LOGIN"Whoa ... Putri Lavinia, dari Baron ternyata memiliki wajah yang cantik! Jauh berbeda dari rumor!" bisik seorang bangsawan, suaranya tertahan namun cukup jelas memecah keheningan sesaat di Katedral Agung.
"Kecantikan yang begitu alami... tapi lihat matanya, ada ketakutan di sana. Dan dia sangat kurus," timpal suara lain dari kerumunan tamu. Riak kekaguman bercampur keterkejutan itu menyebar cepat setelah kerudung pengantin wanita—yang kini dikenal sebagai Putri Lavinia Estel d’Avarel—diangkat, menampakkan wajah Lyra yang pucat namun memikat di bawah cahaya jendela kaca patri. Di antara para tamu, Lady Mathilda menyipitkan matanya yang teduh, lalu berbisik pada Darren Vordane di sebelahnya, "Kak ... Ini sangat aneh, untuk wanita dari perbatasan terpencil, tidak mungkin wanita itu memiliki wajah yang begitu terawat, simetris, dan aristokratik. Bahkan sikapnya terlalu tenang..." Darren hanya mendesis sebagai balasan, meremehkan, "Cantik atau tidak, tetap saja darahnya tidak pantas." Di depan altar, Grand Duke Leonhard Vordane, sang mempelai pria, menatap Lyra lekat dengan mata dinginnya yang tajam. Leonard tidak menyangkal akan kecantikan Lyra yang tak terduga itu, namun dalam benaknya ia langsung melabeli Lyra dengan, 'Menjijikkan.' Perhatian yang akan ditimbulkan oleh kecantikan ini adalah komplikasi yang tidak Leonhard inginkan dalam pernikahan yang murni formalitas demi syarat menjadi pemimpin di wilayah Utara. Lebih dari sekadar penampilan, Leonhard menangkap kejanggalan lain: ketenangan dan tatapan mata wanita ini sangat berbeda dari laporan yang ia terima. Jika Putri Lavinia merupakan wanita keras kepala, congkak, dan liar. "Ekhmm..." Pendeta berdehem. "Grand Duke Leonhard Ulric Vordane, bersediakah Anda mengambil wanita ini... sebagai istri Anda yang sah?" Semua mata kini tertuju pada sang Grand Duke yang terkenal dingin. Tanpa jeda atau keraguan, Leonhard menjawab tegas, "Aku bersedia." Jawaban itu bagai palu godam bagi Lyra. Kemudian giliran Lyra. "Dan Anda, Putri Lavinia Estel d’Avarel, bersediakah Anda mengambil pria ini... sebagai suami Anda yang sah?" Tatapan menusuk Leonhard terasa menguncinya. Lidah Lyra kelu, pikirannya dipenuhi bayangan ibunya di penjara, ancaman dari Lavinia asli, dan aura dingin pria di hadapannya. Ia sadar ia tak punya pilihan. Dengan susah payah, Lyra mengeluarkan jawaban lirih yang bergetar, "Sa ... Saya bersedia." Pertukaran cincin berlangsung kaku dan cepat. Lalu tibalah saat yang ditunggu sekaligus ditakuti: ciuman pernikahan. Leonhard berbalik, mendekat pada Lyra. Refleks, Lyra memejamkan matanya rapat, mempersiapkan diri. Namun, bibir Leonhard tak pernah menyentuh bibirnya. Lyra hanya merasakan hembusan napas dingin tepat di pipinya saat Leonhard membungkuk dan berbisik tajam di telinga Lyra, "Jangan pernah mengharapkan apapun dari pernikahan ini. Kau itu hanya... wanita menjijikan yang secara tidak langsung dijual oleh keluargamu demi gelar seorang Grand Duchhes." Deg! Hinaan itu menghantam Lyra seperti sambaran petir. 'Menjijikkan?!' batin Lyra berteriak kaget dan perih. Leonhard langsung menegakkan tubuh, melangkah mundur selangkah, wajah sang Grand Duke kembali datar seolah tak ada yang terjadi. Tugas formalitasnya telah ia tunaikan di depan publik. Begitu pendeta menutup pemberkatan, Leonhard tanpa menunggu atau menoleh, langsung berbalik dan berjalan tegap menyusuri altar, meninggalkan Lyra yang masih membeku karena syok dan hinaan, sendirian di hadapan ratusan pasang mata. Beberapa tamu menatapnya kasihan, yang lain mencibir dalam hati. 'Dan aku akhirnya hanya berdiri di sini sendirian tanpa ada yang peduli?' rintih Lyra dalam hati. Dalam kebingungan dan keputusasaan itu, seorang pelayan wanita tua berseragam Vordane yang kaku menghampiri Lyra. "Mari, Yang Mulia Grand Duchess," kata pelayan tua itu, tanpa emosi. "Saya akan mengantar Anda ke kamar Anda." Lyra tersentak, mengangguk kosong. "Ah... Iya," jawab Lyra kikuk. ___ Di ruang makan utama Kastil Vordane, lilin-lilin panjang menerangi meja makan. Keluarga inti Vordane duduk dalam formasi yang tertata rapi. Count Albrecht Vordane, ayah Leonhard, duduk di kursi utama dengan sikap tegas dan berwibawa. Di sebelahnya, Lady Celeste Vordane, wanita anggun namun dingin, mengamati situasi dengan tatapan tajam. Daren Vordane, anak sulung, duduk santai dengan bahu bersandar ke kursi. Di sebelahnya, Mathilda Vordane. Leonhard, duduk sejajar namun lebih ke ujung kanan, diam. Sorot matanya lurus ke arah piring, meski sesekali matanya melirik ke arah Mathilda dan Daren yang berbicara terlalu akrab. Kursi kosong di samping Leonhard—kursi untuk Lyra—dibiarkan begitu saja. Tidak diundang? Tentu saja tidak. “Pernikahan tanpa pesta. Sungguh... cara menyambut istri dari kalangan rendahan yang cukup—menarik.” Darren membuka suara. Mathilda melirik cepat ke arah Darren. “Kak Darren, cukup. Pengantin wanita terlihat sangat ketakutan. Kakak tak perlu menambah tekanan padanya, bukan? Meski begitu, wanita itu sekarang adalah adik iparmu dan kakak iparku," tegur Lady Mathilda. Daren bersiul pelan. “Ketakutan ... atau pura-pura, hum?" Pewaris itu menatap Mathilda. "Dear, wanita rendahan dari wilayah terpinggirkan tahu caranya menarik simpati untuk dikasihani." Darren menoleh ke Leonhard dengan senyum mengejek. “Apa dia sepadan dengan adikku?" Leonhard menatap tajam. "Ini hanya kesepakatan. Dan titah Kaisar tak perlu terlalu dianggap serius, bukan?" Ucapan sinis Leonhard membuat Count Albrecht sedikit mengerutkan kening, sementara Lady Celeste hanya mengamati putranya dengan ekspresi tak terbaca. Darren justru tertawa kecil, tampak puas dengan reaksi dingin adiknya. "Ah, benar. Seharusnya aku tidak perlu membesar-besarkan pernikahan ini. Jadi ... Mari bersulang untuk merayakan hari di mana kau akan menjadi pemimpin wilayah Utara, Adik!" Darren mengangkat gelas anggurnya tinggi-tinggi, senyum miring terpasang di bibirnya, matanya menantang Leonhard. Count Albrecht Vordane mengangguk setuju pada Stabilitas dan kekuasaan di Utara adalah prioritas. Lady Celeste Vordane tetap diam, matanya yang tajam mengawasi interaksi kedua putranya. Mathilda menunduk sedikit, tampak tidak nyaman dengan ketegangan di meja itu. Leonhard merasakan rahangnya mengeras. Ia benci dipojokkan seperti ini, terutama oleh Darren yang selalu menikmati setiap kesempatan untuk membuatnya terlihat enggan atau lemah. Tapi menolak bersulang untuk kepemimpinan wilayah Utara akan dianggap sebagai pembangkangan atau keraguan oleh ayahnya. "Bersulanglah, Leonhard. Untuk masa depan Vordane." perintah Count Albrecht. Dengan helaan napas nyaris tak kentara, Leonhard meraih gelas anggur di hadapannya. Daren menyeringai lebih lebar. "Untuk Grand Duke Leonhard Vordane! Penguasa baru Utara!" Leonhard mengangkat gelasnya sekilas, sama sekali tanpa minat, lalu menenggak anggur merah itu habis dalam satu tegukan. "Ughh..." Rasa pahit yang aneh terasa lebih kuat di lidah Leonhard. Ia meletakkan gelas kosong itu di atas meja. "Aku permisi!" pamit Leonhard. Tanpa menunggu jawaban, Leonhard berbalik dan melangkah keluar dari ruang makan dengan langkah lebar dan cepat, meninggalkan keheningan canggung di belakangnya. Beberapa langkah menyusuri koridor batu yang remang, kepalanya mendadak terasa sangat pening. "Aw ... Ada apa dengan penglihatanku?" Leonard menggelengkan kepalanya. Tak kuat, Leonhard pun berhenti, menyandarkan bahunya ke dinding, memejamkan mata sejenak. 'Anggur sialan itu...' pikir Leonhard lagi, kali ini dengan sedikit rasa curiga. Tapi Leonhard menepisnya dengan cepat. "Mungkin aku hanya kelelahan." Leonard kembali melangkah. ___ Lyra duduk sendirian di tepi ranjang besar berkanopi empat tiang. Sejak ia diantar ke kamar ini setelah upacara, tidak ada seorang pun yang datang. Tidak ada makanan, tidak ada minuman, hanya kesunyian yang memekakkan dan dingin yang meresap ke tulang. Gaun pengantinnya masih melekat, terasa berat dan menyesakkan. Perut Lyra terasa melilit karena lapar dan cemas. Pikirannya berkecamuk hebat. Bisikan Leonhard di telinganya terus terngiang. "Menjijikkan?" Leonard membenci Lyra bahkan sebelum mengenal siapa Lyra. "Haruskah aku mengatakan yang sebenarnya?" Dilema itu merobek hati Lyra. "Jika aku mengaku bukan Lavinia... akankah yang mulia Grand Duke membunuhku? Atau... akankah dia melihatku sebagai korban juga? Mungkin dia akan membantuku... membantu Ibuku?" Harapan bodoh itu sekilas muncul dalam benak Lyra. "Dia juga tampak tidak menginginkan pernikahan ini. Dan Kaisar Edmure... dia jelas punya rencana licik. Aku harus memberitahukan perihal ini pada Grand Duke!" Tapi rasa takut segera menepis harapan itu. "Bagaimana jika dia semakin marah karena ditipu? Bagaimana jika dia menyerahkanku pada Kaisar? Atau lebih buruk... menyiksaku sendiri? Dan bagaimana dengan ancaman Lavinia terhadap Ibu?" "Tidak... aku tidak bisa mengambil risiko itu. Tapi hidup dalam kebohongan ini, di bawah tatapan curiga dan kebencian sang Duke, terasa seperti neraka tersendiri. Belum lagi tugas mata-mata dari Kaisar... Aku terjebak. Benar-benar terjebak." Lyra frustrasi dan putus asa. Ia merasa begitu kecil, begitu sendirian di kastil asing yang megah namun dingin ini. Krek! Suara pintu kamar terbuka pelan membuat Lyra tersentak kaget. Siluet tinggi dan tegap Grand Duke Leonhard Vordane memenuhi ambang pintu, menjulang dalam cahaya lilin yang temaram. Wajah Leonhard sulit dibaca dalam bayangan, tapi aura dinginnya terasa semakin pekat. Ada sesuatu yang aneh dalam cara pria itu berdiri, sedikit tidak stabil? Lyra refleks berdiri dari tepi ranjang. Ini kesempatannya! Mungkin satu-satunya. Ia harus mencoba! Mengabaikan rasa takutnya, ia melangkah maju dengan gemetar. "Yang Mulia Grand Duke! Saya..." Sebelum Lyra sempat melanjutkan kalimatnya, Leonhard bergerak maju, menarik tubuh Lyra dalam pelukan. "Mathilda...," ucap Leonhard sebelum bibirnya mendarat di bibir Lyra.Empat Tahun Kemudian...Waktu adalah hakim yang paling adil. Ia tidak memihak pada raja ataupun pengemis; ia hanya terus berjalan, mengubur luka lama dan menumbuhkan benih baru. Empat tahun telah berlalu sejak jatuhnya Kaisar Edmure dan berdirinya Kerajaan Singa Utara yang baru. Dunia telah berubah, dan bagi mereka yang pernah terlibat dalam perebutan kekuasaan itu, takdir telah memberikan tempatnya masing-masing.Di pulau karang terpencil di tengah samudra yang ganas, sebuah "peradaban" kecil telah terbentuk. Bukan peradaban emas, melainkan peradaban batok kelapa.Di tengah pasir putih, berdiri sebuah gubuk miring yang menyedihkan. Dindingnya terbuat dari batang pohon kelapa yang diikat asal-asalan dengan akar gantung, dan atapnya dari daun-daun kering yang bocor di sana-sini. Di atas pintu masuk yang sempit, tergantung sebuah papan kayu hanyut bertuliskan arang "Mansion d'Argelline".Thalor mengenakan celana pendek dari karung goni bekas, sedang memukul-mukul kerang dengan batu.
Malam itu, setelah Lyra dan putri kecil mereka, Leona, tertidur lelap, Leonhard tidak bisa memejamkan mata. Hatinya terlalu penuh. Ia pergi ke ruang kerjanya yang diterangi lilin, mengambil pena bulu dan perkamen terbaik. Leonhard harus membagi kebahagiaan ini kepada satu-satunya keluarga yang tersisa di masa lalunya.Leonhard menulis dengan tangan yang mantap namun hati yang lembut.Surat untuk Darren:Kepada Saudaraku, Darren,Di tengah dinginnya salju Utara, kehangatan baru telah lahir. Malam ini, aku menjadi seorang Ayah. Putriku, Leona Valeska Vordane, telah hadir ke dunia dengan mata biru yang mengingatkanku pada Ibu, dan semangat yang kuharap setangguh dirimu di masa-masa terbaikmu.Saat aku menatap wajahnya, aku teringat masa kecil kita. Sebelum ambisi meracuni darah kita, sebelum dinding istana memisahkan kita. Aku menulis ini bukan sebagai Raja kepada pengasingan, tetapi sebagai adik kepada kakaknya.Darah Vordane terus mengalir, Darren. Dan aku berharap, di mana pun kau be
Malam itu, angin utara mengamuk di luar dinding batu Istana Singa Utara. Badai salju terburuk di musim itu menghantam jendela-jendela tinggi, menghasilkan suara siulan yang menakutkan. Di dalam kamar utama yang hangat oleh perapian raksasa, Lyra sedang duduk di kursi goyang, mencoba menyulam baju bayi kecil—kegiatan yang disarankan Tabib untuk menenangkan pikiran. Namun, jarum di tangan Lyra tiba-tiba berhenti.Sebuah rasa sakit yang tajam dan meremas menjalar dari punggung bawah ke perutnya. Bukan tendangan bayi biasa. Ini berbeda. Ini... mendesak."Ahhh..." desis Lyra, menjatuhkan sulamannya.Leonhard, yang sedang duduk di seberang ruangan membaca laporan perbatasan atau berpura-pura membaca sambil diam-diam memperhatikan istrinya, langsung melempar kertas-kertas itu ke udara."Lyra?! Ada apa? Apa itu? Apa kau tertusuk jarum? Apa ada pembunuh? Katakan padaku!" Leonhard elompat dari kursi, hampir tersandung karpet.Lyra mencengkeram lengan kursi, napasnya tertahan. "Leon... kurasa.
Dua bulan telah berlalu sejak kedatangan mereka di Istana Singa Utara. Perut Lyra kini telah membesar dengan megah, menandakan usia kandungan tujuh bulan.Sang Ratu, yang biasanya gesit, kini berjalan dengan gaya yang ia sebut anggun, namun Leonhard sebut bebek yang membawa telur di pantatnya. Pagi itu, udara musim semi mulai menghangatkan dataran salju, meski lapisan es masih menyelimuti taman istana. Rutinitas pagi telah ditetapkan oleh Tabib: jalan santai selama tiga puluh menit untuk melancarkan peredaran darah.Bagi Leonhard, ini bukan sekadar jalan pagi. Ini adalah operasi militer pengawalan tingkat tinggi.Leonhard berjalan di samping Lyra, matanya memindai setiap inci jalan setapak yang sudah dibersihkan dari salju. Tangannya melingkar di pinggang Lyra, siap menopang jika istrinya itu bahkan hanya berpikir untuk terpeleset."Hati-hati, ada kerikil di sana. Angkat kakimu sedikit lebih tinggi, Sayang.""Huuff!" Lyra mendesah panjang, memutar bola matanya. "Leon, itu kerikil seu
Angin utara berhembus, membawa butiran salju halus yang berkilauan seperti debu berlian di bawah sinar matahari sore yang pucat. Rombongan kereta kerajaan akhirnya melambat saat roda-rodanya menyentuh jalanan batu granit yang telah dibersihkan dari es.Di depan mereka, menjulang Istana Singa Utara. Berbeda dengan kemegahan emas Ibukota yang mencolok, istana ini memiliki keanggunan yang buas dan dingin. Menara-menaranya yang runcing terbuat dari batu hitam pekat, kontras dengan hamparan putih abadi di sekelilingnya.Namun, dari setiap jendela kaca yang tinggi, memancar cahaya oranye hangat dari perapian yang tak pernah padam, seolah jantung istana itu berdegup dengan api yang hidup.Kereta utama berhenti tepat di pelataran dalam yang tertutup atap kaca tinggi, melindungi mereka dari hujan salju.Pintu kereta dibuka oleh pengawal berzirah tebal berbulu serigala. Leonhard turun lebih dulu, sepatu botnya berdentum mantap di lantai batu. Ia berbalik, mengulurkan kedua tangannya ke arah Lyr
Perjalanan ke Utara adalah sebuah ekspedisi besar, bukan hanya perjalanan darat. Konvoi kerajaan yang mereka bawa tidak kurang dari dua puluh kereta, termasuk pengawal pribadi Leonhard, keluarga inti Theo, Vania, Geon, Grace, dan anak-anak, serta rombongan penting yang Lyra bawa dari Ibukota: tiga orang tabib spesialis kandungan, dua orang koki pribadi yang ahli dalam nutrisi, dan puluhan pelayan yang loyal. Perjalanan itu akan memakan waktu kurang dari seminggu berkat rute yang telah disiapkan sebelumnya, tetapi Lyra sedang hamil besar, memasuki trimester ketiga, dan setiap guncangan kecil terasa seperti goncangan besar bagi Leonhard. Kereta Leonhard dan Lyra adalah mahakarya teknik Utara. Interiornya dihiasi bulu binatang mewah dan kayu gelap, dilengkapi perapian kecil dan tempat tidur yang dilapisi peredam kejut hidrolik canggih yang meredam benturan. Namun, kemewahan ini tidak bisa sepenuhnya meredakan kecemasan Leonhard. Lyra berbaring di tempat tidur, perutnya yang membesar