Mobil berhenti di depan apartemen Nick. Shireen duduk terpaku di kursinya, menatap gedung itu dengan mata penuh rasa benci dan trauma. Liam, yang duduk di sebelahnya, mulai kehilangan kesabaran.
“Kenapa tidak turun?” tanya Liam dingin, sorot matanya tajam ke arah Shireen. “Aku sudah repot-repot mengantarmu.”
Shireen menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan air mata. “Aku... aku tidak bisa kembali ke sana.”
“Alasan apa lagi kali ini?” suara Liam terdengar penuh ketidaksabaran.
Shireen menoleh padanya, air matanya mulai mengalir. “Karena aku tidak mau! Itu bukan lagi rumahku!” katanya dengan nada hampir memohon.
Liam mengangkat alis, lalu mendekat, wajahnya kini hanya beberapa inci dari Shireen. “Shireen, kita sudah membuat kesepakatan. Aku membelimu dari Nick. Kau milikku sekarang. Jadi, berhenti bersikap seperti kau masih punya pilihan.”
Shireen terdiam, napasnya tercekat mendengar kata-kata itu. Hatinya terasa seperti dipukul keras, mengingat kenyataan pahit yang coba ia lupak