.) Semua berawal dari keluarga priyayi yang mengalami kebangkrutan dan salah satu anak perempuannya bernama Warti menjadi penjahit cukup terkenal di desanya. Lalu menikah dengan Wanto anak dari saudagar kaya di desa. Lama kelamaan, mereka punya anak terakhir bernama Anis. .) Selama perjalanan waktu ternyata takdir membawa Warti kepada kematian. Dan keluarga Wanto hidup serba kekurangan. Masa kecil Anis memang kurang beruntung layaknya anak-anak yang lainnya. Sampai ia juga iri dengan sepupunya dari pihak Warti bernama Aro. Ketika Aro bermain sepeda, Anis hanya bisa menonton. Kehidupan Aro ini sangat berkecukupan, semuanya terpenuhi dan serba ada. ,) Ketika memasuki usia sekolah SMP pun Anis mendapatkan uang saku dari ayahnya Aro. .) Lulus SMP, Anis tidak melanjutkan sekolah karena keterbatasan biaya. Sedangkan Aro melanjutkan ke jenjang SMA di kota. .) Lulus SMP, Anis bekerja menjadi salah satu karyawan di toko milik Cina di Jakarta. Selama itu kehidupannya sedikit demi sedikit berubah lebih baik. .) Selama hampir 7 tahun, Anis bekerja di Jakarta dan mengenal gemerlap kota Jakarta. .) Selama itu pula dia punya pacar yang bekerja di sana juga. Akhirnya terjadilah malapetaka tersebut. Ia mendapatkan banyak siksaan dari pacarnya. Tapi dia tidak pernah mengadu ke pihak berwajib. Dia hanya cerita kepada Aro. .) Setelah selesai bekerja di Jakarta, ia memutuskan bekerja di Hongkong sebagai perawat dan menata kembali hidupnya. .) Selama bekerja di Hongkong, dia bertemu dengan jodohnya. Dan akhirnya sukses bisa membuat rumah dengan biaya hasil kerjanya.
View More“Hentikaaan! Kamu siapa?” tanya Anis yang memiliki paras manis sambil menghunuskan pedang. Sementara sosok hitam tinggi besar dengan wajah bertaring merah sudah lama berdiri di depan Anis.
Ketika sosok hitam tinggi besar yang mengerikan itu mendekati gadis bernama Anis, tiba-tiba saja wajahnya berubah menjadi sosok lelaki yang sangat rupawan. Sosok itu menampilkan senyum menyeringai yang cukup membuat siapapun akan luluh. Jika sosok tampan itu ada di dunia nyata, mungkin akan mirip Gong Yoo Oppa. Ah iya, satu sosok yang benar-benar diidamkan oleh kebanyakan gadis pecinta Drakor.
“Ka-kamu mau ngapain?” Dengan polosnya Anis bertanya kepada sosok lelaki berwajah rupawan yang misterius itu mulai mendekati wajahnya.
Sosok lelaki rupawan itu menjauhkan tubuhnya dari sosok Anis. Sosok gadis itu hanya mengerjap-ngerjapkan kedua netranya.
“Anis, aku datang ke sini hanya ingin memberitahumu bahwa apid an kebahagiaan yang sangat luar biasa mendatangimu. Hanya saja, selama perjalanan itu, kamu akan harus melalui beberapa ujian. Sebenarnya, ujian tersebut bukan seperti ujian sewaktu masih sekolah.” Sosok lelaki tampan yang tidak pernah memberitahu identitasnya itu menjelaskan hal yang tidak dimengerti oleh Anis.
“Maksudmu apa?” Anis memang kebingungan dengan penjelasan dari sosok misterius itu. Hanya saja, Anis sudah tidak merasakan ketakutan yang luar biasa. Ketika memandang sosok itu, mata sang gadis tidak berkedip sedikit pun. Mungkin ia mulai terpesona oleh ketampanan dari sosok jelmaan makhluk Genderuwo.
“Dengarkan aku! Intinya, ketika kamu lahir di dunia, kamu akan dikaruniai oleh banyak sekali nikmat yang luar biasa. Gunakan nikmat itu untuk membantu apid . Oke. Aku harus pergi dulu.” Ketika sosok misterius itu akan melangkahkan kakinya untuk pergi, Anis menghentikannya.
“Tunggu dulu! Sebenarnya aku masih nggak ngerti, tapi aku akan berusaha mengikuti apa katamu.”
Sosok lelaki tampan yang misterius itu hanya melempar senyum sinis untuk ke sekian kalinya. Mungkin setiap lelaki tampan di dunia ini memang suka sekali tersenyum sinis–seolah-olah ketampanan hanya milik mereka saja. Anis yang baru menyadari sikap sosok misterius itu ingin memuntahkan sesuatu. Mungkin Anis merasa sangat muak melihat ketidakramahan sosok itu.
“Aku merasa sangat aneh. Sebenarnya aku sedang berada di mana?” Akhirnya, Anis mulai menyadari keberadaanya. Ia mulai berjalan secara perlahan ke setiap sudut tempat itu.
Sebuah tempat asing yang ditumbuhi oleh pohon hijau dengan kesejukan yang luar biasa. Angin semilir menerpa rambutnya yang hitam sedikit bergelombang. Ia pun mulai mendengar beberapa kicauan burung yang bertengger di ranting-ranting pohon. Sungai kecil yang berada di seberang utara gubuk lapuk, mengalirkan gemericik air yang membuatnya menghentikan langkah.
Anis menikmati setiap suara indah yang mengalir tenang dari sungai kecil itu. Ia merenung lalu kembali mengedarkan pandangannya ke segala arah. Ia memang sedang berada di sebuah bukit asing. Ia kembali melihat dirinya pun sedang mengenakan pakaian serba putih.
“Sebenarnya aku sedang berada di mana, Tuhan?” tanya Anis sambil mengedarkan pandangannya ke atas langit yang begitu biru.
Lalu, siapa yang akan menjawab pertanyaan gadis manis itu? Ia benar-benar merasa sendirian. Ketika tangisnya meledak, tiba-tiba saja sebuah cahaya putih besar menghantamnya. Tubuhnya seolah-olah pecah menjadi butiran-butiran partikel yang sangat kecil. Jika partikel itu dilihat melalui miskroskop, akan terlihat potongan tubuh Anis yang cukup mengerikan.
Mulai dari kulit, rambut, hingga kuku-kuku yang menghitam karena pemiliknya tidak pernah membersihkannya. Namun, gadis manis itu selalu memperhatikan penampilannya dari ujung rambut hingga ujung kuku kaki. Ia selalu mendapatkan perawatan kecantikan terbaik. Bahkan, ia sangat rela mengeluarkan uang puluhan juta untuk perawatan wajahnya agar tetap terlihat awet muda.
“Hei, kau Anis si gadis manis, kita akan bertemu di dunia lain. Dunia yang akan membawamu pada kenikmatan palsu. Namun, dunia itu benar-benar tempat yang tepat untuk melakukan semua kebaikan yang akan mengantarkanmu pada kenikmatan yang sesungguhnya. Kau hanya perlu membawa beberapa bekal sebelum menikmati kenikmatan yang sesungguhnya.”
Hanya kalimat itu yang masih terdengar oleh Anis sebelum gadis manis itu benar-benar menghilang.
***
Kudus, Tahun 1970
Sebuah desa Karangjawa yang berada di pinggiran Kota Kudus, Jawa Tengah telah dikaruniai satu keluarga kecil dari kalangan Priyayi. Meskipun desain rumahnya joglo terbuat dari papan. Rumah mereka terbilang mewah pada masa itu. Rumah jawa itu cukup rame dengan kehadiran tiga orang anak, satu diantaranya seorang perempuan cantik yang bernama Warti. Usianya baru 9 tahun yang tentu saja sangat senang bermain dengan teman sebayanya, tetapi ia sudah sangat terlihat dewasa dibandingkan teman-temannya.
“Lho, Pakne, beras yang ada di dalam karung ini tiba-tiba habis? Padahal baru tiga hari lalu kita habis menggiling gabah, lho.” Suara wanita bernama Nyimas Sekar Sari yang sangat lembut dengan logat khas Solo mulai menggema.
Seorang lelaki bernama Raden Mas Cokro yang masih sangat muda, usianya sekitar 35 tahun berjalan pelan menuju istrinya. Seperti hari-hari biasanya, sang suami mengenakan beskap–sebuah penutup kepala Jawa khas Solo dengan pakaian adat Solo yang khusus bagi kalangan Priyayi.
“Walaaahhh, Buneee. Aku lupa, kemaren berase diutang sama Mbok Jum.”
“Lho gimana, to, Pak! Berasnya masih tinggal sedikit malah dikasihkan sama orang lain. Lalu, kita makan pakai apaan?” Suara Nyimas Sekar Sari meskipun terdengar sangat lembut, tetapi cukup menyayat hati lantaran ketidakikhlasannya.
Semua amarah yang diluapkan oleh Nyimas Sekar Sari sangat normal. Siapapun bakalan marah jika mengetahui makanan satu-satunya sudah habis.
“Sudahlah, Bune. Pekara makanan masih bisa dicari. Kita masih punya ketela, ya. Lagipula sebentar lagi panen. Kita bisa makan pakai ketela.” Begitu sang suami menyahut perkataan Nyimas Sekar Sari, amarah wanita cantik itu secara perlahan mereda.
Bayangkan saja keluarga seorang Priyayi dari Solo harus merasakan kepahitan. Namun, mereka sudah menyatakan untuk hidup sederhana. Mereka akan sangat jarang memakan makanan seperti daging ayam, kerbau, apid an makanan yang dinilai mewah.
“Iyo, Pak. Aku sendiri sudah tua. Lagian Warti juga sudah mulai besar. Apalagi biaya sekolahnya semakin mahal,” ucap Nyimas Sekar Sari lalu duduk di tepi ranjang sambil mengelus-elus dadanya. Amarah yang tadinya meledak, kini mulai mereda. Suaminya memang sosok yang sangat layak dijadikan seorang idola keren.
“Masalah biaya sekolahnya Si Warti yo biasa saja. Nanti aku tak menjual hasil kebun ketela. Kita harus memikirkan kematian, Bu.” Perkataan sang suami yang terakhir, menyentak hati istrinya.
“Pak, kematian kita memang sangat dekat. Njenengan[1] bisa saja berkata seperti itu, tapi aku ini istrimu. Aku jelas saja nggak rela kalau njenengan yang mati duluan.”
“Ya sudah, Bu. Kita akan mati bersama.”
“Halah, bahasamu itu lho, Pak malahan persis seperti orang yang sedang main ludruk[2].”
“Tapi sampeyan akhirnya bisa tertawa juga, to?” tanya sang suami sambil mencubit hidung Nyimas Sekar.
Tawa mereka pecah yang terdengar oleh Warti–kebetulan perempuan cantik tersebut sudah pulang dari sekolah.
***
[1] Njenengan merupakan kata dari Bahasa Jawa yang artinya Anda dan bersifat formal.
[2] Ludruk merupakan sebuah acara teater Jawa yang menghadirkan lelucon-lelucon segar dan adegan lucu.
Hari demi hari berlalu begitu saja. Anis sudah bisa melayani pembeli di toko pakaian Aro.“Anis, aku seneng banget bulan ini kita mendapat banyak sekali pesanan baju. Jadi, aku bisa menggajimu dengan bonus.”“Wah, makasih banyak ya, Ro.” Anis tersenyum manis yang membuat Aro membatin, ‘ternyata kalau dilihat-lihat Anis cantik juga.’“Aro?” Anis mengguncang-guncang tubuh Aro.“Eh eh, iya, Nis. Maaf ya aku malah jadi melamun. He he he.”“Iya nggak apa-apa, Ro. Takutnya kalau kamu melamun gini nanti kesambet, lho.”“Yeee malah bercanda.”Anis dan Aro tenggelam dalam gelak tawa. Tiba-tiba saja dari lubang hidung Anis keluar cairan merah. Anis mimisan.“Kamu kenapa, Nis?” tanya Aro dengan nada khawatir.“Nggak tahu nih, Ro tiba-tiba aja mimisan. Sebelumnya nggak pernah gini. Mana aku sedang hamil.”“Kamu harus periksa ke dokter, Nis.”“Gimana sama kerjaanku, Ro?”“Udah. Kamu nggak usah mikirin tentang kerjaan. Oh ya, Tomo bawa ponsel, nggak?”“Tomo nggak bawa ponsel kalau kerja, Ro. Memang
Matahari mulai menyembul dari ufuk timur. Setelah sarapan nasi dengan sambal goreng tempe, Anis segera mengantar Putri ke sekolah. Tomo seperti biasa pergi bekerja membangun rumah di desa sebelah. Pukul 07.05 WIB Anis selesai mengantar Putri ke sekolah, lalu menghentikan mesin motor di depan rumah Aro.“Kamu ke sini kok pagi banget sih, Nis?” tanya Aro yang baru selesai membuka toko pakaian.“Iya nih, Ro. Aku tadi habis mengantar Putri ke sekolah.”“Wah iya. Katanya kamu mau jadi karyawan di tokoku ya, Nis?” tanya Aro yang duduk-duduk di dalam toko. Anis kemudian duduk-duduk sambil menjawab dengan suara parau, “Iya nih, Ro. Aku bingung nyari uang tambahan untuk biaya lahiran nanti.”“Selamat juga ya atas kehamilanmu. Memangnya kamu nggak apa-apa bekerja dalam keadaan hamil begini?”“Nggak apa-apa kok, Ro. Uang dari pekerjaannya Tomo yang sebagai kuli bangunan nggak cukup buat biaya lahiran nanti.”“Jadi begitu. Mulai hari ini kamu sudah bisa bekerja kok, Nis. Ohya, suamimu tahu apa ng
Anis teringat akan sesuatu. Ia terlambat datang bulan. Lalu ia menghitung tanggal terkahir datang bulan.“Jangan-jangan aku hamil.”Untuk memastikan kebenaran, ia membeli tespek di apotik terdekat. Setelah dilakukan tes sederhana, Anis terkejut melihat hasilnya. Ia positif hamil. Anis tersenyum bahagia.Ia membagikan kebahagiaannya melalui akun FB.“Tomo,” ucap Anis sambil melingkarkan lengannya ke punggung Tomo.“Iya, kenapa, Nis?”“Hari ini aku sangat bahagia.”“Bahagia kenapa?” Tomo melepaskan pelukannya dengan pelan.“Kamu tahu nggak kalau aku sedang hamil.”“Apa? Kamu hamil? Kita bakal punya anak lagi dong.”“Iya. Putri bakal punya adik.”“Jadi, kamu muntah-muntah waktu kemarin ternyata hamil toh.”“Iya. Kamu bahagia kan?”“Iya. Aku bahagia banget.”“Tapi, dari mana nyari uang tambahan buat biaya lahiran nanti? Juga uang tambahan buat anak kedua kita? Aku bingung.”“Kamu tenang ya, Nis. Aku akan nyari pekerjaan tambahan.”“Memangnya mau kerja apa?”“Entahlah. Kita lihat saja nant
Anis terpaksa menghentikan aktivitasnya yang sedang menyapu. Ia melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah dan berteriak memanggil nama Tomo, “Tomo, kamu udah selesai apa belum mandinya?”“Iya bentar lagi kok,” sahut Tomo dari balik pintu kamar mandi.Selesai mandi, Tomo bertanya kepada Anis, “mengapa kamu teriak kaya gitu? Ada apa? Apa kamu udah kebelet pipis?”“Enggak kok, Tom. Aku cuman mau bilang aja tadi kamu dicariin sama Diki,” jawab Anis.“Ada apa memangnya? Nunggu aku selesai mandi kan bisa. Kenapa harus teriak gitu?”“Ya maaf. Nanti malam Diki ada acara bancaan. Kamu diundang ke acara bancaan.” Anis nyengir bagai kuda yang tidak berdosa. Ia memasang wajah kuyu di depan Tomo. Lelaki ganteng itu manyun.“Ya sudah kalau gitu. Iya aku pasti datang kok.”Anis tersenyum menyeringai. Tomo membalas dengan senyuman pahit. Kemudian Anis ke kamar mengambil ponsel pintarnya. Lalu mengirim pesan WA kepada Aro.[Aro, gimana kandunganmu sehat?][Sehat kok, Nis. Alhamdulillah.][Alhamdulilla
Anis mencuci piring lalu mengelapnya agar cepat kering. Hari semakin siang. Anis melihat jam dinding yang menunjukkan pukul 11.00 WIB. Ia segera mengenakan jilbab biru tua yang tersampir di kursi kamar. Hampir saja lupa, Anis mengambil ponsel pintarnya.Tomo belum pulang kerja. Ia harus menjemput Putri yang pulang sekolah. Namun, ia mematikan mesin motornya di depan rumah Aro.“Anis, ada apa?” tanya Aro sambil mengelus-elus perutnya yang buncit.“Enggak ada apa-apa kok, Ro. Aku lagi nunggu Putri pulang sekolah kok. Kamu nggak keberatan kan aku nunggu Putri di rumahmu?” jawab Anis.“Tenang aja, Nis. Nggak masalah kok.”“Oh ya, Ro ngomong-ngomong kamu sedang hamil ya?”“Iya nih Nis. Alhamdulillah banget diberikan rezeki oleh Allah berupa janin yang akan menjadi anak.”“Udah berapa bulan kamu hamil, Ro?”“Udah tiga bulan ini, Nis.”“Wah.”“Udah jam 12 siang ya, Ro. Cepat banget.”“Iya Nis.”“Ya udah ya Ro aku mau jemput Putri.”“Iya, Nis. Hati-hati.”Anis pun menjemput Putri di sekolah. L
Demi mengurangi rasa bosan yang menggelayut di hati. Anis mengambil ponsel pintarnya yang berada di kamar. Ternyata ada pesan dari Widya. Sudah lama sekali Widya tidak mengirim pesan.[Hai Anis. Kamu apa kabar?][Kabarku baik, Wid. Kamu sendiri gimana kabarnya?][Kabarku juga baik, Nis. Ohya, sekarang kamu kerja di mana, Nis?][Aku jadi reseller sih, Wid di rumah. Kamu kalau ingin beli koleksi pakaianku boleh aja.][Wah, berarti kamu punya penghasilan sendiri dong.][Ngomong-ngomong sekarang kamu kerja di mana, Wid?][Aku di rumah aja kok, Nis. Bantu-bantu bisnis suami.][Suami? Kamu udah nikah ya, Wid?][Iya, Nis. Udah hampir dua tahun kok.][Selama itu kamu nggak ngabarin aku ya, Wid.][He he. Maaf ya, Nis. Tapi sekarang kamu udah punya anak kan, Nis?][Anakku udah besar lho, Wid.][Wah iyakah?][Iya, Wid. Udah sekolah SD.][Wah nggak kerasa ya waktu begitu cepat berlalu.][Begitulah. Ngomong-ngomong kamu nikah sama orang mana, Wid?][Nikah sama pacarku saat masih kerja di Jakarta k
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments