Langit biru membentang luas. Burung berkicauan yang berasal dari tetangga Aro. Aro merupakan anak dari Sutrisno yang menikah dengan anak pendiri masjid di desanya. Pagi menjelang siang begini ia belum beranjak dari tempat tidurnya.
“Dasar pemalas! Cepat mandi sana!” gertak sang ayah yaitu Sutrisno.
“Ibu juga sudah masakin masakan kesukaanmu.”
Aro segera beranjak dari tempat tidurnya lalu menuju dapur. Tempe mendoan. Segera ia mencuci muka untuk menyantap hidangan yang dimasak oleh ibunya.
“Habis sarapan jangan lupa mandi, yo.”
“Iya, Bu.”
Ibunya Aro menyiapkan baju untuk dipakai Aro.
“Bu, jangan model baju yang ini dong. Baju yang ada rendanya,” rengek Aro.
Ibunya segera mengambil model baju yang dimaksud Aro. Penampilan. Lagi-lagi istrinya Sutrisno masih memikirkan omongan Warti yang berlalu. Mungkin Warti sendiri sudah melupakannya dan terus menjahit hingga Aro memasuki usia sekolah. Mungkin istrinya Sutrisno tidak ingin Aro berpenampilan cupu seperti dirinya.
“Yang ini, to?” tanya sang ibu sambil menyodorkan baju yang dimaksud Aro.
“Nah iya.” Jawab Aro meringis yang menunjukkan deretan gigi kuning yang jarang disikat.
“Ya sudah, cepetan mandi. Aku tak menyiapkan sarapanmu.”
Aro mengangguk cepat sambil menyamber baju tersebut. Kali ini Aro menyikat gigi yang terasa lama. Aro tak memedulikannya. Usai mandi, ia segera sarapan dengan lauk tempe mendoan yang sempat dicicipi sebelum mandi.
“Nanti kamu ke rumah budemu, yo.”
“Ada apa, Bu?” tanya Aro menghentikan sarapannya.
“Nganterin jahitan seperti biasa.”
Aro tersenyum tipis sambil mengangguk pelan lalu melanjutkan sarapannya. Dalam benak Aro, perintah ibunya sangat mendadak sekali. Aro sedang sarapan. Baru beberapa suapan, ibunya sudah meminta Aro untuk ke rumah Bude.
Jarak antara rumahnya dengan budenya cukup jauh. Aro harus mengayuh sepeda agar cepat sampai di sana. Hari libur. Jadi Aro tidak berangkat sekolah. Cukup menyenangkan bagi Aro bisa bersenang-senang di rumah tanpa gangguan teman-temannya. Mulai dari menonton televisi sepuasnya hingga menggambar.
“Bude, ibu meminta dijahitkan baju. Modelnya macam baju kurung gitu.” Pinta Aro sambil menyerahkan selembar kain coklat berdiameter cukup panjang.
Selama bayi-bayinya tumbuh dan berkembang, Budenya itu masih menekuni mesin jahit. Warti tersenyum tipis sambil mengambil selembar kain yang dimaksud. Yup! Budenya Aro memang Warti. Sementara itu, Warti segera mengambil contoh busana dalam lembaran buku yang sebelumnya sudah ditulis aneka model baju dan ukuran.
***
Hampir sepekan, Aro bolak-balik antara rumahnya dengan rumah budenya. Hanya untuk mengecek jahitan milik ibunya. Namun, selama Warti menjahit pakaian milik istrinya Sutrisno, Aro bermain sepeda di halaman rumah budenya itu.
“Nis, kamu naik sepedaku aja,” tawar Aro.
“Boleh, ya?” tanya Anis.
“Tentu aja boleh, Nis,” jawab Aro.
Anis memang tidak memiliki sepeda. Lantas, Anis membonceng Aro yang memiliki sepeda. Sepeda yang dibelikan ayahnya.
“Aku belum bisa naik sepeda, lho,” celetuk Anis yang berharap bisa menaiki sepeda milik Aro.
“Kamu boleh kok bersepda dengan ini.” Aro menunjuk sepeda miliknya.
“Beneran?” tanya Anis berbinar.
Anis Rahma yang kini tumbuh dengan segala fasilitas seadanya, tak membuatnya menunjukkan wajah yang melas. Kakaknya Anis yakni anak perempuan pertama Warti, ikut membantu perekonomian Anis. Jadi Anis Rahma tak pernah merasa kekurangan apapun. Justru Anis tidak suka jajan.
Berbeda dengan Aro yang gemar sekali jajan di sekolahnya. Sebenarnya, Anis dan Aro satu atap sekolah. Hanya beda tingkatan kelas. Anis merupakan senior Aro di sekolahnya.
Penampilan. Aro yang mengenakan baju renda dengan kunciran kuda, membuat Anis menatapnya sejenak.
“Ngomong-ngomong, penampilanmu hari ini sangat lucu.” Anis menahan gelak tawa.
“Lucu? Lucu gimana?” tanya Aro yang memang tidak mengerti sama sekali.
“Lucu aja.” Anis meringis.
“Kok bisa?” tanya Aro semakin tidak mengerti.
Aro mengayuh sepedanya agak cepat. Menahan rasa yang entah karena guyonan Anis yang dianggap kelewat batas. Hari demi hari berlalu. Jahitan baju milik istrinya Sutrisno pun jadi model pakaian terbaik. Itu menurut Warti yang sering membuat baju untuk pameran.
Akan tetapi, itu dulu. Semenjak Anis tumbuh menjadi gadis kecil yang manis. Warti tidak lagi memamerkan hasil jahitan di balai desa. Urusannya mengurus kebutuhan sekolah Anis, menjadi hal utama. Kini, Warti disibukkan oleh sekolah Anis, karena kedua kakaknya Anis tidak sekolah.
“Alhamdulillah, Mbak bajuku sudah jadi.” Ucap ibunya Aro sambil memberikan uang untuk Warti.
Jasa menjahit di tempat budenya lumayan mahal yakni seratus ribu rupiah. Namun, ibunya Aro tidak memikirkan tarif tersebut. Ibunya Aro justru senang bisa semakin mengakrabkan diri dengan budenya itu. Yup! Hubungan kekeluargaan sangat penting dibandingkan sepeser uang.
“Nggak masalah tempat menjahit Mbak ini terkenal mahal. Toh, uang nggak ada apa-apanya kalau dibandingkan kekompakan keluarga kita.”
“He he he. Uhuk!” Tiba-tiba saja, Warti mengalami batuk sambil mengatupkan telapak tangan membekap mulut. Darah.
“Mbak kenapa?” tanya istri Sutrisno mulai khawatir.
“Mungkin kelelahan.”
“Nis! Anis!” teriak ibunya Aro memanggil-manggil Anis.
“Anis tadi kusuruh belanja di desa sebelah.” Warti tersenyum pucat.
“Terus gimana, Mbak?”
“Nggak gimana-gimana. Nanti juga sembuh,”
Rintik hujan mulai mengguyur pelataran rumah Aro. Bebatuan yang menghias di sepanjang depan rumahnya basah. Anis yang usai dari berbelanja, berteduh di teras rumah Aro.
“Lho, Nis masuk aja. Ngapain berdiri di situ?” ajak ibunya Aro sangat lembut.
“Iya, Mbak makasih.”
“Oh iya, Nis emakmu sakit. Tadi sewaktu aku ngambil jahitan, emakmu batuk. Dia nggak ngomong apa-apa, sih. Hanya saja aku sempat kaget ngelihat kondisi emakmu.”
Anis hanya membalas dengan senyuman kecut. Hujan berhenti tepat saat Anis melangkahkan kaki meninggalkan rumah Aro. Anis kaget melihat emaknya tergeletak di atas ranjang. Kedua bola matanya menatap nanar tubuh yang terbaring tak berdaya itu. Saat itu, Anis masih berusia 13 tahun yang artinya kelas 6 SD.
Wanto mengusap bulir bening yang terjatuh di kedua sudut matanya. Lelaki yang bekerja di sawah itu pun menatap sedih Anis. Uang darimana untuk berobat Warti?