Tangan Ayu mencengkeram lututnya. Bahagia? Kata itu terasa asing baginya sekarang. Ia menggeleng pelan, lalu menunduk. Setetes air mata jatuh ke punggung tangannya.
"Saya justru tertekan di rumah itu, Umi," suaranya bergetar. "Sampai… sampai saya kehilangan bayi saya."
Umi Euis tersentak. "Astaghfirullah…" gumamnya, tatapannya dipenuhi keterkejutan dan kesedihan. "Sabar ya, Nak."
Ayu terisak, bahunya bergetar hebat. "Keluarga itu jahat, Umi. Mereka memperlakukan saya seperti—" ia terhenti, menggeleng putus asa. "Saya kabur dari sana…"
Dada Ayu terasa sesak, seperti ada yang mencengkeram kuat. Seluruh emosinya, yang selama ini ia tekan, tumpah begitu saja. Tangisnya pecah, histeris, menyayat malam yang sunyi.
Tanpa ragu, Umi Euis meraih tubuh Ayu ke dalam pelukannya. Tangan tuanya yang hangat menepuk-nepuk pundak gadis itu, memberikan ketena