Penulis yang Terlambat Datang
Setelah Konvensi Kata ditutup dengan pembacaan Piagam Narasi Baru, suasana Kota Kata berubah. Bukan hanya karena langit kembali tenang dan halaman halaman tidak lagi terlipat dari luar, tapi karena kesadaran baru telah lahir. Setiap tokoh kini diberi pena, bukan hanya sebagai simbol, tetapi sebagai alat. Mereka bukan lagi pengikut alur, melainkan pencipta alur itu sendiri.
Lena duduk di teras depan madrasah. Di tangannya, selembar halaman kosong yang belum ditulisi. Ia tahu halaman itu bukan untuk dirinya. Halaman itu disiapkan untuk siapa pun yang siap menulis cerita berikutnya, tanpa batas, tanpa instruksi paksa. Kai duduk di sebelahnya, menatap langit yang mulai kembali dipenuhi bintang.
"Masih ada yang belum menulis," kata Kai. "Masih banyak yang takut."
Lena mengangguk pelan. "Menulis itu menakutkan. Tapi diam lebih mematikan."
Dari ujung lorong madrasah, Ustadz Faris berjalan pelan membawa segulung manuskrip yang usang. Di belakangnya, Arx mengikuti