Malam itu Shania berdiri di depan cermin, memandang wajahnya yang lesu. Ia merasa terjebak dalam kehidupan yang tidak diinginkannya. Pernikahan dengan Alex, putra keluarga kaya, terasa seperti sebuah kesepakatan bisnis, bukan persatuan cinta.
Shania masih ingat jika teman kuliahnya itu adalah kekasih Maura, primadona kampus yang selalu mendapatkan perhatian semua orang, baik mahasiswa juga dosen. Cinta keduanya yang dulu selalu penuh gairah, kerap membuat iri siapa saja yang melihat, termasuk dirinya yang sudah lama jatuh cinta pada teman masa kecilnya itu. "Shania, sudah waktunya," panggil ibunya dari luar kamar. Ia mengambil napas dalam-dalam dan keluar, menuju ke malam pernikahan yang akan mengubah hidupnya selamanya. Shania melangkah ke aula pernikahan yang megah dan mewah yang sudah dipenuhi para tamu undangan. Ia melihat Alex, calon suaminya, yang tampan dalam balutan jas putih yang membuatnya bak pangeran berkuda, tersenyum menatapnya. Namun, Shania tahu jika senyum lelaki itu palsu. Saat mereka bertukar cincin, Shania tahu jika lelaki di depannya tidak benar-benar melakukannya. Pasti dalam bayangannya, wanita cantik yang berdiri di depannya saat ini adalah Maura, kekasih sejatinya yang pergi setahun lalu karena lebih memilih mengejar karir ke luar negeri dibanding menikah dengannya. Saat mereka tengah menerima ucapan selamat dari para tamu undangan, tiba-tiba Shania mendengar ponsel Alex berdering. Ada perubahan ekspresi yang tampak di wajah suaminya ketika membaca pesan yang masuk ke ponselnya. "Dari siapa?" tanya Shania mencoba mencairkan suasana di antara mereka yang terasa hambar. Hati Shania berdebar saat melihat manik mata Alex yang menatapnya tanpa berkedip. Tapi, sejenak kemudian lelaki itu mengalihkan pandangannya, menatap kembali ponselnya. "Bukan siapa-siapa. Lagipula itu bukan urusanmu," ucapnya seraya pergi meninggalkan Shania sendirian. Shania melihat Hanum, mamanya Alex, mencoba menghentikan langkah putranya itu. "Kamu mau kemana, Alex?" "Aku bosan, Mah. Aku mau ke kamar." "Alex, jangan bersikap kekanak-kanakan. Ini pernikahanmu, masa kamu tega membiarkan Shania menyambut tamu sendirian." Sedetik Shania bisa melihat Alex menatapnya. Lalu, ia kembali berbalik dan tetap meninggalkannya. "Apa Mama pikir aku akan peduli padanya? Biarkan saja ia berdiri di sana menyambut para tamu atau teman-temannya yang berisik itu. Dengan aku menikahinya, itu juga sudah membuatnya bahagia." Perkataan Alex sontak membuat hati Shania sakit. Tidak ada yang memaksanya menikah, baik dirinya atau pun kedua orang tua mereka. Alex sendiri yang mau menikah dan memilih Shania sebagai calon istrinya. Meskipun Shania mencintainya sejak lama, tapi tak pernah sedikit pun ia memaksa kedua orang tuanya supaya bisa dinikahi oleh putra tunggal keluarga Sebastian itu. Gadis itu cukup tahu diri jika perasaannya bertepuk sebelah tangan sejak awal. "Alex, jaga ucapanmu! Papamu bisa marah karena kalimatmu barusan." Alex terlihat tak acuh. Ia tetap pergi dan mengabaikan ucapan mamanya. Hanum melihat sejak tadi menantunya memperhatikan interaksi yang terjadi dengan sang putra, sebab itu ia lalu mendekati gadis yang tampak cantik dalam balutan gaun putih dengan pita berwarna merah di bagian perutnya tersebut. "Mama Minta maaf atas sikap Alex barusan, yah. Kamu tenang saja, Shania. Mama pastikan ia akan selalu bersikap baik padamu." Shania tersenyum. "Iya, Mah. Alex mungkin capek. Sepertinya dia butuh istirahat." Shania hanya sedang membesarkan hatinya sendiri, karena faktanya Alex tak pernah kembali lagi hingga pesta pernikahan usai. Setengah jam kemudian setelah teman-teman Shania pamit, gadis itu melangkah menuju kamar pengantin yang ada di hotel bintang lima milik keluarga Sebastian —keluarga Alex. Terlebih dahulu ia pamit pada kedua orang tuanya, yang kamarnya satu lantai dengan kamar pengantin. "Lakukan yang terbaik. Lakukan selayaknya seorang istri." Sebuah pesan, ibunya berikan sesaat Shania hendak menuju kamarnya. "Ini pesan khusus atau bagaimana, Bu?" tanya Shania yang mendadak merasakan kehangatan di kedua pipinya. "Tidak. Ibu hanya mengingatkanmu kalau mulai malam ini dan seterusnya statusmu telah berubah. Bukan lagi seorang gadis, tapi sudah menjadi istri dari seorang laki-laki. Di mana kehidupan dan kewajibanmu juga otomatis berubah." Shania mengerti. Tanpa perlu diingatkan ia bahkan selalu mengatakan pada dirinya sendiri jika mulai sekarang ia sudah tak sebebas dulu. Jam sudah menunjukkan angka sepuluh malam ketika Shania kemudian berjalan menuju kamarnya. Namun, sisa beberapa langkah lagi ia sampai di ambang pintu, terdengar suara teriakan dari arah kamarnya. "Kau pikir dengan bersikap seperti ini Papa dan mama akan kasihan begitu?" Shania mendengar dengan seksama. 'Itu suara Papa Jimmy,' gumamnya. "Pernikahan ini bukan Papa atau mama yang usulkan, tapi kamu sendiri yang memintanya. Tapi, apa yang Papa lihat tadi di sana benar-benar membuat Papa dan mama-mu malu, tahu!" Sejenak hening. Tak ada sahutan dari siapa pun termasuk Alex sendiri. "Tahu kalau kamu bersikap seperti itu pada Shania, Papa tak akan pernah mau melamar gadis itu untukmu ke keluarganya!" "Aku tidak memaksa Papa untuk melamarnya. Aku sendiri bisa, dan aku yakin Shania akan menerimaku." "Oh, sombong! Kalau begitu Papa mau tahu, apa maksud dan tujuanmu menikahinya kalau kamu mengabaikannya seperti tadi?" Shania menahan napas demi ingin mendengar jawaban Alex. Tapi, ditunggu sekian detik lelaki itu tak juga bicara. "Kamu benar-benar memalukan, Lex. Lihat! Kamu bahkan tidak tahu alasanmu menikahinya." Jimmy kembali bicara. "Sudah, Pah. Hentikan. Nanti Shania dengar." Suara Hanum mencoba menjadi tim penengah. "Biarkan saja, Mah. Biarkan Shania tahu jika pria yang baru menikahinya itu adalah seorang pria bodoh. Padahal Papa yakin seandainya mereka tidak menikah, Shania bisa mendapatkan lelaki lain yang lebih pantas dan jauh lebih baik." "Shania tak akan pernah mau menikah dengan lelaki lain, karena aku tahu kalau lelaki yang ia cintai cuma aku." "Heh! Selain bodoh, ternyata aku punya putra yang sangat sombong. Kamu pikir lelaki di dunia ini cuma kamu? Kamu pikir meskipun Shania mencintaimu, lantas dia tidak akan mencintai lelaki lain begitu?" Alex terdiam, tidak terdengar ia membalas ucapan papanya. "Sudah, Mah. Lebih baik kita kembali ke kamar. Papa khawatir akan kelepasan bila lama-lama berada di sini." Mendengar langkah kaki keluar kamar, Shania buru-buru mencari tempat bersembunyi. Beruntung ada celah dekat lift, yang membuatnya tak terlihat dari pintu kamar sang mertua. Tak lama terdengar suara pintu ditutup. Shania yakin kalau kedua mertuanya telah masuk ke kamar mereka. Mendadak Shania ragu, apakah ia harus masuk ke kamar pengantin yang otomatis ada Alex di dalamnya. Atau ia memilih masuk kamar lain dan tidur sendirian. Sekian detik Shania diam dan berpikir keras. Sampai akhirnya ia melihat Alex keluar dan tahu-tahu berdiri di depannya. "Sedang apa kamu berdiri di sini? Aku menunggumu sejak tadi," ucap Alexander dingin. "Untuk apa kamu menungguku?" tanya Shania berusaha tenang. Ia tak mau terlihat gugup di depan suaminya itu. "Untuk apa katamu? Bukankah ini malam pengantin kita? Tentu saja aku mau melakukan tugasku sebagai seorang suami. Dan aku harap kamu juga melakukan tugasmu sebagai seorang istri dengan baik!" Shania tak mampu membalas ucapan Alex. Lidahnya mendadak kelu sebab tidak menduga bila lelaki itu akan meminta jatah malam pertamanya. Belum sempat Shania berbicara, tiba-tiba Alex menarik tangannya dan membawa ke kamar. "Alex, tolong lepasin!" Lelaki itu tampak tak peduli dengan ucapan sang istri, ia langsung menutup kamar setelah membuat gadis cantik itu terdorong ke belakang pintu kamar. "Alex, jangan bersikap seperti ini. Aku tidak ehm ...!" ***