Selepas kepergian Aslan dan Sandra, Anaby menatap dua sosok yang masih bergeming di sisi tempat tidur ayahnya. Nyonya Kemala dan Laura. Masing-masing dengan raut muram yang dilebih-lebihkan, seakan kehilangan seluruh kekuatan untuk berdiri.
Keduanya tampak sangat terpukul—atau setidaknya, berusaha terlihat demikian. Padahal, baru satu jam yang lalu mereka berteriak padanya dengan suara lantang.
Anaby berdiri tanpa terburu-buru. Ia memiringkan kepala sedikit, lalu mengedarkan pandangan dingin.
“Mama… Laura,” panggil Anaby. Suaranya datar, nyaris seperti berbincang santai di ruang tamu.
“Bukankah tadi pagi kalian marah-marah karena harus menunggu Papa? Kalian bilang aku anak tidak tahu diri, membiarkan Papa sekarat sendirian.”
Anaby menyisipkan jeda, sambil menatap Ibu tirinya dan Laura secara bergantian.
“Sekarang aku sudah di sini. Lalu, kenapa kalian belum pulang juga?”
Pertanyaan itu menghantam seperti cambuk tenang yang tak butuh teriakan. Nyonya Kemala langsung mendongak. Sorot mat