“Maukah kau menikah denganku, Michael?” Pertanyaan Anaby membuat semua orang terbelalak. Namun, mereka tak tahu jika Anaby baru saja terlahir kembali setelah diselingkuhi dan dibiarkan mati sekarat oleh suami dan sahabatnya di masa lalu. Jadi di kehidupan ini, Anaby tidak akan mengulang kesalahannya dan mengubah takdirnya. Salah satunya ... memastikan perjodohannya dengan Michael Rajasa, ahli waris terkaya ibu kota, terlaksana!
view moreMata Anaby berkunang-kunang kala meraih kotak kecil berbalut kertas kado biru yang telah disiapkannya jauh-jauh hari.
Namun, ia tetap memaksakan diri sebab hari ini, putra angkatnya yang kini berusia 9 tahun akan menerima penghargaan sebagai juara olimpiade matematika.
Rasa bangga mengalihkan sakit di tubuhnya.
Satu hal di kepala Anaby saat ini: dia harus ke sana.
“Uhuk…” Baru saja Anaby melewati pintu kamar, batuk kembali mengguncang tubuhnya.
Rasanya, seperti ada ribuan jarum yang menusuk paru-parunya di dalam sana.
Napasnya terputus-putus, dan sesuatu yang hangat pun mengalir dari bibirnya.
Tangan wanita itu refleks terangkat, dan saat ia menatap telapaknya— ada darah segar di sana.
"Darah apa itu? Sangat menjijikkan.”
Suara putranya membuat Anaby tersentak. Terlebih ia baru sadar jika Sandra–sahabatnya–justru menarik tangan Leon menjauh.
"Jangan dekat-dekat, Nak. Itu menular. Darah itu pasti dari mulut Ana.”
"Iya, Mama. Aku merasa mau muntah."
Mama? Mengapa Leon memanggil Sandra demikian?
Anaby terhenyak. Pandangannya beralih ke arah Leon yang kini bersembunyi di balik tubuh Sandra.
Belum sempat ia bertanya, Aslan, suaminya melangkah maju dan menatapnya dengan pandangan dingin.
"Benar darah itu dari batukmu?"
"Iya, tapi aku masih bisa pergi,” jawab Anaby mengangguk lemah. “Aku ingin melihat Leon menerima penghargaan. Aku harus—"
"Siapa yang mau mengajak wanita berpenyakit TBC ke acara sepenting itu?" potong Aslan, suaranya sarat dengan cemoohan. “Lebih baik kau tetap di rumah. Jangan menyusahkan kami.”
Deg!
Anaby terpaku. Kata-kata Aslan menikamnya lebih tajam dari belati mana pun.
“Kalau begitu, mana obatku?” Akhirnya, Anaby menanyakan hal lain yang mengusik hatinya.
Sedari seminggu lalu, persediaan obatnya sudah habis. Akan tetapi, Aslan tak juga kunjung memberikannya.
Uangnya? Semua ditahan Aslan sejak pria itu mengambil alih perusahaan keluarganya.
Tak ada tetangga yang memberi pertolongan. Sekadar berkunjung pun mereka takut, karena ada gosip bila Anaby menyebarkan penyakit menular.
"Tidak ada gunanya berobat, Ana," timpal Sandra dengan nada dingin. "Lebih cepat kau mati, akan lebih baik. Kau hanya menjadi penghalang untuk kebahagiaan kami sebagai keluarga lengkap.
Hati Anaby retak seketika. Ini mustahil. Sandra, sahabat yang ia percayai sejak di bangku sekolah, yang selalu ia bantu dalam hal keuangan, tega berkata seperti itu?
"A-apa maksudmu?”
Sandra tersenyum sinis. "Asal kau tahu, Leon adalah putraku."
Anaby membeku. Kepalanya mendadak berdenyut hebat. Ia masih ingat bagaimana dulu Aslan mengatakan bahwa Leon adalah anak yatim piatu yang malang. Aslan memohon agar Anaby mengangkatnya sebagai anak.
Tanpa ragu, Anaby menerima kehadiran Leon, merawatnya seperti anak kandung sendiri. Tapi ternyata, Aslan telah merencanakan semua itu untuk menipunya?
"Bagaimanapun, kau harus berterima kasih padaku, Ana. Setidaknya, wanita mandul sepertimu bisa membesarkan seorang anak," ujar Sandra tanpa rasa bersalah.
Mata Anaby terasa panas, terlebih saat menatap bocah lelaki yang kini memandangnya jijik.
Dalam sekejap, ia tidak hanya kehilangan suami, tetapi juga sahabat dan anak yang ia sayangi.
Apa salahnya?
"Leon, pergilah ke mobil bersama Mama. Ada yang perlu Papa bicarakan dengan wanita ini." Aslan kembali berbicara.
Leon mengangguk patuh. Digandengnya Sandra ke luar rumah bagai sepasang ibu dan anak yang hangat.
Di sisi lain, Anaby masih terduduk di lantai. Setiap batuk yang keluar dari tenggorokannya meninggalkan rasa perih yang membakar, bercampur dengan bau anyir darah.
Namun, Aslan hanya berdiri dengan tatapan dingin.
Lelaki itu merogoh saku jasnya, mengeluarkan masker, seolah takut udara yang dihirupnya tercemar oleh keberadaan Anaby.
"Tandatangani sekarang juga," perintah Aslan, sembari menyodorkan kertas dan pulpen. "Aku tidak mau punya istri yang penyakitan."
Anaby menatap dokumen tersebut dengan mata nanar. Tulisan di atasnya terlihat jelas: Surat Kesepakatan Cerai.
"Berikan obatku dulu. Rasa nyeri ini ... tak tertahankan." Di tengah rasa sakit yang terus menggerogoti tubuhnya, wanita itu berusaha untuk bernegosiasi.
"Tidak, Ana,” tolak Aslan, “Tandatangani dulu. Baru kau dapatkan obatmu."
Anaby terdiam. Betapa rendah dirinya di mata Aslan, hingga pria itu sengaja mempermainkan hidupnya.
Dengan tangan gemetar, ia mengangkat pulpen dan menorehkan tanda tangannya di atas kertas.
Setiap goresan tinta, hatinya terasa seperti teriris. Namun, ini bukan lagi soal perasaan—ini tentang bertahan hidup.
Begitu Aslan menarik kembali dokumen itu, seulas senyum kemenangan tersungging di bibirnya. Pria itu menyimpannya di dalam amplop, lalu berjalan mendekati Anaby.
"Selesai sudah. Selamat tinggal, Ana."
"Obatku, Aslan ….”
Pada saat yang sama, Anaby mengulurkan tangannya, tetapi Aslan justru berjalan menjauh. Tanpa ragu, pria itu mengambil botol obat dari saku jasnya, lalu menjatuhkan seluruh isinya ke tempat sampah.
"Ambil sendiri jika kau butuh!"
Hati Anaby berdenyut nyeri, lebih nyeri daripada penyakit yang harus ia tanggung. Air matanya berderai, membasahi pipinya yang tirus.
"Kenapa ... kau begitu kejam padaku?”
Aslan mengangkat dagunya, matanya bersinar penuh kebencian. "Karena kau hanyalah alat bagiku untuk menguasai harta keluarga Buana. Ini adalah pembalasan yang setimpal, atas penghinaan yang diterima oleh kedua orangtuaku.”
Pria itu lantas menunduk sedikit, membiarkan suara dinginnya bergema di telinga Anaby.
”Sejak awal, aku hanya mencintai Sandra. Bahkan, di malam pernikahan kita, aku lebih memilih bercinta dengannya daripada menyentuhmu."
Brak!
Aslan pun pergi dari sana dengan membanting pintu.
Tak hanya itu, ia juga menguncinya dari luar—meninggalkan Anaby yang tak berdaya.
Dalam kepedihan yang begitu dalam, Anaby merangkak menuju tempat sampah.
Tangannya berusaha mencari obat yang telah dibuang dengan sengaja. Namun, napasnya semakin pendek dan pandangannya semakin kabur.
Ia pun terkapar di lantai marmer yang begitu dingin.
Perlahan, kenangan masa lalu berputar-putar di dalam benaknya.
Anaby teringat betapa Aslan dulu begitu lembut, penuh perhatian, hingga ia menolak perjodohan dengan Michael Rajasa.
Tak peduli jika Aslan dari latar belakang sederhana, bahkan ia hanya putra dari sopir dan pembantu keluarganya. Namun, Anaby memilih untuk kawin lari.
Esok harinya, ia pun menerima kabar bahwa sang ayah terkena serangan jantung.
Terpaksa, Anaby pulang dan di ranjang kematiannya, sang ayah akhirnya memberikan restu.
Namun, apa yang terjadi setelah itu?
Aslan ternyata mengkhianatinya dan menunggu moment ini.
Antara sadar dan tidak sadar, Anaby mendengar suara gaduh.
Pintu didobrak, dan suara langkah kaki tergesa-gesa mendekatinya.
Samar-samar, Anaby melihat seorang pria berlutut di sampingnya, memeluk tubuhnya yang dingin dengan panik.
"Ana, sadarlah! Aku di sini untuk menolongmu!"
Suara itu penuh kepanikan, tetapi juga penuh ketulusan.
Michael Rajasa?
Pria yang pernah dijodohkan dengannya?
Anaby ingin membuka mata, tetapi tubuhnya tak merespons.
Satu-satunya yang ia rasakan hanyalah pelukan hangat di tengah kegelapan, sebelum napas terakhirnya melayang ke udara.
"Akhh..."
Hening menggelayut sesaat, usai Michael menyampaikan harapan tulusnya kepada sang ibu. Sebuah permintaan sederhana yang lahir dari kelemahan tubuhnya, tetapi penuh kekuatan cinta. Matanya yang masih redup menatap sang ibu, memohon tanpa suara agar perempuan yang telah melahirkannya itu sudi menerima Anaby. Akan tetapi, Nyonya Safira masih bungkam. Wajahnya tampak tenang, tetapi sorot matanya menyimpan gejolak batin yang sulit ditebak.Hati Anaby semakin resah. Ia memahami bahwa diamnya seorang ibu kadang lebih menyakitkan dari penolakan terang-terangan.Meski begitu, Anaby bertekad tidak akan menyerah. Ia tahu cinta tidak bisa dipaksakan, dan penerimaan pun memerlukan waktu.Melihat ibunya tak kunjung bicara, bibir Michael kembali bergerak. Walaupun serak dan lirih, suara lelaki itu cukup untuk mengguncang ruangan yang sunyi. “Kenapa Mama diam?” Nyonya Safira menghela napas panjang. Tatapannya berpindah dari Michael ke Anaby, lalu kembali lagi ke wajah putranya. “Kita tidak perlu
Tak disangka, saat tangan Anaby menggenggam jemari Michael yang semula dingin dan tak berdaya, sebuah keajaiban terjadi.Kelopak mata itu—yang selama dua puluh jam lebih hanya terpejam dalam ketidakpastian—perlahan bergerak. Sebuah gerakan halus, tetapi cukup membuat air mata Anaby tumpah sebelum ia sempat menyadarinya."Sayang, terima kasih. Kau sudah berjuang untuk kebahagiaan kita,” tutur Anaby, lirih tetapi penuh ketulusan.Michael mengerjap pelan. Pandangannya masih buram, belum mampu fokus sepenuhnya. Saat mendengar suara Anaby, jantungnya berdetak sedikit lebih kencang.Sontak, Nyonya Safira maju. Wajahnya yang semula tegang kini menampakkan sorot harap yang tak mampu ia sembunyikan.Ia ingin mendekat, ingin memastikan bahwa putranya telah sadar. Namun, langkahnya terhenti ketika salah satu perawat segera merentangkan tangan, menghentikannya."Maaf, Bu. Pasien harus segera dipindahkan ke ruang perawatan. Kami akan memantau kondisinya selama dua belas jam ke depan. Mohon beri j
Suara roda kursi yang berderak menyertai langkah Tuan Carlo menyusuri lorong lantai tiga, di mana ruang observasi terletak. Anaby duduk diam di atas kursi roda, memeluk kedua tangannya sendiri. Hatinya tak tenang. Sejak mendengar bahwa Michael telah selesai menjalani operasi, perasaannya dirundung kegelisahan. Antara rasa syukur karena sang suami selamat, dan rasa cemas membayangkan kemungkinan terburuk.Ketika Anaby dan Tuan Carlo melewati tikungan menuju ruang observasi, mereka berpapasan dengan sosok yang familiar. Seorang pria bertubuh tegap dengan rambut yang sebagian memutih. Dia adalah Tuan Gama, paman dari Michael sekaligus tokoh penting dalam keluarga Rajasa, “Tuan Carlo?” sapa Tuan Gama, melangkah mendekat. “Apa kabar? Sudah lama tidak bertemu.”Tuan Carlo menegakkan tubuhnya, lalu tersenyum lemah. “Kabar saya baik, Tuan Gama.”“Senang melihat Anda kembali dalam keadaan sehat,” balas Tuan Gama, menjabat tangan Tuan Carlo.Tatapan Tuan Gama kemudian jatuh ke arah kursi roda
Meski pikiran dan hatinya enggan menyerah pada rasa kantuk, tubuh Anaby tak mampu melawan rasa lelah. Raganya terasa tak lagi miliknya sendiri. Perlahan, tanpa ia sadari, mata Anaby terpejam. Ia terlelap dalam tidur yang tidak tenang, seperti berlayar dalam kabut. Menyisakan mimpi yang samar—wajah Michael yang pucat, darah, suara ambulans, dan sorotan lampu rumah sakit yang menyilaukan.Tak jelas berapa lama ia terlelap, tetapi Anaby baru terjaga ketika ia mendengar suara yang amat familiar memanggil namanya.“Ana….”Kelopak mata gadis itu perlahan membuka, samar menangkap sosok yang berdiri di tepi brankar. Begitu pandangannya pulih, air mata langsung membasahi mata Anaby.“Papa,” gumamnya dengan suara serak.Tuan Carlo segera mendekat, kerutan di wajahnya tampak semakin jelas oleh rasa khawatir. Tanpa perlu aba-aba, Anaby bangkit dari posisi berbaring lalu memeluk sang ayah erat-erat. Pelukan itu begitu kuat, seolah ia sedang mencari perlindungan dari segala bentuk kejahatan di du
Tak lama setelah mobil polisi yang membawa Aslan dan Sandra menghilang di tikungan jalan, deru mesin ambulance terdengar membelah malam. Lampu-lampunya berputar, memantulkan cahaya merah dan putih ke wajah-wajah panik yang masih berkumpul di sekitar tempat kejadian. Di antara mereka, seorang pria berjas hitam dan bermata tajam turun tergesa dari kursi depan ambulance. Dia-lah Mateo, asisten pribadi sekaligus orang kepercayaan Michael Rajasa.Dengan napas terburu, Mateo bergegas menghampiri Michael yang masih bersandar lemah di pangkuan Anaby. Beberapa petugas medis menyusul di belakangnya, membawa tandu, peralatan darurat, dan tabung oksigen.“Tuan Michael….” gumam Mateo, wajahnya tegang. Dua orang petugas medis segera berlutut, meraba nadi Michael lalu menoleh kepada tim medis yang lain. “Denyut nadinya lemah dan terjadi pendarahan. Cepat bawa ke ambulance. Kita tidak punya banyak waktu.”Anaby enggan melepaskan tubuh Michael. Matanya merah dan sembab, wajahnya pucat pasi seperti k
Napas Anaby terhenti di tenggorokan, matanya tak berkedip saat menatap layar ponsel di tangan Michael. Angka itu terpampang jelas di sana, menampilkan bukti transfer senilai sepuluh miliar.Tak disangka, demi melindungi dirinya dan sang buah hati, Michael rela melepaskan uang yang ia miliki.Detik itu juga, Anaby ingin menjerit dan menghentikan Michael, tetapi pisau yang masih menempel di perutnya membuat seluruh ototnya menegang. Ketakutan Anaby bukan lagi soal keselamatan sendiri, melainkan nyawa kecil yang baru tumbuh di rahimnya. Dia belum siap kehilangan.“Uang sudah aku kirim ke rekeningmu. Sekarang, bebaskan Ana!” ujar Michael lantang. Suaranya tajam, menahan amarah yang mendidih dalam dada.Anaby hanya bisa menatap sang suami dengan mata berembun. Hatinya terharu melihat cinta Michael yang begitu besar, cinta yang tak pernah ia dapatkan di kehidupan sebelumnya. Dahulu, ia hanya dianggap sebagai istri mandul sekaligus wanita penyakitan yang layak dibuang. Kini, ia menjadi seor
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Mga Comments