"Mathilda?!"
Kengerian baru mencengkeram Lyra bahkan saat bibir dingin dan kasar itu menyambar bibirnya tanpa peringatan. Nama asing yang dilirihkan Leonhard sesaat sebelum menerjang Lyra terasa lebih menakutkan daripada tatapan dingin pria itu di altar. Leonard tidak hanya membenci Lyra, tapi ia bahkan tidak melihat dirinya. Dengan sisa tenaga, Lyra mendorong dada keras Leonhard. "Tu-Tunggu! Yang Mulia! Anda salah—" Leonhard menggeram, cengkeramannya menguat. Sang Grand Duke melepaskan ciumannya sesaat. "Ya, aku yang salah. Karena memang itu yang selalu terlihat," ujar Leonhard, suaranya terdengar lirih. Leonhard kembali melumat bibir Lyra, kasar, menuntut. Lyra meronta, memalingkan wajahnya dengan susah payah. "Yang Mulia, tolong ... Hentikan! Saya bukan dia! Saya bukan Mathilda!" teriak Lyra, suara parau menembus paksaan itu, berharap menyadarkan pria yang mencumbuinya. Leonard melepaskan ciumannya lagi, tertawa serak, getir. Lalu berdesis di depan wajah Lyra. "Kau memang bukan adikku Mathilda. Mathilda tidak serendah dan sehina Putri dari wilayah d’Argelline! Kau itu hanya wanita munafik yang ingin naik takhta dengan cara menjadi pengantinku!" hina Leonhard. Lyra menggeleng pelan, wajahnya pucat pasi. "Yang Mulia... Saya... Akhh!" Leonard menarik rambut Lyra, memaksa Lyra menatap matanya yang sedikit tidak fokus. "Yang Mulia... Saya bukan..." "DIAM!" bentak Leonhard, mendorong Lyra hingga punggung wanita itu membentur pilar ranjang. "Kau pikir aku akan tertipu?! Kau bersekongkol dengan Kaisar! Kau itu sama busuknya dengan mereka!" Semua rumor busuk tentang Lavinia, semua kebencian Leonhard pada intrik istana, semua ditumpahkan pada Lyra. Leonard tidak tahu. Ia buta. Ia marah. Ia kecewa karena mengira jika Lyra atau yang dikenal sebagai Lavinia meminta Kaisar melakukan pernikahan ini dengan memberikan wilayah miskin di tempatnya tinggal sebagai tawaran. "Aku sudah cukup tahu semuanya!" sungut Leonhard, tangannya menarik gaun pengantin Lyra dengan gerakan cepat. KRAAKK! Suara kain sutra dan renda yang terkoyak terdengar memekakkan. "Aaaa..!" Lyra menjerit. Udara dingin langsung menggigit kulit bahu Lyra yang terbuka. Kehancurannya dimulai dengan suara itu. "Yang Mulia, tolong beri saya kesempatan untuk menjelaskan." Mengabaikan, Leonhard mendorong Lyra ke atas ranjang mewah itu. Ranjang berkanopi empat tiang itu terasa seperti altar persembahan. "Menjelaskan apa? Kau berada di sini sudah menjelaskan semuanya," ucap Leonhard sambil melepaskan jubah kebesarannya dengan perlahan. Suara gesekan kain terdengar seperti penanda dimulainya eksekusi, bukan malam pernikahan. Lapisan demi lapisan pakaian kebesaran itu jatuh ke lantai, tak ubahnya atribut kemuliaan yang dicampakkan demi satu hal: pelampiasan. Dengan mata membara, Leonhard menunduk ke arah tubuh Lyra yang terjerembap di ranjang. Tubuh itu besar, kokoh, terpahat seperti tubuh tersebut memang diasah untuk medan perang. Lyra tak bisa bergerak di bawah kendali sang Grand Duke. “Ini yang kau inginkan, bukan?” gumamnya lirih, tajam seperti sembilu. “Naik kasta. Menyusup ke dalam keturunan bangsawan. Maka aku akan berikan...” Jemarinya menyusup ke balik sisa kain yang masih menggantung di tubuh Lyra, menyibak tirai terakhir seolah membuka pintu menuju panggung kebohongan. Lyra ingin mengatakan kebenarannya, namun melihat keadaan Grand Duke seperti ini, keberaniannya seketika menciut. Gaun pengantin itu akhirnya jatuh sempurna, mengalir seperti air dari tubuh Lyra yang kini gemetar. Mata Leonhard menelusuri lekuk tubuh Lyra—bukan dengan kagum, tapi dengan benci. “Gerbang surgawi palsu,” desisnya. “Kau merawat tempat ini hanya untuk menjebakku, ya?” Lyra menahan napas. Kali ini ia tidak bisa lagi menyembunyikan ketakutan dalam dirinya. “Yang Mulia... ini salah. Tolong... jangan lakukan...” pinta Lyra pelan saat Leonhard memaksa membuka kedua kakinya. Namun permintaan Lyra tak digubris. “Kau hanya cukup menikmati dan kau akan mendapatkan keturunan dari bangsawan terhormat sesuai dengan apa yang kalian rencanakan." Leonard menunduk, wajahnya begitu dekat dengan wajah Lyra yang basah oleh air mata. “Lady Lavinia,” gumam Leonhard. “kau wanita penuh tipu daya. Maka aku akan membuat malam ini berkesan... karena keluargamu dengan bangga menerima perjodohan ini dari Kaisar.” Tombak kebanggaan Leonhard—panas, berat, dan menegang karena amarah yang lama terpendam—mengarah ke pusat portal surgawi Lyra. Lyra menahan dada Leonhard dengan panik, mencoba agar tombak daging itu tidak menerjang dirinya. "Yang Mulia, jika Anda melakukan ini, Anda akan menyesalinya karena aku bukan Lady Mathilda maupun Putri Silva----Akkh...!" suara Lyra berubah rintihan. Dengan gerakan brutal, Leonhard menyodok tombak kesaktiannya masuk, merobek keheningan dengan kekuatan yang mengguncang ranjang. “AAAKH!” Jeritan Lyra menggema, tajam dan melengking. Tubuhnya melengkung, tangan mencengkeram seprai hingga kukunya patah. Portal surgawi Lyra—yang tak pernah dibuka oleh cinta—dijebol oleh kemarahan yang menyamar sebagai hak. “Ugh ... Begitu sempit...” desah Leonhard, bukan karena kagum, tapi curiga. “Kau sengaja menyimpannya baik-baik untuk malam ini? Strategi yang rapi." Leonhard mendorong lebih dalam, tubuhnya menegang, dan tangannya menekan kedua pergelangan tangan Lyra ke atas kepala—mengekangnya seperti tawanan di ranjang penghakiman. "Berhenti… aah… tolong…" rintih Lyra dengan napas terputus-putus, namun jeritannya terhenti oleh gerakan Leonhard yang semakin liar. Setiap gerakan lelaki itu membawa rasa terbakar, dan bukan hanya karena daging yang menyatu—tetapi karena rasa dirampas, diinjak, dan dihakimi tanpa ampun. “Kau menggelinjang seperti wanita suci,” Leonhard mencibir di sela desahannya, “tapi di dalam... kau sama licinnya dengan lidah para pembual istana!” “Uuh… aah… i-it—hhnngh!” Gempuran demi gempuran mengguncang tubuh Lyra. Setiap dorongan menusuk bukan hanya ke dasar tubuh, tapi menancap seperti paku di makam harga dirinya. Mata Lyra membelalak. Tubuhnya terasa patah. Tapi ia tidak mati. Ia masih hidup. Dan itu menyakitkan. “Rasakan ini! Ini yang kalian incar, kan?" “Ugh! T-Tidak! Saya … Saya tidak seperti yang Mulia pikirkan!” pekik Lyra, suaranya pecah, putus asa. Tangan Leonhard kini mencengkeram panggul Lyra, mengangkatnya lebih tinggi agar bisa menghantam lebih dalam. Posisi mereka seperti pembantaian yang direstui oleh sunyi malam. Tubuh Lyra membentur sandaran ranjang setiap kali Leonhard menghempas ke arahnya. “Berapa banyak pria yang kau khayalkan akan menidurimu? Atau cukup satu, asal membawa gelar?!” Desahan kasar, nafas tajam, dan lenguhan penuh amarah menggema. Lyra tak lagi bersuara. Mulutnya terbuka, megap-megap seperti ikan di daratan—mencari oksigen yang tidak tersedia dalam kamar penuh dosa itu. Mata Lyra menatap langit-langit, air mata mengalir tanpa henti. Tubuhnya menyerah, tetapi pikirannya menolak mati. “Cukup… tolong hentikan. Ini menyakitkan...” bisik Lyra dalam hati. Leonhard menghentak satu kali lagi. Yang terakhir. "Aaaa..!" Tubuh Grand Duke itu menegang, bibirnya mengerang—sebuah suara yang bukan kepuasan, tapi tumpahan luka batin yang lama membusuk. Dan dalam keheningan yang tiba-tiba... ia jatuh menindih Lyra, napasnya berat, gemetar, perlahan mulai tenang. Lyra tidak menyentuhnya. Tidak mendorongnya. Ia hanya berbaring dengan mata terbuka, memandang nanar ke langit-langit kastil yang dingin. "Aku tidak menyangka, aku berakhir seperti ini," batin Lyra. ___ Cahaya pagi menerobos masuk dari sela tirai, menyapu lantai kamar dengan sembarut warna pucat. Sinar itu tak pernah terasa dingin seperti pagi ini. Di ranjang yang semalam menjadi saksi penghinaan, Lyra duduk memeluk lututnya, tubuhnya diselimuti kain seadanya. Sejak Lyra terbangun, sudah tak ada Grand Duke di dalam kamar itu. Lyra terbangun sendirian, tubuhnya sakit. Tapi yang lebih menyakitkan adalah kenyataan bahwa ia tidak bisa berkata apa-apa. “Aku tidak bisa membela diriku sendiri. Aku... bahkan tidak sempat mengucapkan siapa diriku sebenarnya…” Tatapan Lyra kosong, menatap bekas noda merah di seprai yang sudah mengering. “Aku tidak pernah meminta ini. Tidak meminta gelar. Tidak meminta gaun pengantin. Tidak meminta seorang pria yang bahkan tak tahu siapa aku...” Kepala Lyra tertunduk. “Dan tetap saja... takdir memaksaku berjalan di jalur ini. Jalur yang digariskan oleh mereka yang tak peduli apakah aku akan hancur atau tidak.” Lyra menghela napas panjang, lalu berbisik pelan. Tok, tok! Suara ketukan pelan memecah keheningan. Lyra mendongak. Bukan suara pelayan. Bukan suara langkah berat Leonhard. “Masuk...” ucap Lyra pelan, ragu. Kreik! Pintu terbuka perlahan. Dan muncul seorang wanita cantik, anggun, dan sangat berkelas. "Kakak Ipar, apakah aku mengganggumu?"