Cahaya.
Begitu silau, tapi tak menghangatkan.
Begitu dekat, tapi tak bisa digapai.
Gavin mencoba mengangkat kelopak matanya, tapi tubuhnya tak merespons. Raganya seolah masih tertinggal di tempat yang gelap, jauh di kedalaman yang tak bernama.
Lamat-lamat, dia lantas mendengar suara. Pelan. Samar. Namun, jelas menusuk ke dalam kesadarannya yang rapuh.
“Tingkatkan dosisnya. Dia belum boleh sadar. Belum sekarang.”
Ada desis perintah. Ada langkah-langkah yang tergesa.
Suara alat medis berdenting halus, monoton, seperti detak waktu yang terus berbunyi tanpa empati.
Gavin ingin bertanya. Dia ingin tahu di mana dia, kenapa dia di sini, dan siapa yang sedang berbicara. Namun, semua pertanyaan itu hanya menggema di dalam pikirannya sendiri.
Satu-satunya hal yang bisa dia rasakan hanyalah dingin. Dingin yang menjalari tulang, memeluk nyawanya erat-erat. Dalam kegelapan yang kembali menelannya, satu nama lantas melintas.
Azura.
Nama itu muncul seperti bisikan paling jujur di tengah kekacauan. M