"Kenapa kamu pulang?" Pratama bertanya dengan kesal.
Untuk sekilas, Anggi merasa sedih. Sekalipun dirinya sudah pernah mati dan tahu benar keluarganya tidak menyayanginya, sikap Pratama tetap membuatnya kecewa.
Pria ini adalah ayah yang dia hormati sejak kecil. Namun, Pratama malah melemparkan pandangan kesal dan jijik terhadap Anggi.
Anggi menebak dalam hati, mungkin ayahnya geram karena kemunculannya merusak acara perjodohan Wulan?
Saat ini Satya juga mengernyit, seperti tidak mengindahkan kemunculan Anggi.
Kemungkinan besar, semua anggota Keluarga Suharjo tidak menduga Anggi akan kembali dengan hidup-hidup setelah menikah ke Kediaman Pangeran Selatan.
Bagaimanapun, sepanjang sejarah, siapa pun yang menikah dengan Luis yang kejam itu, jasadnya akan dilempar keluar keesokan harinya.
"Ucapan Ayah aneh sekali, kenapa aku nggak boleh pulang? Ini jadwal kepulanganku ke rumah orang tua setelah menikah. Apa Ayah lupa?" Anggi berdiri tegak dan menyapukan pandangan ke semua orang yang berada di aula utama.
Ekspresi semua orang dan mantan tunangannya terlihat lucu sekarang.
Setelah mengatur suasana hatinya, Pratama menjawab, "Ya sudah, kalau kamu pulang. Kembalilah ke kamarmu, ini bukan tempat yang seharusnya kamu datangi."
Anggi tertawa sinis dalam hati. Tentu saja, dia tidak seharusnya menghadiri pesta perjodohan adik sendiri dengan mantan tunangannya, bukan?
Hanya saja, Pratama melupakan satu hal. Status Anggi sekarang sudah berbeda dari sebelumnya.
Kalau itu dulu, Anggi pasti sudah pergi dengan patuh. Namun sekarang, dia tidak mau pergi begitu saja.
Dia mengangkat kaki dan melangkah masuk ke aula utama.
"Ayah, memangnya ada sesuatu yang nggak boleh aku dengar?" Anggi berkata dengan tenang. Auranya sekarang tidak lagi penuh waspada dan rendah diri seperti Anggi yang mereka kenal.
Anggi yang sekarang sudah paham, segala upaya mencari simpati dari keluarganya adalah sia-sia. Apa pun yang dia lakukan, keluarganya bakal tega mengabaikan kematiannya, bahkan tidak mau mengurus jasadnya.
Keluarga semacam ini, lebih baik dibuang saja.
Pratama tampak tidak senang. Dia langsung berseru, "Kurang ajar! Sejak kapan kamu boleh berbicara seperti ini di sini? Aku menyuruhmu pergi, apa kamu nggak paham?"
Anggi mengejapkan mata untuk menatap Pratama. "Ayah lupa? Sekarang statusku adalah Putri Selatan. Bukannya Ayah seharusnya memberi hormat kalau bertemu denganku?"
Pratama tercengang, lalu emosinya memuncak.
Anggi meminta Pratama memberi hormat?
Anak ini sungguh durhaka!
"Kakak, mana boleh Kakak bersikap begitu terhadap Ayah? Beliau ini Ayah, loh! Mana boleh memberi hormat? Kakak benar-benar durhaka."
Wulan menatap Anggi dengan terkejut dan berkata dengan suara lembut. Sekalipun saat marah, dia selalu memasang tampang lemah lembut.
Melihat ini, Satya yang sudah kesal dengan kemunculan Anggi, menjadi semakin marah.
"Kurang ajar! Berani-beraninya kamu bersikap lantang di depanku? Ingat, apa statusmu, dan apa statusku." Anggi berseru dan menatap Wulan dengan sinis.
Wulan lantas menjadi pucat. Matanya memerah dan tubuhnya tampak bergetar.
Dia mengimpitkan mulut dan menatap Anggi. Dia tidak bisa memercayai kenyataan ini. Anggi yang penakut itu berbicara seperti ini terhadapnya sekarang.
Selain itu, Wulan merasa heran. Jelas-jelas dirinya sudah menghasut Anggi di malam sebelum Anggi menikah. Dia menceritakan kekejaman Luis dan ketidakrelaan orang tua Anggi. Berdasarkan sifat Anggi yang sangat peduli dengan orang tuanya, Anggi seharusnya mencoba kabur di malam pernikahan kemarin.
Wulan tidak menyangka Anggi akan mengambil langkah yang tidak sesuai dengan sifatnya. Bahkan, ucapannya terhadap Pratama hari ini juga sangat aneh.
"Anggi, jangan ganggu Wulan!" Melihat Wulan tersakiti, Satya merasa geram. Dia berdiri dan memarahi Anggi.
Hati Anggi terasa sangat pedih. Yang berada di hadapannya adalah pria yang pernah dia cintai.
Satya yang dulu tidak begitu. Saat semua anggota Keluarga Suharjo sangat dingin terhadap Anggi, Satya adalah satu-satunya orang yang baik terhadapnya. Satya akan memberinya hadiah, menemaninya melihat bulan, juga akan memberinya perhatian saat Anggi terluka ....
Masa semua itu cuma pura-pura?
Memangnya seseorang bisa berpura-pura selama belasan tahun lamanya?
Napas Anggi terasa sesak.
"Keterlaluan! Benar-benar keterlaluan! Kalau kamu nggak puas, kamu nggak perlu pulang, Anggi! Aku boleh menganggap nggak punya putri sepertimu."
Saat ini, Pratama baru bereaksi kembali dan langsung memarahi Anggi.
Sejak Anggi kecil, Pratama sudah tidak menyukainya. Anggi sangat berbeda dari Wulan yang patuh, pintar, serbabisa, dan dapat berbagi beban pikiran dengannya.
Melihat Anggi yang sekarang, Pratama semakin jengkel.
"Nggak perlu Ayah bilang pun, aku nggak akan kembali ke sini lagi. Karena sudah menikah dengan Pangeran Selatan, aku telah menjadi orang Kediaman Pangeran Selatan. Kali ini, aku akan mengampuni kalian karena masih ada ikatan keluarga. Tapi ingat, jangan sampai kalian nggak memberi hormat waktu bertemu denganku kelak."
Hati Anggi serasa hampa. Sekalipun sudah pernah mati sekali, dia masih berharap keluarganya akan berubah. Detik ini, harapan itu sudah pupus sepenuhnya.
Dia berbalik dan meninggalkan tempat itu.
Saking emosinya, tubuh Pratama bergetar. Wulan juga meneteskan air mata, seolah-olah dirinya baru disakiti.
Anggi yang keluar dari aula utama, mengambil napas dalam-dalam, lalu kembali ke paviliunnya.
Berhubung dirinya tidak mendapat kasih sayang di rumah ini, paviliun tempat dia tinggal letaknya sangat terpencil. Paviliunnya tidak luas. Ada sebuah halaman di bagian depan paviliunnya, tempat dia menanam beberapa tanaman herba.
Biasanya, Anggi suka meneliti formula obat yang bisa mengobati ayah dan saudaranya yang sering berada di medan perang. Hanya saja, racikan obat yang dia buat, selalu direbut Wulan. Oleh karena itu, Wulan yang dianggap telah meracik semua obat-obat itu.
Anggi yang dulu tidak terlalu memedulikan hal ini. Selama bisa mengobati yang lainnya, dia tidak peduli jasanya direbut oleh Wulan. Lagi pula, kalau dia yang membawakan semua obat itu, ayah dan yang lainnya mungkin tidak sudi memakainya. Mereka mungkin akan menuduhnya meniru Wulan.
Terpikir akan semua kenangan itu, Anggi merasa sedih.
Dia pun kembali ke kamarnya dan mengemas semua barang yang ada. Semua barang-barang miliknya dimasukkan ke sebuah kotak kayu, tanpa menyisakan apa pun.
Hanya saja, dia tidak mungkin mengangkat kotak ini sendirian. Dengan terpaksa, dia harus meminta bantuan Dika.
Anggi tidak bisa menemukan sosok Dika. Dia pun mencoba memanggil nama Dika, barulah pengawal rahasia itu muncul di hadapannya.
Dika langsung mengerti maksud Anggi begitu melihat kotak itu. Dia keluar, lalu kembali dengan membawa dua pengawal lain untuk menggotong kotak tersebut.
Anggi mengamati sebentar paviliun tempat dia bertumbuh selama 16 tahun ini, lalu pergi tanpa merasa tidak rela.
Dia tidak akan pernah kembali ke Kediaman Suharjo ini lagi.
"Kakak ...." Baru berjalan beberapa langkah, Anggi mendengar sebuah suara lembut yang memanggilnya.
Dia pun mengernyitkan alis saat menoleh ke arah Wulan.
Wulan berlari untuk mendekat. Ekspresinya tampak sedih saat menarik lengan baju Anggi. "Kakak marah sama aku, ya?"
Anggi menarik kembali lengan bajunya dengan sinis dan tidak menjawab.
Air mata Wulan langsung menetes. "Aku tahu Kakak marah samaku. Cuma, aku juga nggak punya pilihan."
"Kakak juga tahu tubuhku lemah. Ayah dan Ibu mengasihaniku, makanya nggak rela aku masuk ke Kediaman Pangeran Selatan."
"Selain itu, pernikahan dengan Kak Satya juga bukan keinginanku. Hanya saja, kita sudah menipu Kaisar dalam pernikahan Kakak. Supaya rahasianya nggak terbongkar, aku terpaksa menggantikan Kakak menikah dengan Putra Bangsawan Aneksasi, dan Kakak menikah dengan Pangeran Selatan."
"Kakak harus memahami jerih payah Ayah dan Ibu. Jangan sampai ucapan Kakak melukai hati mereka."
Wulan berusaha menunjukkan ketulusan hati bahwa dia melakukan semua ini karena terpaksa.
Anggi hanya bisa tertawa dalam hati. Tidak heran dirinya bisa kalah dari Wulan dalam kehidupan sebelumnya. Mau bagaimana lagi, dirinya tidak sepintar Wulan dalam berdalih.