"Bolehkah aku masuk?"
Suara lembut itu membuat Lyra, yang sedang meringis menahan nyeri saat mencoba duduk di ranjang, menoleh kaget. Sosok wanita cantik berdiri di ambang pintu yang sedikit terbuka, cahaya pagi membingkai rambut pirang sutranya. Lyra merapatkan selimut di tubuhnya secara refleks. "La-Lady...?" tanya Lyra gugup. Wanita itu tersenyum hangat, menampakkan lesung pipit samar. "Mathilda Vordane," wanita anggun itu memperkenalkan diri, melangkah masuk diikuti beberapa pelayan yang mendorong troli makanan. "Adik dari Leonhard." Lyra tertegun sesaat oleh kecantikan dan keanggunan wanita di hadapannya. Kulitnya seputih kelopak bunga lily, matanya biru teduh. "Ah... ya, tentu saja. Masuklah, Lady Mathilda." Lyra mencoba tersenyum. "Anda... Anda sangat cantik." Pipi Mathilda bersemu merah jambu samar mendengar pujian tulus itu. Ia mendekat ke arah ranjang dengan langkah ringan. "Terima kasih, Kakak Ipar," balas Mathilda lembut. "Panggil saja aku Mathilda. Maaf datang sepagi ini. Aku tidak melihatmu di ruang makan semalam, jadi kupikir mungkin kau belum makan sejak tiba di sini." 'Rumor itu salah,' batin Mathilda lega, mengamati wanita di hadapannya. 'Mereka bilang Putri Lavinia angkuh dan sulit didekati. Tapi wanita ini, meski tampak pucat dan sedikit ketakutan, sorot matanya lembut dan sopan. Aku senang aku memutuskan datang sendiri untuk melihat istri dari kakakku.' Hati Lyra sedikit menghangat oleh perhatian tak terduga ini. Sebuah kebaikan kecil di tengah dinginnya kastil Vordane. Kehangatan itu cepat terusik saat ingatan Lyra mengingat kejadian semalam—Leonhard yang menyebut nama 'Mathilda' dalam kabut gairah kasar yang Leonhard lakukan. 'Apakah Grand Duke Leonhard mempunyai hubungan terlarang...? Tidak, tidak mungkin.' Pikiran mengerikan itu membuat Lyra kembali gelisah. Menyadari perubahan raut wajah Lyra, Mathilda cepat mengalihkan perhatian. "Oh... iya, Maafkan juga perlakuan Kak Leon semalam, atau mungkin sikapnya pagi ini jika kalian sudah bertemu. Dia... dia bisa terlihat sangat dingin dan kejam, tapi percayalah, itu bukan dirinya yang sebenarnya. Ada banyak beban yang ia pikul." Lyra menggigit bibir, menatap Mathilda. "Beban?" tanya Lyra lirih, rasa penasaran mengalahkan kegelisahannya sesaat. Mathilda tersenyum tipis, sedikit sedih. "Cerita panjang untuk lain waktu." Ia memberi isyarat pada pelayan. "Sekarang, sarapan dulu. Aku menemanimu, ya? Kakak pasti sangat lapar." Pelayan mulai menata hidangan hangat di meja kecil dekat ranjang. Aroma roti panggang dan daging asap memang menggoda perut Lyra yang kosong. "Terima kasih, Mathilda," ucap Lyra, mencoba membalas dengan senyum tulus. Lyra beringsut perlahan ke tepi ranjang, menahan ringisan saat nyeri di tubuhnya kembali terasa. "Mari kubantu." Mathilda dengan sigap membantu Lyra duduk. Baru saja Lyra hendak mengambil sepotong roti, ketukan keras terdengar di pintu. Tok, tok, tok! Seorang pelayan masuk tergopoh-gopoh, membungkuk dalam. "Maaf mengganggu, Yang Mulia Grand Duchess, Lady Mathilda. Kami diperintahkan untuk segera mengantar pakaian ganti dan mempersiapkan rendaman mandi untuk Grand Duchess." Mathilda menghela napas pendek. "Sepertinya waktuku habis." Ia berdiri. "Kakak Ipar, maaf aku harus pergi. Mungkin, Kakak perlu waktu sendiri untuk bersiap." Ia tersenyum sekali lagi pada Lyra. "Nikmati sarapannya. Jika butuh sesuatu, jangan ragu panggil pelayan atau... panggil aku." "Terima kasih banyak, Mathilda. Atas... semuanya." Mathilda mengangguk anggun, lalu keluar bersama para pelayan pembawa sarapan, meninggalkan Lyra bersama pelayan lain yang kini berdiri kaku menunggu perintah. ___ Grand Duke Leonhard Vordane berjalan cepat menyusuri koridor kastil, buku-buku jarinya memutih karena terkepal erat. Hentakan sepatu Grand Duke di lantai terdengar keras, seirama dengan detak jantungnya yang masih berpacu karena rasa amarah dan rasa jijik—terutama pada dirinya sendiri. "Bodoh! Apa yang kulakukan semalam?!" rutuknya dalam hati, bayangan kejadian di kamar pengantin kembali menghantamnya. Rasa pening sisa anggur atau apapun itu masih sedikit terasa, tapi tidak bisa menutupi rasa muak pada kehilangannya kontrol. Melampiaskan semuanya pada wanita itu... wanita yang seharusnya hanya formalitas! Leonhard mendengus kasar. "Dia memang pantas mendapatkannya. Wanita licik seperti 'Lavinia' itu... dikirim Kaisar untuk menjebakku. Aku yakin dia punya agenda tersembunyi." Tapi sejujurnya, ada bagian dari dalam diri Leonhard yang terusik. Bukan hanya karena tindakannya semalam, tapi juga oleh wanita itu sendiri. Tatapan mata wanita itu saat veil terbuka—ada ketakutan di sana, ya, tapi juga... ketenangan aneh yang tidak sesuai dengan rumor liar tentang Putri Lavinia. Dan kecantikannya yang tak terduga itu... mengganggu. "Tidak! Aku tidak boleh berpikir seperti itu!" Leonhard menggeleng keras, mencoba mengenyahkan pikiran tersebut. "Dia sama saja seperti yang lain. Menjijikkan. Mungkin dia menikmati apa yang terjadi semalam? Wanita seperti itu ... membuatku semakin muak." Saat itulah Leonhard melihat sosok anggun bergaun biru langit berjalan dari arah berlawanan—dari arah kamar pengantin terkutuk itu. Mathilda. Alis Leonhard langsung bertaut. Ia mempercepat langkahnya, menghampiri adiknya. Ekspresi Leonhard mengeras seketika. "Mathilda. Dari mana saja kau?" tanya Leonhard, datar. Leonhard tidak suka jika Mathilda berada dekat-dekat dengan area wanita itu. Dan dia sangat yakin jika adiknya itu menemui Silvania. Mathilda sedikit terkejut melihat Leonhard, lalu tersenyum manis seperti biasa, senyum yang selalu berhasil meluluhkan sedikit lapisan es di hati Leonhard. "Ah, Kak Leon! Aku baru saja dari kamar Kakak Ipar. Mengantarkan sarapan untuknya. Kasihan, Grand Duchess tampak sangat pucat dan lelah." Rahang Leonhard mengeras mendengar panggilan 'Kakak Ipar' yang terdengar begitu tulus dari bibir Mathilda. "Sudah kubilang, jangan terlalu dekat dengannya." Teguran itu keluar lebih dingin dari yang Leonhard kira. "Wanita sepertinya—dari kalangan rendah yang tiba-tiba mendapat gelar—biasanya punya banyak tujuan tersembunyi. Jangan mudah tertipu oleh sikap manisnya." Mathilda mengerutkan kening, tidak setuju. "Tapi, Kak Leon, rumor itu sepertinya tidak benar. Lady Lavinia..." Mathilda menggunakan nama itu dengan hati-hati, "... dia sangat sopan tadi. Dan dia juga cantik sekali. Lady Lavinia bahkan memujiku," ucap Mathilda dengan pipi sedikit merona. "Lady Lavinia tidak tampak seperti wanita sombong sama sekali. Lagi pula, dia bukan lagi 'wanita terpinggirkan'. Dia sekarang Grand Duchess Vordane. Istrimu, Kak." Pembelaan Mathilda tulus. Leonhard mendengus skeptis, menepis pikiran polos adiknya. "Itu hanya taktik, Mathilda. Akal-akalan murahan untuk mengambil simpati. Dia tahu siapa dirimu, tentu saja dia akan bersikap manis padamu. Jangan naif." Leonhard menatap Mathilda lekat. "Jaga jarak darinya. Aku tidak ingin kau terlibat dalam permainan licik wanita itu." Mathilda ingin membantah lagi, bibirnya terbuka, tapi sebelum Mathilda sempat bicara, suara teriakan panik terdengar dari ujung koridor, semakin mendekat. "Tolong...!" Seorang pelayan wanita berlari tergopoh-gopoh ke arah mereka, wajahnya pucat pasi penuh ketakutan, napasnya tersengal-sengal. "Yang Mulia Grand Duke! Lady Mathilda! Tolong! Gawat!" Leonhard dan Mathilda sama-sama menoleh tajam ke arah pelayan yang tampak histeris itu. "Ada apa?! Bicara yang jelas!" bentak Leonhard, insting militernya langsung mengambil alih. Pelayan itu berhenti di depan mereka, membungkuk dalam sambil terisak. "Grand Duchess... Yang Mulia Grand Duchess Lavinia... Beliau... beliau tiba-tiba muntah darah di kamarnya dan tidak sadarkan diri!" Deg! Mata Leonhard melebar karena kaget dan tak percaya. Di sebelahnya, Mathilda menutup mulutnya dengan kedua tangan, matanya membelalak ngeri. "Apa?! Muntah darah?" kaget Leonhard."Harus cepat!"Pikiran itu memacu Leonhard lebih kencang dari cambukan pada kudanya. Hutan di sekelilingnya mulai diselimuti bayang-bayang senja yang memanjang, membuat jarak pandang semakin terbatas. Setiap suara gemerisik daun atau patahan ranting membuat jantung Leonhard berdegup waspada. Di punggungnya tersandang busur dan kantung panah, sementara pedang Vordane yang setia tergantung di pinggangnya, siap terhunus.'Dasar wanita bodoh itu!' umpat Leonhard dalam hati, wajahnya mengeras karena cemas dan kesal. 'Jika terjadi sesuatu padanya sebelum pesta pengangkatan resmi dari Kaisar, posisiku di Utara bisa goyah. Kaisar akan punya alasan untuk mencampuri urusan Vordane lebih jauh. Aku harus membawanya ke Ibukota dalam keadaan utuh, suka atau tidak suka!' Ini bukan tentang cinta atau kasih sayang pada 'Lavinia'. Ini tentang politik, tentang kekuasaan, tentang harga diri Vordane.Tuk, tik, tak, tik, tuk! Kuda Leonhard meringkik, menerobos semak belukar dengan kecepatan penuh. Leonha
“Damai sekali. Sekarang, aku sudah memiliki bukti tanaman yang dibawa oleh Mathilda. Jika dugaanku benar, aku harus memancing Mathilda melakukan kejahatannya di depan Grand Duke dan Count Albercht.” Pikiran itu memberi Lyra sedikit semangat di tengah kemelut yang ia hadapi.Setelah Mathilda menghilang beberapa saat yang lalu, Lyra menikmati kesendiriannya dalam memanen buah-buah yang cantik itu. "Wah, dapat banyak. Sepertinya aku juga harus membuat kue dan membagikannya pada para pelayan dan staf," gumam Lyra pelan. Wanita bermata emerald itu mulai bersenandung lagu masa kecil. Ia melangkah lebih dalam ke hutan, matanya berbinar menemukan rimbunnya pohon beri yang menjanjikan. Warna merah dan biru kehitaman buah-buahan itu terlihat memanggilnya. Sesekali, Lyra menyuapi buah yang dia petik itu ke mulutnya.“Hhhmmm … segar sekali!” Lyra memejamkan mata, merasakan rasa asam—manis yang lumer di mulutnya. Ia pun kembali memetik, senandung Lyra menjadi teman di kesunyian hutan. Namun,
Di ruang duduk kediaman d’Argelline yang sederhana tetapi berusaha tampak mewah, Lady Ilmae mondar-mandir dengan gelisah, kipas di tangannya bergerak cepat. Selembar perkamen dengan segel Kekaisaran tergeletak di atas meja. Undangan resmi untuk Grand Duke Leonhard Vordane dan istrinya menghadiri pesta pengangkatan gelar di Ibukota, satu minggu lagi.Saudagar Thalor d’Argelline, suaminya, duduk dengan santai di kursi, mengamati istrinya dengan ekspresi bosan.Lady Ilmae berhenti mondar-mandir, menatap Thalor tajam sambil bersedekap dada. "Ini semua salahmu, Thalor! Sudah kubilang kita harus segera mengirim Margareth atau setidaknya memastikan si anak harammu itu melakukan tugasnya dengan benar! Sekarang lihat? Undangan dari Kaisar datang lebih dulu!" Suara Ilmae meninggi." ... Bagaimana kita menjelaskan pada Kaisar jika Lyra belum mendapatkan bukti apapun? Bagaimana jika Kaisar bertanya tentang tugas yang ia berikan pada 'Lavinia'?!" Tambah Ilmae. Thalor mendengus, meletakkan cangki
Tiga hari telah berlalu sejak insiden kematian misterius pelayan bar. Leonhard duduk di meja kerjanya yang besar, tatapannya tajam mengarah pada Theo yang berdiri di hadapannya dengan sikap hormat namun santai."Jadi, Theo? Apa laporanmu setelah tiga hari mengawasi 'Grand Duchess'?" Suara Leonhard dingin, menyiratkan ketidaksabaran.Theo menghela napas pelan. "Yang Mulia, selama saya mendampingi Grand Duchess—belajar mengenai administrasi Vordane dan mengenali lingkungan kastil, saya tidak menemukan satu pun tanda-tanda aneh atau perilaku mencurigakan."Alis Leonhard terangkat. "Tidak ada sama sekali?""Tidak ada, Yang Mulia. Grand Duchess belajar dengan sangat baik dan cepat. Ia sopan pada semua pelayan, meskipun beberapa dari mereka jelas masih menjaga jarak. Dan..." Theo berhenti sejenak, "… Grand Dhucess bahkan beberapa kali terlihat di area dapur, mencoba membantu atau sekadar berbincang dengan para juru masak. Mereka bilang beliau cukup ramah."Leonhard mendengus kesal. Hasil in
"Ssstt ...." pria yang menepuk pundak Lyra meletakkan jari telunjuknya di bibir. "Jangan bersuara, apa Yang Mulia ingin ketahuan sedang mengintai?" Lyra hampir terkena serangan jantung melihat pria berambut gondrong itu. Dan pertanyaan pria itu membuat Lyra merasa seperti tertangkap basah, meskipun ia hanya penasaran. Theo dengan sigap menarik lengan Lyra sedikit, menjauh dari celah pilar tempat Lyra bersembunyi. "Sungguh tidak berkelas seorang Grand Duchess membuntuti anggota keluarga Vordane lainnya. Apalagi menguping pembicaraan pribadi." Tegur Theo. Lyra menarik lengannya dari cekalan Theo. "Saya tidak membuntuti atau menguping. Saya hanya ... curiga melihat Lady Mathilda memberikan..." "Curiga?" Theo menebas ucapan Lyra, Ia sedikit memiringkan kepala. "Dengan segala hormat, Yang Mulia, di kastil ini, yang paling patut dicurigai saat ini adalah Anda." Kata-kata itu menusuk. "Jadi, bersikaplah seperti wanita bangsawan yang baik dan terhormat. Jika Anda tidak ingin menambah
Perintah Kaisar Edmure telah dikeluarkan dari Ibukota kekaisaran. Surat resmi bersegel kini dalam perjalanan panjang menuju Utara, membawa undangan pesta pengangkatan yang penuh agenda tersembunyi. Namun, undangan dari Ibukota membutuhkan waktu untuk melintasi pegunungan dan hutan belantara menuju Kastil Vordane. ___"Kemana ya?" Lyra tampak celingak-celinguk di sebuah persimpangan koridor kastil megah yang terasa membingungkan. Wanita berambut hitam legam dengan mata hijau emerald yang kini tampak lebih hidup itu memperhatikan arah dengan saksama. Saat ini, Lyra sudah tampil lebih segar, ia mengenakan gaun informal berwarna hijau lumut yang senada dengan iris matanya, salah satu pilihan paling 'sopan' yang ia temukan."Ke kiri Sayap Timur... tempat Count dan Lady Celeste," gumam Lyra. "Ke kanan Sayap Barat... entah apa di sana. Berarti lurus ini... oh, penunjuknya bilang Sayap Utara! Ruang kerja Grand Duke pasti di sana!" Seru Lyra pelan pada dirinya sendiri, lalu melangkah dengan
"Kau benar-benar wanita sinting!" sungut Leonhard. Pria bermata biru laut itu segera berpaling. Tidak tahan melihat tubuh polos istri palsunya. Debaran jantung Leonhard terasa maraton, melebihi saat ia berlari menerjang musuh. Di belakang tubuh Leonhard, Lyra memasang wajah polos seperti tak berdosa. Wajar bukan, seorang istri bertelanjang di depan suaminya? Di mana letak kesalahannya? Mengapa suaminya seperti melihat hantu, saat Lyra menawarkan diri? "Yang Mulia, saya hanya ingin menyapa. Bukankah membungkuk adalah sebuah kewajiban? Dan ... Melayani?" tanya Lyra polos. Leonard memijat pangkal hidungnya dengan frustrasi. Lagi-lagi ia mendapatkan skakmat dari Lyra, membalikkan perkataannya tempo itu. Ya, patuh dan sopan. "Dengar, itu bukan sapaan! Sapaanmu terlalu vulgar!" ujar Leonhard. Sret! Leonhard menarik kain sutra tirai pembatas, ia melempar ke belakang tanpa menoleh. "Tutupi tubuh kurusmu! Kau pikir aku anjing pemburu yang suka menyantap tulang? Dan to
Pagi menjelang, setelah malam penuh teror dan pagi yang diwarnai tuduhan serta perintah baru untuk diawasi, Lyra kini tengah berendam dalam kolam pualam berisi air hangat yang menebarkan aroma mawar dan lavender. Uap tipis mengepul, memburamkan tepian ruangan mewah itu. Pelayan telah menyiapkan segalanya—minyak wangi, handuk tebal dan lembut, bahkan segelas kecil jus buah dingin di meja marmer kecil di sisi kolam. Tujuan Lyra hari ini, memulai peran barunya, belajar, dan mencari tahu seluk-beluk kastil terkutuk ini.'Dilayani seperti ini... disiapkan makanan tanpa harus mencuri dari dapur, tidur di ranjang empuk tanpa takut cambukan di pagi hari... rasanya seperti mimpi,' pikir Lyra sambil memejamkan mata, membiarkan kehangatan air memeluk tubuhnya yang masih terasa nyeri. Lyra tidak pernah membayangkan akan merasakan kenyamanan seperti ini. 'Benar-benar seperti seorang putri sungguhan.'Faktanya, kenyamanan itu datang dengan harga yang terlalu mahal. Sekilas bayangan masa lalunya
Brak!Leonhard mendobrak pintu ruang dokumentasi dengan keras, membuat kertas-kertas di meja berhamburan pelan. Amarah atas keputusan ayahnya dan sikap menantang Lyra masih membara.Di dalam ruangan yang dipenuhi rak-rak buku dan gulungan perkamen, seorang pria berambut pirang panjang yang diikat rapi ke belakang, mengenakan kemeja putih berompi hitam, mendongak dari pekerjaannya. Wajah yang dingin dan aristokratik itu menatap Leonhard tanpa terkejut, hanya sedikit jengkel. Dia adalah Theo, sekretaris pribadi sekaligus teman satu angkatan Leonhard waktu di tempat pelatihan. "Yang Mulia Grand Duke, bisakah Anda setidaknya mencoba mengetuk pintu terlebih dahulu? Pintu yang baru saja Anda tendang itu sudah mengalami sepuluh kali perbaikan sejak saya menjadi sekretaris Anda." Ucapan Theo datar, tanpa takut, lebih seperti teguran pada teman lama.Leonhard tak bergeming mendengar sindiran Theo. Ia melangkah masuk, menjatuhkan dirinya dengan kasar ke sofa kulit di depan meja kerja Theo. D