Seorang polisi muda menepuk pundakku dengan iba. Dia mengatakan bahwa laporan autopsi tidak bisa keluar secepat itu. Dia menghiburku sebentar, lalu menyuruhku pulang lebih dulu.
Saat itu tepat tengah malam. Aku kebetulan melewati alun-alun kota yang ramai. Semua orang merayakan datangnya libur panjang.
Aku menatap sederet catatan panggilan keluar yang tidak dijawab di ponselku dan tiba-tiba merasa seolah dunia telah mencampakkanku.
Ribuan jendela rumah bersinar terang. Tapi rumahku tidak lagi menjadi salah satunya.
Di rumah, aku duduk dengan hampa di sofa ruang tamu, memeluk robot Transformer yang telah aku siapkan untuk anakku.
Tidak ada lagi embusan napas anakku di rumah yang kosong ini.
Bu Rani yang mengajar anakku di taman kanak-kanak menelepon dan berbicara dengan suara tercekat.
"Papa Leo, saya dapat kabar soal kecelakaan Leo ...."
Wanita itu terisak tak terkendali. Hatiku terasa seperti dicabik-cabik. Bahkan orang asing lebih peduli pada anakku daripada istriku sendiri.
Aku menceritakan apa yang terjadi pada anakku hari ini dengan suara serak. Bu Rani sangat kaget mendengar bahwa istriku mengurung Leo sendirian di balkon.
"Jadi begini, Leo tadi siang mendorong Keke sampai Keke menangis lama. Saya menceritakan masalah ini ke istri Bapak waktu dia datang menjemput. Mama Leo sangat marah dan memarahinya sangat keras."
"Tapi saya sudah menjelaskan waktu itu. Keke sengaja merobohkan lego buatan Leo dan mengatai Leo anak yang nggak punya ibu. Itu sebabnya kenapa Leo sampai mendorong Keke."
"Keke cuma dibesarkan oleh ayahnya. Dia kadang agak bandel. Ditambah lagi, istri Bapak sepertinya lumayan perhatian padanya. Jadi dia sering nakal kepada Leo. Setiap itu terjadi, istri Bapak nggak mengatakan apa-apa, hanya memintanya memaklumi adiknya ...."
...
Ketika telepon ditutup, hatiku terasa sunyi.
Kali ini berhubungan dengan Keke lagi.
Keke adalah anak perempuan dari mantan pacar Soraya, Ferdy.
Sejak Leo pergi ke taman kanak-kanak yang sama dengan Keke, Soraya sering memarahi anaknya atas dasar aduan dari Keke. Leo sangat membenci anak perempuan itu.
Soraya adalah influencer parenting dan memiliki gelar master di bidang pendidikan. Dia selalu menyuarakan tentang pola asuh ilmiah sejak putranya lahir.
Dia mendidik anaknya dengan keras. Bahkan kadang kesalahan kecil saja harus dihukum. Setiap kali aku bicara dengannya tentang hal ini, dia membela diri bahwa ini adalah teknik pemberian penguatan untuk membantu Leo belajar dari kesalahannya.
"Kamu nggak ngerti. Orang-orang selalu mengajari anak perempuan untuk melindungi diri. Tapi jarang sekali yang menyuruh orang tua anak laki-laki untuk mendidik anak mereka dengan baik, biar nggak mem-bully orang lain."
"Usia tiga sampai tujuh itu masa-masa emas membentuk kepribadian. Ajari anak-anak dengan baik pada usia itu. Dia akan berterima kasih kepadaku seumur hidupnya!"
Dia mengunggah komentar-komentar ini ke media sosial video pendek dan segera mendapatkan banyak pengikut, dan akhirnya menjadi influencer parenting.
Aku awalnya percaya padanya, mengira dia hanya bersikap tegas kepada putranya. Ibu mana yang tidak sayang kepada anaknya?
Tapi ketika anak perempuan Ferdy muncul, segalanya berubah.
Soraya membantu Ferdy mengasuh anaknya sepulang sekolah. Dia akan bermain bersama dan membacakan buku cerita dengan lembut di rumah .... Menunggu sampai waktu Ferdy selesai kerja, lalu mengantar anak itu ke kantornya.
Ruang tamu dipenuhi boneka-boneka kesukaan anak perempuan. Mainan robot milik Leo dimasukkan ke kamarnya semua.
Setiap Keke melakukan kesalahan, istriku akan menghibur dengan lembut.
"Anak perempuan itu tuan putri yang harus dimanja!"
Tapi jika Leo yang melakukan kesalahan, dia akan memarahinya habis-habisan dan mengurungnya di kamar untuk merenungkan kesalahannya.
Setiap kali dua anak itu bertengkar, istriku akan berkata kepada Leo, "Keke kasihan nggak punya ibu. Keke itu adikmu, Leo harus mengalah."
"Kamu itu anak laki-laki, jangan rebutan dengan adikmu."
Dia memberikan seluruh kebaikan dan cintanya kepada anak perempuan orang lain. Sementara anaknya sendiri hidup seperti anak yang tidak punya ibu.
Jadi, Keke suka diam-diam mengejek Leo, mengatainya anak yang tidak punya ibu.
Aku sering bertengkar dengan Soraya karena hal ini. Setiap kali, dia akan mengancam dengan perceraian.
Ketika anakku mendengar kata cerai, dia sangat ketakutan sampai tidak bisa tidur nyenyak berhari-hari. Hatiku jadi sesak dan pilu.
Aku menahannya lagi dan lagi demi anakku. Aku tidak pernah menyangka bahwa aku akan kehilangan dia sepenuhnya.
Melihat boneka-boneka yang memenuhi ruang tamu, amarah dalam hatiku mendidih.
Aku mengemasi semua mainan Keke dan melemparkannya ke lorong, lalu duduk di ruang tamu yang kosong dengan air mata berlinang.
Soraya baru pulang saat waktu menunjukkan pukul dua pagi.
Dia menggendong seorang anak perempuan berkulit putih di tangannya, diikuti oleh mantan pacarnya, Ferdy. Mereka seperti keluarga kecil yang bahagia.
"Apa-apaan sih, telepon terus!"
Soraya mengeluh tidak puas segera setelah memasuki pintu. Pria di belakangnya memberikan senyuman minta maaf.
Kemarahanku langsung tersulut dan aku berteriak pada Soraya, "Dari mana saja kamu! Apa kamu tahu Leo ...."
Sebelum kalimatku selesai, teriakan melengking gadis kecil memotongku.
"Bonekaku! Bonekaku hilang!"
"Pasti Leo mencuri semua bonekaku! Leo jahat! Leo pencuri!"
Otakku berdengung mendengarkan kata-kata ini. Aku hampir tidak tahan ingin menampar gadis kecil yang meraung-raung di lantai itu.
Ternyata anakku selama ini hidup di lingkungan seperti ini. Diabaikan dan difitnah!
Soraya menggendong gadis kecil itu dengan lembut. Matanya penuh dengan kepedihan.
"Jangan menangis, putri kecilku. Besok Tante belikan boneka baru! Leo nakal nggak dapat mainan baru!"
Dia pada saat ini bersikap seperti ibu yang penuh kasih, menghibur Keke dengan lembut dalam pelukannya.
Tapi saat mengucapkan nama anaknya sendiri, suaranya penuh dengan hinaan.
"Di mana anak sialan itu? Dia mendorong Keke tadi siang. Bahkan nggak mau ngaku salah!"
"Keke sudah baik mau memaafkan, tapi anak itu malah melempar kue Keke! Kamu terlalu memanjakannya!"
Aku menatapnya tanpa ekspresi, merasa tidak percaya bahwa wanita seperti inilah yang telah aku nikahi.
Dia sangat baik kepada anak orang lain. Anaknya sendiri malah diperlakukan seperti musuh.
Mungkin karena tatapanku yang sedikit menakutkan, Soraya merasa bersalah dan melangkah mundur.
Ferdy yang sedari tadi diam pun buru-buru melindungi mereka berdua di belakangnya. Dia menjelaskan kepadaku sambil tersenyum.
"Kak Kinan, aku tadi lembur, jadi harus minta Soraya mengurus Keke. Dia menemani Keke ke mall, jadi pulangnya agak malam. Jangan salah paham!"
Soraya memeluk Keke lebih erat. Seringai di bibirnya menghina.
"Kenapa harus menjelaskan? Kita nggak salah apa-apa!"
Dia menoleh untuk memelototiku, suaranya menajam.
"Kinan, aku sudah pernah bilang. Aku dan Ferdy nggak ada apa-apa. Aku cuma kasihan lihat dia membesarkan anak perempuan sendirian, jadi aku bantu sebisaku. Yang kotor itu pikiranmu!"
"Di mana anak sialan itu? Apa dia sudah sadar salahnya di mana? Keke anak baik dan sudah memaafkannya. Biarkan dia keluar."
Aku tertawa marah, mengambil vas di atas meja dan membantingnya ke lantai. Keke menangis ketakutan, tapi aku justru senang mendengarnya ketakutan.
"Kinan, apa-apaan ini? Anak sialan itu berbuat salah, sudah seharusnya aku mendidik dia, 'kan? Kamu yang salah, memanjakan dia terus, akhirnya dia jadi suka menentang!"
"Anak itu berani mem-bully anak lain sekarang. Apa jadinya nanti kalau dia sudah besar? Bisa-bisa jadi penjahat!"
Murka dan amarah bergejolak di dadaku. Bahuku mulai bergetar tak terkendali.
Aku menatap Soraya lekat-lekat dan menekankan kata demi kata:
"Anak sialan itu sudah mati. Dia nggak akan tumbuh besar. Dia nggak akan pernah mem-bully anak mantan pacarmu lagi."
Soraya tertegun sebentar, lalu semakin marah. Dia menuding wajahku dan mengumpat.
"Bicara sembarangan! Kamu ingin mengutuk anakmu sendiri?!"
Aku hampir berteriak. "Leo sudah mati. Dia melompat dari gedung saat kamu menghukumnya di balkon!"
"Anakmu sudah mati! Kamu sendiri yang membunuhnya! Ngerti nggak, Soraya!"