Tiga tahun pun berlalu dengan cepat. Bimasena telah menguasai semua jurus dan kekuatan tenaga dalam yang Pendeta Barata ajarkan. Latihan yang Pendeta Barata berikan cukup berat. Namun dia berhasil lulus setelah menyelesaikan latihan tahap akhir,atau tahap ke tiga.
Bimasena ingat saat dia awal mulai berlatih . Pendeta Barata menyuruhnya memotong kayu, mengisi air, dan mencari batu mulia. Kata Pendeta Barata, batu mulia tersebut bisa menyalurkan tenaga dalam. Dan harga batu mulia itu sangat mahal. Satu batu berwarna merah bisa menghasilkan ratusan tail emas.
Tahap pertama pun dia lalui selama satu tahun, hingga dia bisa memotong seribu potong kayu dengan ukuran yang sama persis. Latihan ini adalah soal keseimbangan. Dan Bima berhasil dengan sempurna.
Dia pun mengisi air dengan cepat bahkan sambil berlari.Kegunaan latihan ini adalah untuk memperkuat otot-otot lengan dan otot bahu serta kakinya yang nantinya akan di jadikan kuda-kuda saat bertarung. Semuanya harus kuat.
Latihan ini bertujuan untuk memperkuat tubuh Bima, karena saat pertarungan terjadi, otot dan kekuatan sangat membantu membuatnya tetap berdiri meski dalam keadaan lelah sekali pun.
Dan saat dia mencari batu mulia di tebing yang curam, dia akhirnya bisa melompat dari sisi tebing ke sisi yang lain dengan mudah tanpa takut terpeleset. Itu artinya Bima telah mampu mengatur keseimbangan tubuhnya dengan baik. Meski di awal latihan dia sering jatuh bahkan terluka. Namun berkat kegigihannya, dia berhasil menguasai keseimbangan tubuhnya.
Sebenarnya Pendeta Barata hanya beralasan tidak bisa mengambil batu mulia tersebut. Kenyataannya dia malah hanya sekali lompat untuk menggapai batu mulia yang berjarak delapan meter tersebut. Membuat Bima semakin ingin menguasai ilmu meringankan tubuh milik orang tua tersebut.
Setelah setahun berlatih fisik dan berhasil menguasai cara memotong dan melompat, Bima pun mulai berlatih jurus di latihan tahap kedua.
Bima berlatih banyak jurus, baik jurus tangan kosong maupun jurus pedang. Pada tahap ini Bima harus bekerja keras menghafal gerakan cepat gurunya. Karena si kakek berharap daya ingat Bima akan terasah dengan baik. Dengan membaca sekali lalu menguasainya, musuh mana yang akan kuat menghadapinya?
Ditambah sang guru hanya memberinya pedang kayu untuk berlatih. Bukan pedang asli seperti yang di harapkan Bima. Di tambah Bima mempunyai satu tugas yang sangat tidak masuk akal baginya.
Tugas itu adalah memotong sepotong kayu menggunakan pedang kayu.
"Itu sesuatu yang tidak mungkin kakek guru..." ucap Bima waktu itu.
Pendeta Barata tersenyum, lalu langsung memukul kepala muridnya dengan kayu yang dia bawa. Spontan Bima berteriak kesakitan. Kepalanya pun benjol seketika. Entah sudah ada berapa benjolan selama dia menjadi murid orang tua tersebut. Yang jelas hampir setiap hari dia mendapat jatah benjolan.
"Di dunia persilatan ini, hal yang tidak mungkin dan menjadi mungkin itu banyak. Perhatikan ini baik-baik!" ucap Pendeta Barata.
Lelaki tua itu lalu meletakkan satu kayu sebesar lengan. Dia menaruhnya di atas penyangga. Lalu dengan sekali gerak...
Prak!
Kayu patah menjadi dua. Namun hebatnya pedang kayu di tangan Pendeta Barata tidak patah ataupun lecet sedikit pun.
Bima ternganga melihatnya. Dia tidak percaya pedang kayu yang lebih kecil itu bisa memotong kayu sebesar lengan.
"Sekarang apa kau percaya setelah melihat ini? tugasmu adalah mencapai tahap dimana kamu bisa memotong kayu dengan pedang kayu," kata Pendeta Barata.
"Bagaimana kakek guru bisa melakukannya? apakah ada triknya kek?" tanya Bima.
"Tidak ada, aku hanya percaya, bahwa yang aku pegang bukanlah kayu, melainkan pedang. Itu saja," kata Pendeta Barata.
Bima terdiam. Namun sejak saat itu dia mulai berlatih dengan giat. Ribuan kali dia mencoba dan selalu gagal. Bukan kayunya yang patah tapi pedang kayunya yang patah menjadi dua. Dia pun berkali-kali membuat marah gurunya karena mematahkan pedang yang tak terhitung jumlahnya. Padahal semua itu gurunya lah yang membuat. Pantas saja orang tua itu marah dan kesal.
Pendeta Barata juga melatih pikiran Bima agar percaya pada apa yang di yakini nya. Jika sugesti nya mampu membuat sesuatu menjadi kenyataan, maka menjadikan kayu sebagai pedang bukanlah hal yang sulit. Tapi proses itu butuh waktu yang cukup lama.
Oleh sebab itu, Pendeta Barata menyarankan Bima untuk bersemedi dan mendapatkan kekuatan pikiran itu dari semedi tersebut.
Bima pun akhirnya sering melakukan semedi didekat sungai kecil di belakang pohon besar. Hingga akhirnya setelah setahun berlatih dengan keras, dia berhasil mematahkan kayu dengan pedang kayu yang dia gunakan. Bima tersenyum puas.
Pendeta Barata pun tersenyum bangga. Jurus pedang dan tangan kosong sudah, kekuatan pikiran juga sudah, akhirnya Pendeta Barata mulai melatih Bima ilmu tenaga dalam.
Latihan ini tidak mudah. Tapi karena Bima telah menguasai ilmu pikiran, dia bisa lebih cepat mendalami nya. Dalam setahun Bima harus berhasil menghancurkan batu besar dengan tangan kosong. Tugas yang bagi Bima mustahil namun lagi-lagi ditunjukkan oleh gurunya, bagaimana batu itu langsung hancur dalam sekali pukul oleh tangan orang tua tersebut.
"Intinya hampir sama saat kamu berlatih memotong kayu dengan pedang kayu. Kekuatan mu yang kamu keluarkan dari dalam perut kamu gabung dengan kekuatan pikiran. Yakin bahwa kamu bisa menghancurkan batu dengan tinju, maka kamu akan berhasil di tahap yang sempurna," kata Pendeta Barata.
Mendengar itu Bima pun bersemangat dan terus berlatih siang dan malam. Terbayang di kepalanya kehancuran Perguruan Julang Emas di depan matanya. Dan itu dijadikan sebagai acuan dia untuk berhasil menjadi pendekar hebat!
Hingga akhirnya setelah setahun berlatih ilmu tenaga dalam, Bima pun berhasil menghancurkan batu besar dengan tinjunya!
Tinjunya yang sudah dipenuhi dengan luka akibat berlatih sekarang benar-benar berhasil menghancurkan batu sebesar kerbau dengan sekali pukul.
Meski penuh dengan luka, kini tinju kanan dan kirinya sudah bagaikan tinju besi. Bahkan tameng besi pun bisa dia bengkokkan dengan tinjunya.
Hingga akhirnya tibalah saat dimana Pendeta Barata mengatakan tentang rahasia kehancuran Perguruan Julang Emas. Selama ini dia sudah mencari kabar tentang kehancuran Perguruan tersebut. Dia mencari informasi itu saat Bima sedang berlatih.
Setelah tiga tahun, dia berhasil mengumpulkan banyak berita yang baginya cukup mengerikan jika di ceritakan seluruhnya kepada Bimasena. Sang Kesatria Terakhir perguruan tersebut.
Dan Pendeta Barata juga akan mewariskan sebuah pedang milik miliknya yang telah lama dia simpan di dalam tanah. Dia menguburnya di dalam peti besi. Hari itu dia menggalinya lagi setelah berpuluh-puluh tahun lamanya terpendam di sana.
"Ini adalah Pedang Darah milikku yang akan ku wariskan padamu. Bijaksana lah saat memakainya.Karena saat kau mulai membunuh, kau tidak akan pernah berhenti menggunakan pedang ini," ucap Pendeta Barata sambil menyerahkan peti kayu berisi pedang dengan hiasan batu mulia berwarna merah di bagian pangkal pedang.
Bima menerimanya dengan pandangan mata takjub. Matanya tak lepas memandang tubuh pedang tersebut.
"Batu itu mengandung tenaga dalam. Dia cocok dengan tenaga dalam milikmu. Karena aku yang mencocokkannya. Ketika kamu mengaktifkan tenaga dalam mu, batu itu akan memberikan sinyal dengan warnanya yang akan menyala. Saat itulah pedang itu akan menemukan kehebatannya," kata Pendeta Barata lagi.
Bima menarik pedang dari sarungnya. Dia kagum melihat pedang yang terlihat gagah tersebut. Ada aura dingin yang keluar dari tubuh pedang.
"Pedang ini luar biasa..." kata Bima memuji.
Pendeta Barata tersenyum.
"Dia telah memakan lebih dari sepuluh ribu nyawa. Aku ingin tahu, berapa nyawa yang akan kamu tumbal kan untuk Pedang Darah ini." sahut Pendeta Barata.
"Apakah kakek guru sudah tidak ingin terkenal lagi kek? kekuatan kakek masih sangat hebat untuk berhenti menjadi pendekar," kata Bima.
"Aku berbeda denganmu yang masih muda. Kamu punya dendam, aku sudah bebas dari segala kekejian dunia persilatan. Jadi aku ingin hidup tenang. Aku hanya membantumu untuk menumpas kejahatan orang-orang di dunia ini. Itu saja," kata Pendeta Barata lalu menyeruput teh panasnya.
"Lalu, mengenai kabar klan yang menjadi otak di balik kehancuran Perguruan Julang Emas, apakah kakek guru sudah tahu sejak awal?" tanya Bima sambil memasukkan pedang kembali ke sarungnya.
Pendeta Barata mengangguk.
"Musuh mu bukanlah lawan sembarangan. Aku sendiri sangat terkejut setelah tahu kebenarannya, tapi agar kamu tidak terpengaruh oleh jawaban yang aku berikan, kamu bisa menggali sendiri berita dari tempat terbawah. Yaitu Perguruan yang ikut andil dalam mendukung penghapusan Perguruan Julang Emas," kata Pendeta Barata.
"Perguruan apa itu kek? Aku akan mendatanginya, dan mencari tahu kebenarannya," ucap Bima berapi-api.
"Perguruan itu adalah Perguruan Katak Merah. Dari sana kamu akan tahu siapa saja yang ikut andil dalam kejadian tiga tahun yang lalu," kata Pendeta Barata.
"Kenapa kakek guru tidak mengatakan langsung kepadaku siapa saja yang ikut dalam pembantaian itu?" tanya Bima sedikit kecewa. Pendeta Barata menatap sejenak mata muridnya.
"Kamu akan bingung setelah tahu jawaban dariku. Itu sebabnya kamu harus mencarinya sendiri agar kamu lebih memahami lawan-lawan mu. Kamu juga bisa memperhitungkan lawan-lawan mu dengan timing yang tepat.Dan seiring dengan perjalanan waktu, kamu akan tegar setelah tahu siapa sebenarnya musuh mu itu," ucap Pendeta Barata.
Bimasena mengangguk paham. Dia menatap pedang bersarung merah yang sekarang ada di tangannya.
"Perguruan Katak Merah...Aku akan meratakan nya," ucapnya dengan mata yang menyorot tajam.