjalan terhuyung mendekat. “Aku tidak bisa berhenti memikirkanmu.”Sahira mundur, tangannya meremas seprai.“Sergio, kalau kau tidak keluar, aku akan berteriak!”ancamnya.Sergio tidak peduli. Dia terus berjalan, dan akhirnya berdiri di tepi ranjang. “Berteriaklah … aku ingin mendengarnya,” bisiknya, suaranya terdengar menggoda tetapi beracun.Sahira tahu ini berbahaya. Tangannya
Deg!Sahira tersentakDarahnya seolah membeku, napasnya tercekat di tenggorokan.“Sergio, lepaskan!” pekiknya spontan, tubuhnya berusaha meronta.Namun, saat ia berbalik dengan panik, matanya justru bertemu dengan sepasang mata tajam milik Michael.Sahira langsung diam. Dadanya masih naik turun akibat keterkejutan barusan.Michael menatapnya dengan sorot serius. “Kenapa kau selalu bereaksi seperti itu?” tanyanya dingin.Sahira menunduk, merasa malu sekaligus lega. “Aku … aku kira Sergio …”Mata Michael langsung berubah lebih gelap. Rahangnya mengeras. “Si4l, dia telah membuatmu trauma,” desisnya pelan.Sahira buru-buru menggeleng. “T-tidak. Aku hanya kaget saja.”Michael menatapnya dalam, lalu menarik napas panjang untuk meredam emosinya. “Aku tidak akan membiarkan dia menyentuhmu lagi,” ucapnya dengan nada tajam.Sahira hanya diam, entah kenapa, hatinya merasa sedikit lebih tenang mendengar kata-kata Michael.Michael kemudian mengalihkan perhatiannya ke wastafel. Ia mendecak pelan. “
Michael dan Sahira terkejut saat melihat Nyonya Evelyn berdiri di pintu dapur dengan ekspresi terkejut dan marah. Wanita paruh baya itu menatap keduanya dengan mata lebar, seolah tidak percaya apa yang sedang terjadi.“Apa yang sedang kalian lakukan?!” tanya Nyonya Evelyn dengan suara tinggi dan penuh amarah.“Shit! Mengganggu saja.”Michael dan Sahira langsung berpisah, berusaha menutupi tubuh mereka yang masih terbuka. Michael mengenakan celananya kembali, sementara Sahira berusaha menutupi tubuhnya dengan rok pendeknya.Michael berjalan mendekat ke ibunya, berusaha menjelaskan situasi yang sedang terjadi. “Mom, aku ingin berbicara denganmu tentang Sahira,” ucapnya dengan suara tenang.Nyonya Evelyn menatap putranya dengan mata yang masih lebar dan marah. “Apa-apaan ini, Mike?” tanyanya dengan suara yang masih tinggi.Michael mengambil napas dalam-dalam sebelum menjelaskan. “Sahira bukanlah pelayan, Mom. Dia adalah ... kekasihku.”Nyonya Evelyn terkejut, matanya semakin lebar dan ma
Sore hari.Michael melangkah masuk ke dalam toko perhiasan mewah dengan penuh keyakinan. Toko itu berkilauan dengan cahaya yang memantul dari berbagai koleksi perhiasan mahal yang dipajang di etalase kaca. Interiornya elegan, dengan lampu kristal yang menggantung di langit-langit dan karpet merah yang melapisi lantainya.Seorang pegawai wanita berpakaian rapi segera menyambutnya dengan senyum profesional. “Selamat datang, Tuan. Ada yang bisa saya bantu?”Michael mengangkat dagunya sedikit, matanya tajam menyapu seluruh toko. “Aku butuh cincin terbaik yang kalian punya. Yang paling mahal, paling berkelas.”Mata pegawai itu berbinar, menyadari bahwa pelanggan di hadapannya bukan orang biasa. Dengan anggun, dia mengisyaratkan Michael untuk mengikutinya menuju bagian khusus di dalam toko.Mereka berhenti di depan sebuah etalase kaca yang berisi koleksi eksklusif. Dengan hati-hati, pegawai itu mengambil sebuah kotak beludru hitam dari dalam laci dan membukanya di hadapan Michael.“Inilah s
Michael menatap Karin yang masih terduduk di lantai dengan wajah pucat. Napas wanita itu tersengal, sisa ketakutan masih jelas di matanya.“Sudah aman sekarang,” ucap Michael, menepuk pundak Karin dengan ringan. “Aku harus pergi. Aku ada urusan penting malam ini.”Karin mengangkat wajahnya, menatap Michael dengan sorot mata penuh harap. “Mike, tolong jangan pergi dulu. Aku masih takut.”Michael menghela napas, melihat sekeliling apartemen Karin yang sudah berantakan setelah insiden tadi. Ia memang khawatir dengan kondisi Karin, tapi Sahira sedang menunggunya. Malam ini ia sudah berencana melamar wanita yang benar-benar ingin ia jadikan pendamping hidup.“Sudah tidak ada bahaya, Karin. Kalau masih takut, kunci pintumu rapat-rapat. Aku akan menyuruh seseorang untuk berjaga di luar,” kata Michael dengan nada lembut, tetapi tegas.Karin mengepalkan tangannya, merasa cemburu mendengar nada Michael yang seolah ingin segera pergi. Tapi ia menahan diri, tetap menjaga ekspresi wajahnya agar te
Mobil yang dikendarai Lucas melaju mulus membelah gelapnya malam. Musik klasik berdentum pelan dari speaker, namun tidak menenangkan suasana hati sang pengemudi. Di balik kemudi, Lucas bicara sendiri, seperti tak mampu menahan hasrat untuk meluapkan kejengkelannya terhadap Michael.“Bocah sok suci ...,” gerutunya.“Mentang-mentang pewaris, merasa bisa menginjak semua orang, memerintah semua orang. Tapi lihat sekarang, Michael ... kau hanya boneka. Aku yang menarik benangnya. Aku yang akan mengakhiri segalanya.”Lucas tertawa pendek, tajam dan getir. Jemarinya mengetuk-ngetuk setir dengan irama tak sabar. Dia sudah membayangkan ekspresi Michael saat semuanya terbongkar—hancur, marah, dan sendirian.Di belakang, dalam mobil lain yang lampunya sengaja diredam, Michael dan David membuntuti dengan cermat. Michael mengenakan topi gelap dan masker hitam, matanya tajam mengamati setiap gerak Lucas dari kejauhan. Di sampingnya, David duduk dengan napas sedikit berat, luka-luka di wajahnya belu
Setelah keluar dari tempat rahasia, Michael membanting pintu mobilnya dengan kasar. Napasnya memburu, rahangnya mengeras, dan matanya memerah karena amarah yang tak terbendung. Tangan kanannya mengepal di atas kemudi, sementara tangan kirinya dengan cepat menyalakan mesin.“Brengsek!” desisnya lirih, tapi penuh racun. Mobil sport hitamnya melesat keluar dari parkiran seperti peluru, ban berdecit di aspal.Di dalam mobil, Michael meninju setir sekali, dua kali. “David! Kau berani mengkhianatiku?! Setelah semua kepercayaan yang kuberikan, kau mengiris punggungku dari belakang! Dasar pengkhianat busuk!”Giginya bergemeletuk karena menahan amarah. Tangannya bergetar saat menggenggam ponsel. Dia menekan kontak dengan nama David dan menempelkan ponsel ke telinga, matanya fokus pada jalanan malam yang sepi namun terasa sempit oleh emosinya sendiri.“Halo, Tuan,” suara David terdengar datar di ujung sana, seperti biasa, tanpa curiga.Michael mendesis, menahan diri agar tak langsung berteriak.
Sahira dan Michael saling berpandangan. “Permisi, Pak, aku bawa kopi untuk Anda ....” “Oliv!”Sahira masih duduk di sofa, mengenakan blus putih elegan dan rok selutut. Ia menatap tajam ke arah Olivia yang baru saja membuka pintu dan masuk sambil membawa nampan berisi kopi."Tuan, ini kopinya," ucap Olivia lembut, senyum kecil menghias wajahnya yang dipoles rapi. Ia berjalan pelan, langkahnya menggoda seperti model catwalk.Michael mengerutkan alis. "Tapi, saya tidak memintanya.""Kan biasanya Tuan sering meminta saya buatkan kopi," jawab Olivia cepat. Dia meletakkan gelas kopi di meja kaca, lalu mundur dua langkah. Namun sebelum sepenuhnya berbalik menuju pintu, ia menepuk ringan bokongnya sendiri sambil mengedipkan mata ke arah Michael.Gerakan itu singkat, tapi jelas. Sahira melihatnya. Dan matanya langsung menyipit.Keheningan sejenak merayap ke ruangan. Olivia melangkah keluar dengan lenggokan pinggul yang dibuat-buat, meninggalkan aroma parfum mahal dan kejanggalan yang mencolo
“Sergio ...”Sahira memanggil pelan, tapi cukup untuk membuat dua pria di depannya menoleh bersamaan. Michael menatapnya penuh tanya, sementara Sergio menajamkan mata, seolah tak percaya Sahira menyapanya dengan nada selembut itu.Ruangan terasa hening sesaat. Ketegangan menggantung di udara, seperti benang tipis yang bisa putus kapan saja.Sahira menarik napas dalam-dalam. “Aku ingin bicara. Hanya sebentar.”Sergio memandang Michael, seolah meminta izin, dan Michael mengangguk singkat. Dengan langkah pelan, Sergio mendekati Sahira, berdiri berhadapan dengannya. Jarak mereka cukup dekat untuk mendengar detak jantung masing-masing, tapi cukup jauh untuk menyimpan semua luka lama di antaranya.“Ada apa?” tanya Sergio datar. Tidak dingin, tapi juga tidak hangat.Sahira menelan ludah. Tangannya mengepal di sisi tubuhnya. “Aku ... aku ingin minta maaf,” ucapnya akhirnya. “Untuk malam itu. Waktu aku—waktu aku menembakmu.”Sergio tidak langsung bereaksi. Matanya menatap dalam ke arah Sahira,
Setelah selesai makan siang. Sahira merunduk manja ke dada Michael, tubuhnya melingkar seperti kucing jinak yang mencari kehangatan.Tangannya yang lembut merayap ke lengan kekar Michael, menyusuri kulitnya perlahan, seperti ingin mengukir rasa rindu yang ia tahan sejak pagi.Michael masih menatap layar ponselnya, membaca satu demi satu pesan masuk yang tak pernah berhenti berdatangan. Tapi fokusnya buyar saat suara lembut Sahira membisik halus di telinganya.“Apa ponselmu lebih menarik dari aku?”Pertanyaan itu terdengar manja, tapi ada nada menggoda di dalamnya. Michael menoleh. Sekejap saja, namun cukup untuk melihat tatapan jengkel sekaligus merayu dari Sahira. Tanpa banyak bicara, dia mematikan ponsel, meletakkannya di atas meja kaca dengan suara klik pelan, lalu membalikkan tubuhnya untuk menatap perempuan yang kini bersandar di lengannya.“Tentu saja tidak, sayangku,” ucap Michael pelan, suaranya berat dan penuh senyum. “Kenapa kamu manja begini seperti kucing birahi, hm?”Sahi
Berita tentang bersatunya Horison Steel dan ALX Group mengguncang jagat bisnis internasional. Di berbagai stasiun televisi, situs berita ekonomi, hingga media sosial, nama dua perusahaan raksasa itu terus menjadi perbincangan hangat. Para analis menyebut ini sebagai salah satu penggabungan korporasi paling berpengaruh dalam satu dekade terakhir. Alasan utamanya, bukan hanya karena kekuatan modal dan pengaruh pasar dari dua entitas itu, tetapi juga kabar bahwa dua pemimpin utamanya, Michael Nathaniel dan Alexa J, akan segera menikah.Michael duduk di ruang kantornya yang luas dan mewah. Ruangan itu sunyi, hanya denting jam dan desiran AC yang terdengar samar. Di hadapannya, layar laptop masih menampilkan berbagai laporan merger dan reaksi pasar yang positif. Saham perusahaannya melonjak tajam, investor dari berbagai belahan dunia mulai mengalihkan dana mereka ke sektor baja dan konstruksi. Ini seharusnya menjadi hari yang membanggakan, namun Michael justru menatap layar dengan raut wa
Pagi hari.Cahaya layar monitor memantul di wajah Michael, menyoroti ketegangan yang menggelayut di dahinya. Tangannya bergerak cepat, mengetik dan membuka beberapa file rahasia keuangan miliknya. Pupil matanya menyempit saat angka-angka tak wajar muncul di hadapannya. Beberapa akun sudah tidak aktif. Aset digitalnya hilang. Transfer tidak sah dilakukan dalam jumlah besar. Dan anehnya, semuanya dilakukan tanpa terdeteksi oleh sistem pengamanannya."Ini tidak masuk akal ...," desisnya lirih namun sarat amarah.Jantungnya berdegup lebih cepat. Semua dokumen yang dia buka menunjukkan hal yang sama, pencurian sistematis. Sesuatu yang dirancang dengan sangat cermat dan dilakukan oleh seseorang yang paham betul struktur keamanan keuangan perusahaannya."Siapa yang berani melakukan ini padaku?"Dengan gerakan kasar, Michael menutup laptopnya dan berdiri. Kursi kerjanya terhempas ke belakang. Dia melangkah keluar dari ruang kerja pribadinya menuju ruang tengah, wajahnya memerah karena emosi.
Suasana pusat perbelanjaan mewah di tengah kota terasa ramai, tapi juga hangat. Lampu-lampu kuning keemasan memantul dari lantai marmer yang mengilap. Michael dan Sahira berjalan berdampingan, menyusuri lorong-lorong toko dengan jemari saling terkait erat. Mereka tampak seperti pasangan bahagia yang tengah menikmati waktu santai bersama—meskipun kenyataannya, Michael sengaja membawa Sahira ke sini agar ia melupakan sedikit masalah-masalah mereka belakangan ini.Perut yang berkeroncong membuat mereka berhenti di food court.“Cepat saji dulu, ya? Kita sedang buru-buru,” ucap Michael sambil menunjuk salah satu outlet burger terkenal.Sahira mengangguk, “Tapi kamu yang antre. Aku duduk dulu.”Michael tertawa, mengacungkan jari. “Tentu, Tuan Putri.”Ia memesan dua porsi besar burger, kentang goreng, dan minuman soda sambil sesekali melirik ke arah Sahira yang sedang duduk sambil membuka ponsel. Wanita itu terlihat sangat cantik meski hanya mengenakan atasan santai dan celana jeans putih.
“Mommy!”Michael hampir tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Sosok wanita paruh baya berwajah anggun dan penuh wibawa itu berdiri di tengah ruang tamunya, mengenakan mantel wol berwarna krem. Wajahnya berseri-seri, seolah kedatangannya adalah hadiah terbesar yang pernah dia siapkan untuk sang putra.“Hai, sayang. Kenapa wajahmu terkejut begitu? Kau tidak suka Mommy pulang?” tanya Evelyn sambil tersenyum, meski ada sorot tajam tersembunyi di balik matanya.Michael yang semula terkejut mencoba memasang wajah ramah. Dia segera berjalan mendekat dan memeluk ibunya erat-erat.“Tidak, bukan begitu. Aku suka Mommy datang. Tapi kenapa Mommy tidak memberi kabar dulu? Aku pasti menjemput Mommy di bandara.”Evelyn terkekeh kecil, mengelus rambut putranya yang sudah lama tak ia sentuh.“Sengaja, ingin memberimu kejutan.”Namun seiring pelukan mereka mereda, pandangan Evelyn langsung beralih ke arah lain—ke arah seorang wanita muda yang berdiri gugup di sudut ruangan. Sahira. Dengan gaun sederh